Petualangan di Pulau Suram Scan by BBSC - OCR by Raynold Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 1 AWAL-MULANYA Benar-benar luar biasa. Philip Mannering sedang sibuk menyelesaikan soal-soal aljabar. sambil berbaring di bawah sebatang pohon. Saat itu tidak ada orang di dekatnya. Tapi walau begitu ada yang menyapanya. "Tidak bisa tutup pintu. Goblok?" Suara itu terdengar jelas. seperti tidak sabar. "Dan sudah berapa kali kukatakan. bersihkan dulu kakimu?" Philip langsung terduduk. Untuk ketiga kalinya ia memandang berkeliling. Tapi di lereng bukit itu tidak ada siapa-siapa. la memandang ke atas dan ke bawah — namun tak seorang pun dilihatnya. "Aneh," katanya pada diri sendiri. "Di sini kan tidak ada pintu yang harus ditutup, serta keset untuk membersihkan kaki. Yang bicara itu rupanya gila! Hih — dipikir-pikir, agak seram juga! Ada suara. tanpa badan." Ujung hidung kecil berwarna cokelat muncul dari sebelah dalam kerah baju Philip. itu hidung seekor tikus kecil, satu di antara sekian banyak binatang piaraan Philip. Philip mengelus-elus kepala tikus itu, yang langsung menggerak-gerakkan hidung karena senang. "Tutup pintu, Goblok!" bentak suara itu lagi, yang tidak menentu asalnya. "Dan jangan suka menyedot hidung. Mana sapu tanganmu?" Philip sudah tidak sabar lagi sekarang. "Tutup mulut!" balasnya membentak. "Aku sama sekali tidak menyedot hidung. Kau siapa sih?" Tapi pertanyaannya itu tidak dijawab. Philip semakin heran. Aneh -- dan sekaligus agak menyeramkan! Dari mana datangnya suara yang membentak-bentak tak keruan itu? Lereng bukit yang cerah disinari cahaya matahari itu lengang. Tidak ada siapa-siapa di situ. Philip berteriak sekali lagi. "Aku ini sedang sibuk! Kalau kau ingin bicara, tunjukkan dirimu!" "Baiklah, Paman," kata suara tak dikenal itu. Tahu-tahu caranya bicara berubah. Pelan dan agak takut-takut. "Astaga!" kata Philip pada dirinya sendiri "Kalau begini terus-terusan, bisa gawat! Misteri ini perlu kuselidiki. Kalau arah suara itu bisa kuketahui, mungkin orang itu bisa kutemukan." la berseru lagi. "Kau di mana? Keluarlah, supaya aku bisa melihatmu." "Sudah beberapa ratus kali kukatakan, jangan suka bersiul-siul," terdengar suara itu kembali. Nadanya galak. Philip terdiam, karena kaget. Padahal saat itu ia sama sekali tidak bersiul. Orang itu rupanya benar-benar sinting. Philip sekarang merasa tidak kepingin lagi berjumpa dengan orang aneh itu. Lebih baik ia pulang saja! Philip memandang berkeliling dengan hati-hati. Ia masih belum tahu dari mana datangnya suara itu. Tapi menurut perasaannya, seperti dari kiri. Baiklah. Kalau begitu ia akan menuruni bukit dari sisi kanan. la akan menyusup di sela-sela pohon, supaya agak terlindung. Dipungutnya buku-buku pelajarannya. Kemudian ia bangkit dengan hati-hati, sambil mengantongi pensil. Nyaris saja ia terjungkir karena terkejut saat itu, ketika suara tak dikenal itu tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh. Philip tidak ingat lagi pada niatnya hendak berhati-hati. la melesat lari, menuruni lereng bukit, menuju sekelompok pepohonan. Sedang suara tertawa itu terhenti lagi dengan tiba-tiba. Philip berdiri di bawah sebatang pohon besar. Dengan jantung berdebar keras, ia memasang telinga. Dalam hati ia menyesal, kenapa saat itu tidak berada di rumah bersama yang lain-lainnya. Tahu-tahu terdengar lagi suara itu. Kini tidak jauh di sebelah atas kepalanya. "Sudah berapa kali kukatakan, bersihkan dulu kakimu?" Buku-buku yang dipegang Philip berjatuhan ke tanah. Ia ketakutan setengah mati, karena setelah kalimat itu terdengar, menyusul suara jeritan melengking. Philip mendongak, memandang ke atas pohon yang ada di dekatnya. Dilihatnya di situ seekor burung kakaktua. Indah sekali warna bulunya, dengan jambul besar yang bergerak turun naik di kepala. Kakaktua itu memandang Philip sambil menelengkan kepala, sementara paruhnya yang bangkok digeser-geserkan. Philip saling beradu pandang dengan kakaktua itu, yang kemudian mengangkat cakar lalu menggaruk-garuk kepalanya seperti sedang berpikir dengan serius. Jambulnya masih tetap bergerak turun naik. Saat berikutnya ia berbicara lagi. "Jangan menyedot hidung," katanya dengan suara biasa. "Kau tidak bisa menutup pintu, Goblok? Tidak tahu aturan, ya!" "Wah!" Philip tercengang. "Rupanya kau yang sedari tadi ribut mengoceh dan tertawa terkekeh-kekeh! Aduh - aku benar-benar kaget tadi." Burung itu bersin. Bunyinya persis orang sedang pilek "Mana sapu tanganmu?" katanya setelah itu. Philip tertawa. "Kau memang burung luar biasa," katanya. "Baru sekali ini kulihat kakaktua yang begini pintar bicara. Kau minggat dari mana?" "Usapkan kakimu," jawab kakaktua itu dengan galak. Philip tertawa lagi. Kemudian didengarnya suara seseorang memanggil-manggil dari kaki bukit. Suara anak laki-laki. "Kiki! Kiki, Kiki! Ke mana lagi perginya burung itu?" Kakaktua itu mengembangkan sayap, lalu mengeluarkan jeritan melengking. Sambil berbuat begitu ia terbang melayang, menuju sebuah rumah yang nampak di kaki bukit. Philip memperhatikan dari lereng. "Yang memanggil-manggil tadi anak laki-laki," katanya dalam hati. "Ia memanggil dari dalam kebun Hillfoot House, rumah tempatku menginap. Mungkin anak itu juga dikirim ke sini untuk disuruh belajar. Mudah-mudahan saja begitu. Asyik, apabila ada teman di sini yang punya kakaktua kocak. Ocehannya bisa memeriahkan suasana. Habis — tidak enak rasanya harus belajar selama liburan." Selama semester sekolah sebelum liburan itu Philip kena penyakit jengkering, yang kemudian disusul dengan cacar air. Karenanya ia ketinggalan dalam pelajaran. Kepala sekolah lantas menulis surat pada paman dan bibinya. Dalam surat itu diusulkan, sebaiknya Philip tinggal selama beberapa minggu di tempat tinggal salah seorang gurunya, supaya bisa menyusul ketinggalannya. Philip kesal sekali, ketika ternyata paman dan bibinya langsung setuju. Jadi begitulah. Liburan musim panas sudah tiba. Tapi Philip harus memeras otak, menyelesaikan soal-soal aljabar, mempelajari ilmu bumi dan sejarah - dan bukan bersenang-senang dengan adiknya, Dinah. Dinah saat itu sudah kembali ke rumah, ke Craggy-Tops di tepi laut. Philip senang pada Pak Roy, guru tempatnya menumpang saat itu. Tapi ia merasa bosan pada kedua anak laki-laki yang juga ada di situ. Keduanya juga menerima pelajaran tambahan dari Pak Roy, karena mereka pun sakit dalam semester yang lalu. Anak yang satu jauh lebih tua umurnya daripada Philip. Sedang yang satunya lagi perengek! Sedikit-sedikit takut. Ia takut pada segala jenis serangga dan binatang kecil yang saban kali dibawa sebagai koleksi oleh Philip, atau yang diselamatkannya dari bahaya. Philip senang sekali pada binatang. Dan entah dengan cara bagaimana, tapi binatang nampaknya tidak takut padanya. Kini Philip bergegas menuruni bukit. Ia ingin cepat melihat, apakah benar ada satu murid lagi yang datang ke situ untuk belajar selama liburan. Dan jika murid itu yang memiliki kakaktua tadi, ia anak yang menarik. Lebih menarik daripada Sam yang lebih tua daripadanya, dan lebih menyenangkan daripada Oliver yang bisanya cuma merengek-rengek saja. Sesampai di rumah, Philip membuka pintu pagar. Saat berikut ia melongo. Dilihatnya seorang anak perempuan sedang berada dalam kebun. Anaknya tidak begitu besar. Umurnya sekitar sebelas tahun. Rambutnya merah, agak ikal. Bola matanya hijau, berkulit putih dengan bintik-bintik cokelat yang banyak sekali. Anak perempuan itu membalas pandangan Philip. "Halo," sapa Philip. Ia langsung suka melihat anak itu, yang memakai celana pendek dan baju kaos. "Kau juga dikirim ke sini?" "Begitulah," jawab anak perempuan itu sambil nyengir. "Tapi bukan untuk belajar. Aku cuma menemani Jack." "Jack itu siapa?" tanya Philip. "Dia abangku," kata anak perempuan itu. "Ia dikirim ke sini, untuk mendapat bimbingan. Wah— kau mesti melihat rapornya yang dari semester yang lalu! Dalam segala-galanya, hasilnya paling buruk dalam kelas. Jack sebetulnya sangat cerdas, tapi tidak peduli terhadap pelajaran. Menurut katanya, kalau sudah besar nanti ia akan menjadi ahli omitologi. Jadi untuk apa repot-repot belajar, menghafal tahun-tahun dan syair-syair?" "Apa itu, on — ari- eh, apa katamu tadi?" tanya Philip. Dalam hati ia heran, bagaimana mungkin ada orang yang mukanya begitu banyak bintik-bintiknya seperti anak perempuan itu. "Maksudmu, omitologi?" kata anak itu. "O, itu seseorang yang kerjanya menyelidiki kehidupan burung. Masa itu saja tidak tahu! Jack gemar sekali pada burung." "Wah, kalau begitu ia harus datang ke tempat tinggalku," kata Philip dengan segera. "Aku tinggal di daerah pesisir yang liar dan sunyi. Di situ banyak sekali burung laut yang jarang terdapat di tempat lain. Aku juga senang pada burung. Cuma pengetahuanku mengenainya tidak banyak. He -kakaktua tadi itu kepunyaan Jack?" "Betul," jawab anak perempuan itu. "Sudah empat tahun ia memeliharanya. Namanya Kiki." "Lalu Jack yang mengajarinya mengucapkan segala macam itu?" kata Philip lagi. Dalam hati ia berpendapat, biar Jack paling jelek angka-angkanya dalam pelajaran di sekolah, tapi untuk kepintarannya mengajari Kiki berbicara, sudah jelas ia berhak diberi nilai paling tinggi! "Bukan," jawab anak perempuan itu sambil nyengir, sementara matanya berkilat-kilat lucu. "Kiki sama sekali tidak ada yang mengajari. Ia begitu saja menirukan perkataan orang! Dari paman kami -- yang menurutku laki-laki tua yang paling cepat marah di dunia! Orang tua kami sudah meninggal dunia, jadi selama Liburan sekolah kami ditampung paman kami itu. Paman Geoffrey sama sekali tidak senang kalau kami datang! Wanita yang mengurus rumah tangga untuknya juga benci pada kami. Karena itu hidup kami tidak menyenangkan di situ. Tapi selama aku ditemani Jack, dan Jack bisa bergaul dengan burung-burung yang disayanginya, kami masih cukup senang." "Kurasa Jack dikirim ke sini untuk belajar, seperti aku," kata Philip. "Kau untung, bisa bebas bermain-main, jalan-jalan — pokoknya berbuat sesuka hati, sementara kami pusing karena harus belajar." "Tidak — aku akan menemani Jack terus di sini," jawab anak perempuan itu. "Selama belajar aku tak pernah berjumpa dengan dia, karena sekolah kami terpisah. Karena itu aku ingin menyertainya terus dalam liburan. Jack baik sekali anaknya." "Wah — pendapat Dinah tidak begitu mengenai diriku," kata Philip. "Dinah itu adikku. Kami kerjanya bertengkar terus. He — itu ya, Jack?" Seorang anak laki-laki nampak berjalan mendatangi mereka. Di bahunya sebelah kiri bertengger kakaktua yang bernama Kiki menggeser-geserkan paruhnya pada daun telinga anak itu, sambil bicara dengan suara pelan. Sedang anak itu menggaruk-garuk kepala burung piaraannya, sambil menatap Philip. Philip melihat bahwa bola mata anak laki-laki itu berwarna hijau. Persis seperti mata anak perempuan yang mengobrol dengan dia. Rambutnya merah, bahkan lebih merah daripada rambut adiknya. Sedang bintik-bintik di mukanya begitu banyak, sehingga nyaris tidak nampak lagi bagian kulit yang putih. Menurut perasaan Philip, bintik-bintik itu bahkan ada yang saling bertumpuk! "Halo, Bintik!" sapa Philip sambil nyengir. "Halo, Jambul!" jawab Jack sambil membalas cengirannya. Philip meraba rambutnya sebelah depan, yang memang sulit sekali diatur. Biar disisir berulang-kali, selalu menegak kembali membentuk jambul. "Bersihkan kakimu!" sergah Kiki dengan galak. "Syukur kau berhasil menemukan Kiki lagi," kata anak perempuan itu. "Ia paling tidak suka pergi ke tempat yang belum dikenal. Kurasa karena itu ia minggat tadi." "Tapi perginya tidak begitu jauh, Lucy-Ann," kata Jack. "Pasti si Jambul ini tadi setengah mati kagetnya, apabila mendengar ocehan Kiki di bukit" "Memang, aku tadi mendengarnya," kata Philip. Diceritakannya pengalaman di lereng bukit. Mereka bertiga tertawa terpingkal-pingkal. Kiki ikut terkekeh-kekeh Persis bunyi tertawa manusia! "Wah — senang perasaanku karena kau dan Lucy-Ann datang," kata Philip. Hatinya senang, jauh lebih senang daripada selama hari-hari sebelumnya. la senang melihat Jack dan adiknya yang sama-sama berambut merah dan bermata hijau. Pasti mereka akan mau bersahabat dengannya, pikir Philip. Mereka akan berjalan-jalan bersama dia. Jack beberapa tahun lebih tua daripada Lucy-Ann. Begitulah — sekitar empat belas, pikir Philip. Sedikit lebih tua dari dirinya. Sayang Dinah tidak ada di situ. Coba kalau ada, mereka akan berempat. Dinah berumur dua belas tahun. Jadi cocok! Cuma mungkin kadang-kadang akan terjadi keributan sedikit, karena Dinah tidak sabaran dan sedikit-sedikit bertengkar. "Jack dan Lucy-Ann ini, begitu lain kelihatannya kalau dibandingkan dengan aku serta Dinah," pikir Philip. Kelihatan jelas sekali bahwa Lucy-Ann sangat mengagumi abangnya itu. Philip tidak bisa membayangkan Dinah menurut padanya, selalu senang apabila disuruh melakukan sesuatu. Sedang Lucy-Ann begitu sikapnya terhadap Jack "Yah — sifat manusia memang berlainan," pikir Philip. "Biar kami sering bertengkar, tapi Dinah sebenarnya baik anaknya. Pasti ia sekarang kesepian di Craggy-Tops, tanpa aku di sana. Pasti Bibi Polly menyuruh-nyuruh terus." Philip merasa senang sore itu, memperhatikan Kiki yang bertengger di pundak Jack sambil mengoceh sekali-sekali, memperhatikan bola mata Lucy-Ann yang berkilat jenaka ketika ia sedang mengganggu Sam yang besar tapi lamban, atau mendamprat Oliver yang selalu mengomel. Sekarang di sini pasti akan lebih asyik, pikir Philip. Dan kenyataannya memang begitu. Belajar dalam liburan menjadi lebih menyenangkan, setelah ada Jack dan Lucy-Ann di situ. Bab 2 MENJALIN PERSAHABATAN Pak Roy, guru mereka dalam liburan itu mengajar dengan rajin, karena memang itulah tugasnya. Sepanjang pagi anak-anak dibimbingnya belajar. Dengan sabar ia menerangkan berulang kali, sampai ia yakin pelajaran yang diberikan sudah dimengerti. Untuk itu ia meminta perhatian sepenuhnya. Dan anak-anak biasanya memperhatikan baik-baik. Kecuali Jack. Anak itu tidak pernah mau peduli pada apa pun juga, kecuali makhluk yang bersayap. "Kalau kau mempelajari ilmu ukur seteliti perhatianmu pada buku mengenai kehidupan burung-burung itu, kau pasti bisa menjadi juara kelas," keluh Pak Roy. "Aku benar-benar bingung menghadapi anak seperti dirimu, Jack Trent. Benar-benar bingung." • "Pakai sapu tanganmu," oceh Kiki, burung kakaktua itu menimpali dengan seenaknya. Pak Roy mendecakkan lidah, tanda jengkel. "Kalau kesabaranku habis, pada suatu hari akan kupatahkan leher burung itu." katanya. "Sudahlah kau mengatakan tidak bisa belajar kalau tidak ditemani Kiki yang bertengger di bahumu, lalu Philip selalu membawa-bawa segala jenis binatang yang menjijikkan — sungguh, kelas yang harus kutangani dalam liburan ini sudah benar-benar keterlaluan! Satu-satunya yang kelihatannya mau belajar cuma Lucy-Ann, padahal ia kemari bukan untuk belajar" Lucy-Ann gemar belajar. Ia senang duduk mendampingi Jack, dan mencoba ikut menyelesaikan tugas yang harus dikerjakan abangnya. Sementara itu Jack kerjanya cuma melamun terus, memikirkan segala jenis burung dan bebek yang baru saja dibaca hal-ihwalnya dalam buku. Lucy-Ann juga gemar memperhatikan Philip. Soalnya, asyik rasanya menebak binatang apa lagi yang tahu-tahu muncul dari balik kerah kemeja, atau dari lengan atau kantongnya. Sehari sebelumnya ada seekor ulat yang sangat besar dan berwarna aneh merayap dari lengan Philip. Pak Roy marah sekali saat itu. Dan tadi pagi seekor tikus yang masih kecil merangkak keluar dari lengan Philip, lalu keluyuran mencari pengalaman. Kemudian memanjat kaki celana panjang yang sedang dipakai Pak Roy. Pelajaran terputus selama sepuluh menit, sementara guru itu menandak-nandak, berusaha mengeluarkan binatang kecil yang menggelitik betisnya. Karenanya tidaklah mengherankan bahwa Pak Roy merasa kesal. Orangnya sabar dan ramah sebetulnya. Tapi anak-anak seperti Jack dan Philip, kelas sepera apapun jelas akan rebut jika ada mereka! Setiap pagi anak-anak sibuk belajar. Sedang sorenya mereka harus menyiapkan diri untuk pelajaran besok, serta menyelesaikan soal-soal yang diberikan pagi harinya. Mulai petang, anak-anak bebas. Karena yang perlu dibimbing cuma empat anak, maka Pak Roy bisa memperhatikan mereka satu per satu guna mengisi kekurangan yang ada dalam berbagai mata pelajaran. Pak Roy biasanya berhasil dalam membimbing murid. Tapi liburan sekali ini tidak memberikan hasil sebaik harapannya. Sam, anak yang paling besar, kerjanya lamban. Ia memang tidak cerdas. Oliver pengomel, selalu mengasihani diri sendiri. Anak itu sama sekali tidak suka disuruh belajar. Sedang Jack payah! Kadang-kadang begitu kecil perhatiannya, sehingga Pak Roy merasa percuma saja membuang-buang waktu mengajar anak itu. seolah-olah yang ada dalam pikirannya cuma satu — burung! "Kalau di punggungku tiba-tiba tumbuh sayap, kurasa pasti akan diturutinya segala kataku," pikir Pak Roy kesal. "Belum pernah kujumpai anak yang begitu keranjingan pada burung. seperti dia. Kurasa ia tahu hal-ihwal telur segala jenis burung di dunia ini. Otaknya cerdas, tapi sayang dipakainya hanya untuk memikirkan hal-hal yang menarik baginya." Cuma Philip saja yang menampakkan kemajuan pesat. Tapi anak itu pun membuat Pak Roy makan hati, dengan binatang piaraannya yang aneh-aneh. Misalnya tikus itu! Hih -- Pak Roy bergidik kembali, ketika teringat betapa rasanya ketika binatang pengerat itu merangkak naik dalam pipa celana panjangnya. Lucy-Ann satu-satunya dalam kelas itu yang bekerja sungguh-sungguh. Padahal itu sama sekali tidak perlu. Anak itu datang ke situ, karena tidak mau berpisah dan abangnya yang aneh. Jack. Jack, Philip dan Lucy-Ann dengan cepat telah menjadi sahabat karib. Jack dan Philip, kedua-duanya senang pada makhluk hidup. Jack sebelum itu tidak punya sahabat laki-laki. la senang pada Philip, karena gemar menggoda dan melucu. Lucy-Ann juga senang pada Philip, walau kadang-kadang merasa cemburu apabila Jack terlalu memamerkan kesenangannya pada anak itu. Bahkan Kiki pun suka pada Philip. Apabila anak itu menggaruk-garuk jambul burung itu, Kiki mengeluarkan suara seperti nyanyian lembut. Pak Roy mula-mula sangat jengkel pada Kiki. Kesibukannya mengajar setiap pagi berulang kali diganggu ocehan burung itu. Kebetulan saat itu Pak Roy sedang pilek. Dan setiap kali guru itu menyedot hidung, Kiki langsung mengomentari. "Jangan menyedot hidung!" kata kakaktua itu dengan nada mengomel. Anak-anak yang sedang belajar mulai cekikikan. Karenanya Pak Roy lantas tidak membolehkan Kiki dibawa ke dalam kelas. Tapi larangan itu malah membuat keadaan semakin parah. Kiki yang tidak bisa bertengger di bahu tuannya yang disayangi, hinggap di semak-semak yang terdapat di depan jendela kelas yang terbuka sedikit. la jengkel sekali, karena harus tinggal di luar. Ia mengoceh dengan suara keras. Seolah-olah sengaja ditujukan pada Pak Roy yang malang. "Jangan suka mengoceh," kata kakaktua itu. apabila Pak Roy sedang sibuk menjelaskan sesuatu dalam pelajaran sejarah. Pak Roy mendengus, karena kesal. Dan bunyi hidungnya itu, langsung dikomentari oleh Kiki. "Mana sapu tanganmu?" Pak Roy pergi ke jendela. la berseru-seru dan mengibaskan tangan, maksudnya hendak menakut-nakuti Kiki supaya pergi. "Anak nakal," tukas Kiki, tanpa bergerak sedikit pun dari tempatnya bertengger. "Kusuruh tidur kau nanti. Anak nakal!" Yah — mau diapakan lagi burung seperti itu? Akhirnya Pak Roy menyerah. Kiki diizinkan bertengger lagi di bahu Jack ternyata anak itu bisa belajar lebih tekun apabila ditemani Kiki, sedang Kiki dalam ruangan tidak begitu terasa mengganggu seperti apabila ada di luar. Walau begitu Pak Roy merasa bahwa ia pasti akan sangat bergembira apabila tugasnya membimbing selama liburan selesai, dan kelima anak itu pulang ke rumah masing-masing. Dan bersama mereka, kakaktua yang cerewet serta berbagai binatang piaraan Philip. Setiap sore sehabis minum teh Philip, Jack dan Lucy-Ann memisahkan diri dari Sam yang besar tapi lamban serta Oliver yang kecil dan pengomel. Mereka berjalan-jalan, sementara Jack dan Philip mengobrol tentang segala jenis hewan dan burung yang mereka ketahui. Sedang Lucy-Ann ikut mendengarkan, sambil berjalan tersaruk-saruk mengikuti langkah mereka yang lebih panjang. Tak peduli berapa jauh mereka melancong, atau betapa terjal bukit yang didaki — Lucy-Ann selalu ikut. Anak itu tidak mau berpisah dari abangnya, biar untuk sebentar saja juga tidak. Philip kadang-kadang agak kesal terhadap sikap Lucy-Ann itu. "Wah, untung Dinah tidak suka membuntuti aku terus seperti Lucy-Ann ini," katanya dalam hati. "Heran, Jack tidak marah." Jack memang tidak marah. Walau anak itu kelihatannya jarang memperhatikan adiknya, dan kadang-kadang agak lama tidak bicara dengannya, tapi ia tidak pernah menunjukkan sikap tidak sabar. Tidak pernah kesal atau jengkel. Di samping burung-burung, yang disayangi Jack adalah Lucy-Ann, begitulah kata Philip dalam hati. Yah, untung ada orang yang menyayangi anak perempuan itu. Kelihatannya kehidupan Lucy-Ann tidak begitu senang. Ketiga anak itu saling bercerita tentang kehidupan mereka. "Ayah dan ibu kami sudah meninggal," kata Jack. "Kami tidak ingat apa-apa tentang mereka. Mereka meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang. Sejak itu kami tinggal bersama Paman Geoffrey. la satu-satunya keluarga kami. Paman itu sudah tua dan pemarah. Kami selalu diomelinya. Wanita yang mengurus rumah tangga untuk Paman juga tidak senang, kalau kami pulang pada waktu libur. Namanya Bu Miggles. Jika kaudengarkan ocehan Kiki, bisa kaubayangkan bagaimana kehidupan kami di rumah itu. Bersihkan kaki! Jangan menyedot hidung! Cepat — buka sepatu! Mana sapu tanganmu? Harus berapa kali kubilang jangan suka bersiul-siul? Tidak bisa tutup pintu, Goblok?" Philip tertawa. "Wah - kalau ocehan Kiki itu menirukan apa yang selalu kalian dengar di rumah, bisa kubayangkan kayak apa nasib kalian," katanya. "Tapi kami pun tidak begitu senang – walau masih lumayan kalau dibandingkan dengan kalian berdua." "Ayah dan ibumu juga sudah meninggal dunia?" tanya Lucy-Ann sambil menatap Philip tanpa berkedip. "Ayah kami yang sudah meninggal tanpa meninggalkan harta apa-apa," kata Philip. "ibu masih ada. Tapi tinggalnya tidak bersama kami." "Kenapa tidak?" tanya Lucy-Ann heran. "ibu bekerja di tempat lain," kata Philip. "Ia mencari uang untuk menyekolahkan kami, serta untuk menanggung biaya kehidupan kami. Ia mengusahakan peraganan seni. Kalian tahu kan perusahaan yang mencari pesanan poster dan lukisan, lalu mencarikan pelukis yang bisa diserahi tugas itu, dan sebagai imbalan menerima komisi. “Ibu hebat sebagai pengusaha. Tapi kami tidak sering bisa berjumpa dengan dia." "Baik hatikah ibumu itu?" tanya Jack. Ia tidak bisa mengingat bagaimana rasanya punya ibu. Karena itu ia selalu tertarik pada ibu anak lain. "Ya, ibuku baik," kata Philip sambil mengangguk. Ia teringat pada ibunya yang cantik, dengan tatapan mata yang tajam. Ia bangga karena ibu pintar, tapi diam-diam juga sedih apabila mengenang betapa capek ibu kadang-kadang kelihatan, apabila mampir sebentar untuk melihat dia serta Dinah. Pada suatu hari, pikir Philip, pada suatu hari ialah yang akan mencari nafkah, supaya ibu tidak usah bekerja keras lagi. "Dan sekarang kau tinggal bersama pamanmu, kayak kami juga?" tanya Lucy-Ann. Ia mengelus-elus kepala seekor bajing kecil, yang tiba-tiba tersembul dari kantong kemeja Philip. "Betul. Kalau liburan, aku dan Dinah tinggal bersama Paman Jocelyn dan Bibi Polly," kata Philip. "Paman Jocelyn orangnya benar-benar payah! Kegemarannya membahas sejarah daerah pesisir di mana kami tinggal. Jaman dulu di situ sering terjadi perang, pembakaran dan pembunuhan. Pokoknya asyik! Sekarang ia sibuk menulis sejarah masa itu. Tapi karena untuk menceritakan satu kejadian saja dia sudah memerlukan waktu setahun untuk menyelidiki, kurasa dia memerlukan umur panjang sampai empat atau lima ratus tahun. Itu pun pasti baru seperempat dari bukunya yang selesai!" Jack dan Lucy-Ann tertawa. Mereka membayangkan seorang laki-laki tua dan pemarah, yang sedang membungkuk mempelajari naskah-naskah apek yang sudah kuning karena tuanya. Membuang-buang waktu saja, pikir Lucy-Ann. "Lalu bibimu, kayak apa orangnya?" tanya anak itu. Philip mengernyitkan hidung. "Agak masam," jawabnya. "Sebetulnya lumayan. Tapi terlalu sibuk bekerja, tidak punya uang, tanpa pembantu dalam merawat rumah tua itu, kecuali Jo-Jo, semacam pembantu yang melakukan berbagai tugas. Dinah selalu disuruh-suruh terus oleh Bibi Polly. Aku tidak mau, jadi sekarang Bibi tidak pernah memaksa aku lagi. Tapi Dinah takut pada Bibi. Karenanya ia lebih menurut jika disuruh." "Rumah kalian kayak apa rupanya?" tanya Lucy-Ann lagi. "Aneh," jawab Philip. "Sudah berabad-abad tuanya, setengahnya sudah bobrok sekali. Sangat besar dan berangin, dibangun pada tebing terjal. Kalau ada badai, percikkan ombak selalu membasahi. Tapi aku senang tinggal di situ. Tempatnya liar dan sepi, tapi di sekiranya selalu terdengar teriakan burung-burung laut. Kau pasti senang tinggal di situ, Bintik!" Jack sependapat dengannya. Kedengarannya memang mengasyikkan. Rumah tempatnya tinggal bersama Lucy-Ann biasa saja. Satu di antara sederetan panjang rumah tinggal di sebuah kota kecil. Tapi rumah Philip — kedengarannya asyik tinggal di situ. Angin dan ombak menderu, serta burung laut yang beterbangan! Ia merasa seakan-akan mendengar suara teriakan burung-burung itu, apabila matanya dipejamkan. Asyik! "Bangun! Bangun, penidur," kata Kiki, sambil mematuk-matuk tepi telinga Jack dengan pelan. Jack membuka matanya kembali, lalu tertawa. Kakaktua itu kadang-kadang cocok sekali ocehannya. "Kepingin rasanya aku bisa melihat rumahmu itu." katanya pada Philip. "Craggy-Tops nama itu membayangkan, seolah-olah di tempat itu bisa terjadi bermacam-macam peristiwa. Berbagai petualangan seru dan menarik! Di Lippinton, kota tempat kami tinggal, tidak pernah ada kejadian yang menarik." "Di Craggy-Tops sebetulnya juga sama saja," kata Philip. Bajing kecil tadi dimasukkannya kembali ke dalam kantong, sedang dari kantong lain diambilnya seekor landak Duri-durinya belum kaku. Kelihatannya binatang itu senang tinggal dalam kantong anak itu, bersama seekor siput besar. Tapi siput itu tidak pernah mau keluar dari rumahnya, selama berada dalam kantong. Mungkin takut tertusuk duri Landak! "Kepingin rasanya kita bisa pulang bersama-sama ke tempatmu," kata Jack. "Aku kepingin berjumpa dengan Dinah, walau adikmu itu kurasa agak galak sifatnya. Dan aku juga kepingin melihat segala burung yang hidup di pesisir situ. Bayangkan — tinggal dalam rumah yang begitu tua, sampai nyaris bisa dianggap sudah runtuh. Kalian memang mujur." "Apanya yang mujur? Kaurasa enak, harus mengangkut air panas jauh-jauh ke satu-satunya kamar mandi yang ada dalam rumah itu?" kata Philip. Ia bangkit dari rerumputan tempatnya duduk selama itu bersama Jack dan Lucy-Ann. "Sudah waktunya kita kembali. Kau toh takkan pernah melihat Craggy-Tops, dan kalau melihatnya kurasa takkan senang — jadi untuk apa kita lama-lama membicarakannya?" Bab 3 AKIBAT DUA PUCUK SURAT Keesokan harinya datang sepucuk surat dari Dinah untuk Philip. Ia menunjukkannya pada Jack dan Lucy-Ann. "Dinah sedang tidak enak nasibnya saat ini," kata Philip. "Untung sebentar lagi aku pulang. Baginya akan terasa lebih mendingan, kalau aku juga ada di sana." Isi surat Dinah sebagai berikut, Phil Masih lamakah kau di sana? Kau memang tidak banyak gunanya bagiku kecuali sebagai lawan bertengkar Tapi saat ini di sini sangat sepi. Yang ada cuma Paman, Bibi dan Jo-Jo. Jo-Jo makin lama makin tolol Kemarin ia mengatakan padaku, jangan suka main-main pada waktu malam di kaki tebing, karena di situ banyak berkeliaran ‘macam-macam’' Kurasa Jo-Jo sudah sinting sekarang. Kecuali aku, yang berkeliaran di situ cuma segala macam burung laut Tahun ini jumlahnya ribuan yang berkeliaran di situ. Kau kalau pulang nanti jangan berani-berani membawa binatang yang aneh-aneh lagi. Kau kan tahu, aku tidak senang pada mereka. Pasti aku akan menjerit, kalau kau membawa kelelawar lagi. Dan kalau sampai berani membawa lagi seekor kumbang ke rumah untuk dilatih seperti katamu waktu itu, akan kulempar kepalamu nanti dengan kursi! Aku terus-terusan disuruh kerja berat oleh Bibi Polly. Setiap hari kerja kami mencuci mengepel dan membersihkan rumah melulu. Aku ingin tahu untuk apa, karena belum pernah ada orang kemari. Senang hatiku apabila sudah sampai waktunya untuk kembali ke sekolah. Kapan kau pulang? Aku kepingin kita ini bisa mencari nafkah. Bibi Polly selalu bingung karena ada saja yang tidak bisa dibayar olehnya, sedang Paman mengaku tidak punya uang. Kurasa kalau punya pun, takkan mau ia memberinya. Kurasa jika kita minta tambahan- uang pada Ibu, pasti ia mengirimnya. Tapi sekarang saja sudah tidak enak rasanya membayangkan Ibu harus bekerja membanting tulang. Kalau kau menulis lagi, cerita dong yang lebih banyak tentang si Bintik dan Lucy-Ann. Aku suka membaca tentang mereka. Adikmu yang manis Dinah. Dinah ini rupanya kocak juga anaknya, pikir Jack. Dikembalikannya surat yang sudah selesai dibaca pada Philip. "Nih, Jambul," katanya. "Kurasa adikmu itu sedang kesepian. Wah, aku dipanggil Pak Roy. Coba kulihat sebentar, mau apa dia. Kurasa aku disuruh belajar lagi." Rupanya hari itu ada pula sepucuk surat untuk Pak Roy, dari wanita yang mengurus rumah tangga Paman Geoffrey. Surat itu singkat, langsung mengenai persoalan yang hendak disampaikan. Pak Roy kaget sewaktu membacanya. Lalu memanggil Jack untuk menunjukkan surat itu padanya. Jack juga kaget sewaktu membaca surat Bu Miggles. `Pak Roy yang budiman, Pak Trent mengalami kecelakaan, kakinya patah. Karena itu anak-anak tidak bisa pulang Liburan ini Ia menanyakan apakah Anda bersedia menampung mereka selama itu. Bersama ini dikirim uang untuk membayar ongkos hidup mereka di tempat Anda. Dua hari sebelum sekolah dimulai lagi mereka bisa pulang, untuk membantu saya memilih pakaian yang perlu dibawa. Wassalam, Elspeth Miggles' "Aduh, Pak Roy!" keluh Jack. Ia memang tidak ,senang tinggal di rumah pamannya. Tapi lebih tidak senang lagi rasanya membayangkan harus terus tinggal di tempat guru itu, bersama Oliver yang selalu mengomel, yang juga harus tinggal terus di situ selama liburan. Itu Lebih tidak menyenangkan lagi, dibandingkan dengan kembali ke pamannya yang suka marah-marah. "Saya tidak mengerti, apa sebabnya kami tidak bisa kembali - kami takkan mengganggu Paman!" Seperti halnya Jack yang tidak ingin tinggal lebih lama di situ, Pak Roy sendiri juga tidak menginginkan anak itu lebih lama tinggal di tempatnya. Ia sudah ngeri saja, membayangkan mendengarkan ocehan kakaktua piaraan Jack satu hari saja lebih lama. Belum pernah guru itu tidak menyukai sesuatu seumur hidupnya, seperti kebenciannya pada Kiki. Kalau anak kurang ajar ia sanggup menghadapinya. Tapi burung kakaktua yang lancang mulut? Pak Roy benar-benar kewalahan. "Yah," katanya, sambil mengerucutkan bibir serta menatap Kiki dengan pandangan benci, "yah — aku pun tidak ingin menahanmu lebih lama di ini, karena kuanggap kau hanya membuang-buang waktumu saja! Selama di sini sama sekali tak ada yang kau pelajari. Tapi aku tidak melihat ada kemungkinan lain. Jelas pamanmu tidak menginginkan kalian pulang ke rumahnya. Kaulihat sendiri. banyak uang yang dikirimnya untuk mengongkosi hidup kalian di sini. Tapi aku sebetulnya punya rencana lain. Karena tinggal Oliver sendiri yang akan tetap di sini, maksudku hendak bepergian sebentar. Sungguh, aku ingin bisa menemukan tempat penampungan lain bagimu serta Lucy-Ann." Jack kembali ke tempat adiknya menunggu bersama Philip. Tampang Jack begitu kecut, sehingga Lucy-Ann lantas cepat-cepat memegang lengan abangnya itu. "Ada apa, Jack? Apakah yang terjadi?" tanya Lucy-Ann. "Paman tidak ingin kita pulang." jawab Jack, lalu menjelaskan isi surat yang baru saja dibacanya. "Sedang Pak Roy tidak ingin kita lebih lama tinggal di sini. Kelihatannya saat ini kita tidak bisa ke mana-mana. Lucy-Ann." Ketiga anak itu saling berpandangan. Tiba-tiba Philip mendapat ilham yang bagus. Disambarnya Jack. sehingga nyaris saja Kiki terjungkir dari tempatnya bertengger. "Jack!" seru Philip bergairah. "Kalian ikut pulang bersama aku. Kau dan Lucy-Ann bisa datang ke Craggy-Tops! Dinah pasti senang kalau kalian datang. Dan kau nanti bisa asyik, dengan burung-burung laut yang banyak di sana. Nah — bagaimana?" Jack dan Lucy-Ann berpandang-pandangan. Keduanya ikut bergairah dan gembira. Pergi ke Craggy-Tops? tinggal di rumah tua yang sudah hampir berupa puing, bersama seorang paman yang pintar, bibi yang tidak sabaran, pembantu yang sinting serta mendengar deburan ombak laut setiap waktu? Wah, itu pasti asyik! Tapi kemudian Jack menggeleng, sambil mendesah. Ia sadar, rencana anak-anak jarang yang bisa terlaksana apabila sebelumnya harus dirundingkan dulu dengan orang dewasa. "Percuma," katanya, "Paman Geoffrey mungkin tidak setuju. Kalau Pak Roy, jelas ia takkan mengizinkan! Sedang paman dan bibimu, mereka takkan senang karena harus mengurus dua anak lagi." “Ah kenapa harus tidak senang?" kata Philip. “Kauserahkan saja uang yang dikirim pamanmu pada Pak Roy -- pasti bibiku akan sangat bergembira menerimanya. Dengan uang itu pasti ia bisa melakukan pembayaran yang ditulis Dinah dalam suratnya." "Aduh, Philip! Ya, Jack — yuk, kita ke Craggy-Tops saja!" kata Lucy-Ann meminta-minta. Bola matanya yang hijau bersinar penuh harap. "Aku pasti akan senang sekali, apabila kita ke sana. Di sini kita toh cuma merepotkan saja, Jack — dan aku merasa pasti pada suatu hari Kiki tentu akan dibunuh oleh Pak Roy, kalau ia masih mengata-ngatai gurumu itu." Kiki menjerit keras, sambil menyembunyikan kepalanya ke balik kerah baju Jack. "Jangan takut. Kiki," kata Jack. "Takkan kubiarkan ada orang mengganggumu. Lucy-Ann, kurasa takkan ada gunanya bertanya pada Pak Roy, apakah kita boleh pergi ke Craggy-Tops. Kurasa ia menganggap sudah kewajibannya untuk menampung kita di sini. Jadi kita harus tetap tinggal di sini." "Kalau begitu kita pergi saja, tanpa minta izin dulu padanya," kata Lucy-Ann nekat. Jack dan Philip memandang anak itu sambil melongo. Tapi kemudian terpikir oleh mereka, sebetulnya gagasan itu tidak jelek. Pergi, tanpa bilang-bilang. Yah - kenapa tidak? "Kurasa takkan apa-apa jika dengan tiba-tiba saja kita muncul beramai-ramai di Craggy-Tops sungguh!" kata Philip. Padahal, dalam hati ia tidak begitu meyakininya. "Soalnya, kalau kalian sudah, ada di sana, paman dan bibiku takkan tega menyuruh kalian pergi lagi. Lalu Bibi Polly akan kuminta supaya menelepon Pak Roy untuk menjelaskan duduk perkaranya, serta meminta agar dia mengirimkan uang yang diberikan Paman Geoffrey untuk biaya kehidupan kalian di sana." "Pak Roy pasti senang, apabila kita sudah pergi dari sini," kata Lucy-Ann. Dalam hati sudah dibayangkannya betapa senangnya bisa berkenalan dengan Dinah. "Sedang Paman Geoff, toh tidak peduli. Kita pergi saja, Jack. Yuk!" "Baiklah," kata Jack akhirnya. "Kita pergi bersama-sama. Pukul berapa keretamu berangkat, Jambul? Nanti kami ke stasiun. Pada Pak Roy kami katakan, kami hendak mengantarmu berangkat. Lalu apabila kereta sudah siap berangkat, kami berdua cepat-cepat naik, dan ikut denganmu." "Yaa!" seru Lucy-Ann bersemangat. "Mana sapu tanganmu?" teriak Kiki. Burung itu merasakan kegembiraan anak-anak. Ia mengayun-ayunkan tubuh di atas pundak Jack. Tapi anak-anak tidak mengacuhkannya. "Kasihan Kiki," . kata kakaktua itu dengan suara sedih. "Kasihan si Kiki tua." Jack mengelus-elus burung kesayangannya itu, sambil memikirkan rencana pelarian mereka. "Kedua koper kami sudah bisa diangkut ke stasiun pada malam sebelumnya, pada saat kopermu dibawa ke sana," katanya. "Takkan ada yang memperhatikan bahwa kedua koper itu tidak ada lagi di loteng. Saat itu pula kami membeli karcis. Bagaimana — ada yang punya uang?" Ketiga anak itu menggabungkan uang yang mereka miliki saat itu. Jumlahnya mungkin cukup untuk membeli karcis kereta api. Pokoknya, mereka harus pergi bersama-sama. Setelah membulatkan tekat, tak bisa dibayangkan Lagi ada sesuatu yang mungkin membatalkan rencana itu. Dan ternyata rencana itu bisa dilaksanakan! Sehari sebelum Philip berangkat pulang, kopernya diambil dari atas loteng. Secara diam-diam. Jack juga menurunkan kopernya sendiri serta koper Lucy-Ann. Kopernya dimasukkan ke dalam lemari besar di kamarnya. Kemudian diambil oleh Lucy-Ann, ketika di situ sedang tidak ada orang. "Saya akan membawa koper saya ke stasiun dengan gerobak dorong, Pak," kata Philip pada Pak Roy. Kebiasaan anak-anak memang begitu. Jadi guru itu mengangguk saja, tanpa terlalu mengacuhkan. Dalam hati ia berharap, kenapa Jack dengan kakaktuanya tidak berangkat juga saat itu. Jack dan Philip berhasil mengangkut koper-koper mereka ke stasiun tanpa ketahuan orang lain. Ternyata mudah saja melarikan diri, pikir mereka. Sam dan Oliver, kelihatannya tidak menyadari apa-apa. Sam terlalu sibuk karena ia pun akan pulang, sedang Oliver terlalu sedih mengingat nasibnya yang ditinggal sendiri di situ. Keesokan harinya Philip minta diri pada Pak Roy. "Terima kasih atas segala bantuan dan bimbingan Anda, Pak," katanya sopan. "Saya rasa dalam semester yang akan datang hasil pelajaran saya tentu menjadi lebih baik." "Selamat jalan, Philip," kata Pak Roy. "Pekerjaanmu selama ini cukup memuaskan." Philip bersalaman dengan guru pembimbingnya itu, yang agak kaget dan mundur ketika tiba-tiba muncul seekor tikus dari lengan jas Philip. Tikus itu dimasukkan lagi oleh anak itu. "Aku heran, kau tahan ada binatang macam begitu berkeliaran dalam bajumu," kata Pak Roy, sambil mendengus. "Mana sapu tanganmu?" oceh Kiki dengan segera. Pak Roy membelalakkan mata ke arah burung itu, yang seperti biasanya bertengger di atas bahu Jack. "Bolehkah saya dan Lucy-Ann ikut ke stasiun untuk mengantar Philip berangkat?" tanya Jack. Kiki tertawa terkekeh, dan langsung ditampari dengan pelan oleh tuannya. "Diam! Di sini tidak ada yang lucu! Kau tidak perlu tertawa." "Anak nakal!" kata Kiki, seolah-olah tahu pikiran Jack saat itu. "Ya, kalian boleh mengantar Philip berangkat," kata Pak Roy. Menurut perasaannya, anak juga jika untuk beberapa saat tidak mendengar ocehan kakaktua konyol itu. Jadi ketiga anak itu lantas berangkat seiring. Mereka berjalan sambil nyengir. Tapi tentu saja dengan sembunyi-sembunyi, jangan sampai terlihat oleh guru mereka. Tapi Kiki masih sempat mengatakan sesuatu pada Pak Roy. "Tidak bisa tutup pintu, ya?" teriak kakaktua itu. Pak Roy mendecak kesal, lalu menutup pintu keras-keras. la masih mendengar Kiki tertawa terkekeh-kekeh, sementara anak-anak pergi menjauh. “Enak rasanya apabila burung itu tak kulihat lagi untuk selama-lamanya;" kata Pak Roy dalam hati Ia tak menduga bahwa harapannya itu sebentar lagi akan terlaksana. Jack, Lucy—Ann dan Philip cukup pagi tiba di stasiun. Koper-koper diambil dari tempat penyimpanan, lalu diserahkan pada pengangkat koper untuk dinaikkan ke kereta nanti. Ketika kereta api masuk ke stasiun, mereka mencari tempat yang kosong. Tak ada yang menahan mereka. Tidak ada yang menduga bahwa yang berangkat sebenarnya cuma satu, sedang yang dua lagi melarikan diri. Ketiga anak itu bersemangat sekali. Tapi juga agak gugup. "Mudah-mudahan paman dan bibimu nanti tidak memulangkan kami," kata Jack. la mengelus-elus Kiki, menenangkan burung itu. Kiki tidak suka mendengar bunyi kereta yang berisik. Satu sudah dilarangnya bersiul. Ketika seorang wanita tua kelihatannya hendak masuk ke ruangan tempat mereka duduk, tahu-tahu Kiki menjerit dengan suara melengking tinggi. Wanita tua itu kaget, lalu mencari tempat dalam gerbong lain. Akhirnya kereta berangkat sambil mendengus-dengus. Anak-anak geli, karena Kiki langsung menyuruh kereta itu memakai sapu tangan. Ketika sudah meninggalkan stasiun, di kejauhan nampak rumah di mana mereka tinggal selama beberapa minggu yang lewat, terletak di kaki bukit. "Nah — kita berangkat sekarang," kata Philip senang. "Ternyata gampang saja kalian melarikan diri, ya? Wah, pasti asyik apabila kalian ada di Craggy-Tops! Dinah pasti senang sekali melihat kalian berdua datang. Bab 4 CRAGGY—TOPS Kereta api meluncur terus. Banyak stasiun yang dilewati, tapi cuma sekali-sekali saja singgah sebentar. Penjalanan diteruskan menuju pesisir, menembus perut gunung yang menjulang tinggi, menyeberangi sungai yang permukaan airnya berkilat-kilat keperakan ditimpa sinar matahari, serta menyusur kota-kota besar yang luas. Kemudian kereta api memasuki daerah yang nampak lebih liar dan gersang. Angin laut menghembus masuk lewat jendela. "Sudah tercium bau laut,” kata Jack. Jack baru sekali pergi ke pesisir. Dan itu pun sudah lupa-lupa ingat. Akhirnya kereta berhenti di sebuah stasiun kecil yang sunyi. "Kita sudah sampai," kata Philip. "Ayo cepat, keluar! Halo, Jo-Jo. Aku di sini! Kau menjemput dengan mobil antik itu, ya?" Jack dan Lucy-Ann melihat seorang laki-laki berkulit hitam berjalan mendatangi. Kulitnya hitam legam, sedang giginya nampak putih bersih. Matanya bergerak terus tanpa henti, seperti berputar-putar. Aneh kelihatannya Di belakangnya nampak seorang anak perempuan berlari kecil mengikuti. Umurnya sedikit lebih tua daripada Lucy-Ann. Tapi tubuhnya jangkung. Rambutnya cokelat berombak, sama seperti rambut Philip. Dan di depannya juga ada jambul yang kaku. "Ini satu Jambul lagi," kata Jack dalam hati; "tapi potongannya lebih galak. Dia inilah Dinah rupanya." Memang, itulah Dinah. la ikut dengan Jo-Jo menjemput Philip, naik mobil tua yang sudah bobrok. Dinah tertegun ketika melihat Jack dan Lucy-Ann. Jack menatapnya sambil nyengir. Tapi Lucy-Ann dengan tiba-tiba saja merasa malu menghadapi anak perempuan jangkung yang sikapnya nampak tegas itu. la berlindung di balik punggung abangnya. Sementara itu Dinah memandang Kiki dengan heran. Burung kakaktua itu mengoceh, menyuruh Jo-Jo membersihkan kaki dengan segera. "Jangan kurang ajar," sergah Jo-Jo. Ia berbicara pada Kiki, seakan-akan kakaktua itu manusia. Jambul Kiki membengkak. Ia menggeram-geram, seperti anjing. Jo-Jo kaget dibuatnya. "Itu burung?" tanyanya pada Philip. "Ya," jawab anak itu. "Koper yang itu juga tolong dimasukkan kc mobil, ya! Itu kepunyaan teman-temanku ini.” "Mereka juga kc Craggy-Tops?" tanya Jo-Jo tercengang. "Tadi Bu Polly tidak bilang apa-apa tentang teman. Betul, dia tidak bilang apa-apa." "Siapa mereka, Philip?" tanya Dinah. Anak itu datang mendekat. "Dua orang teman, dari tempat Pak Roy," kata Philip. "Nanti sajalah kuceritakan." Ia mengedipkan mata pada Dinah, maksudnya supaya adiknya itu mengerti bahwa ia baru akan menjelaskan apabila Jo-Jo tidak ada. "Ini Bintik — aku kan sudah bercerita tentang dia — dan ini Lucy—Ann." Ketiga anak yang baru berkenalan itu saling bersalaman. Setelah itu mereka naik ke mobil. Mobil itu sudah tua sekali. Jalannya tersendat-sendat. Jo-Jo mengemudikannya dengan sembrono. Lucy-Ann agak takut la berpegangan kuat-kuat ke sisi mobil. Kendaraan itu berjalan melalui daerah perbukitan yang nampak liar. Gersang dan berbatu-batu. Tak lama kemudian nampak laut terhampar di kejauhan, dibatasi punggung tebing yang menjulang tinggi. Hanya di sana-sini saja nampak lereng melandai. Daerah pesisir itu ternyata memang liar dan kosong. Di tengah jalan dilalui bangunan-bangunan besar serta rumah-rumah yang tinggal puing. "Semuanya rusak dalam perang yang pernah kuceritakan pada kalian," kata Philip pada Jack dan Lucy-Ann. "Sejak itu tidak pernah dibangun kembali. Sedang Craggy—Tops masih untung, tidak rusak sama sekali." "Di balik tebing itulah Craggy-Tops,” kata Dinah sambil menuding. Kedua kawan barunya melihat tebing batu yang menjulang tinggi. Di baliknya nampak mencuat ujung sebuah menara kecil berbentuk bulat. Menurut perkiraan mcrcka, pasti itu sebagian dari bangunan tempat tinggal Dinah dan Philip. "Craggy-Tops dibangun cukup tinggi, tidak terjangkau ombak yang memecah," kata Philip. "Tapi pada saat badai, percikkan yang menghantam kaca jendela hampir sama kerasnya seperti deburan ombak di pantai." Lucy-Ann dan Jack asyik membayangkannya. Enak, tinggal dalam rumah dengan bunyi percikkan ombak pada kaca jendela. Dalam hati keduanya berharap. mudah-mudahan saja ada badai dahsyat selama mereka ada di situ. "Bu Polly sudah tahu tentang kedatangan kalian?" tanya Jo-Jo dengan tiba-tiba. Nampak jelas ia bingung. "Dia tidak mengatakan apa-apa tadi." "Tidak bilang apa-apa? Aneh!" kata Philip. Kiki tertawa terkekeh-kekeh. Hidung Jo-Jo mengernyit, menunjukkan bahwa ia jengkel mendengar suara berisik itu. Nampak jelas, ia takkan menyukai burung kakaktua itu. Jack merasa tidak enak, melihat cara Jo-Jo melirik kakaktua kesayangannya. Tiba-tiba Dinah terpekik. Philip didorongnya menjauh. "Hi! Ada tikus merayap di lehermu!" jeritnya. “Aku melihat ujung hidungnya tersembul sedikit. Buang tikus itu Philip! Kau tahu, aku jijik pada tikus." "Ah, jangan konyol" kata Philip kesal. Mendengar balasan itu, Dinah langsung marah. Dicengkeramnya kerah leher abangnya lalu diguncang-guncangnya. Maksudnya hendak menakut-nakuti tikus yang ada di situ supaya pergi. Philip membalas dengan dorongan, sehingga kepala Dinah terantuk ke sisi mobil. Dinah menampar abangnya dengan keras. Sedang Jack dan Lucy-Ann hanya bisa menonton saja sambil melongo. "Setan!" umpat Dinah. "Untuk apa kau pulang! Kembali saja ke Pak Roy, dengan kedua kawanmu yang menyebalkan ini." "Mereka tidak menyebalkan," kata Philip dengan tenang. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Dinah, setelah melirik sebentar ke arah Jo—Jo. Tapi laki-laki itu tidak memperhatikan, karena sibuk menyetir. Philip cepat-cepat berbisik, "Mereka melarikan diri dari rumah Pak Roy. Aku, yang mengajak! Paman mereka akan mengirimkan uang pada Bibi Polly sebagai pembayaran biaya kehidupan mereka di tempat kita. Dengan begitu Bibi bisa membayar utang yang kauceritakan dalam suratmu itu. Mengerti?" Kemarahan Dinah lenyap, secepat timbulnya. Dipandangnya kedua teman abangnya itu dengan penuh minat, sambil mengusap-usap kepalanya yang benjol terantuk pinggir mobil. Apa kata Bibi Polly nanti? Dan mereka harus tidur di mana? Wah — ini baru asyik! Jo-Jo menjalankan mobil dengan seenaknya, melalui jalan kasar yang penuh batu. Jack sampai heran bahwa mobil itu tidak sudah lama ambruk. Sementara itu mobil terus mendaki tebing, lalu menurun lewat suatu jalan kecil yang agak tersembunyi- letaknya, melingkar-lingkar menuju Craggy-Tops. Tahu-tahu di depan sudah terbentang lautan luas dengan ombak yang berdebur-debur. Bangunan tua tempat tujuan perjalanan itu nampak suram di atasnya, dibangun pada lereng tebing. Mobil berhenti. Anak—anak turun. Jack memandang rumah tua itu. Kelihatannya aneh. Dulunya ada dua menara di situ, tapi yang satu sudah ambruk. Rumah itu terbuat dari batu-batu besar berwarna kelabu. Kelihatannya tidak bagus, tapi memancarkan kesan gagah. Laut luas dihadapi dengan sikap bangga dan marah, seakan-akan ingin menantang badai dan hantaman ombak. Jack memandang ke bawah tebing, memperhatikan air laut. Dilihatnya beratus-ratus burung laut yang bermacam-macam jenisnya, terapung-apung di air dan terbang berkeliling di atasnya. Tempat itu merupakan surga bagi burung liar. Dalam hati Jack serasa hendak menyanyi karena girang. Burung beratus-ratus, bahkan beribu-ribu. Di situ ia pasti akan bisa mempelajari unggas itu sepuas-puas hati. Mencari tempat-tempat sarang mereka, serta membuat foto-foto. Ah — pasti ia akan senang berada di tempat itu! Saat itu seorang wanita muncul di ambang pintu , rumah. Nampak bahwa ia memandang anak-anak dengan heran. Wanita itu kurus, rambutnya tipis berwarna kuning keputihan. Kelihatannya lesu dan capek. "Halo, Bibi Polly!" seru Philip, sambil berlari menaiki jenjang rumah. "Aku sudah kembali." "Rupanya begitu," kata bibinya, sambil mengecup pipinya sekilas. "Tapi siapa kedua anak itu?" "Mereka teman-temanku, Bibi Polly,." kata Philip dengan serius. "Mereka tidak bisa pulang, karena paman mereka patah kakinya. Karena itu aku lantas mengajak mereka kemari. Paman mereka akan membayar biaya kehidupan mereka di sini." "Philip! Kau ini benar-benar keterlaluan," kata Bibi Polly dengan ketus. "Seenaknya saja membawa orang ke sini, tanpa bilang apa-apa padaku! Sekarang mereka harus tidur di mana? Kau kan tahu sendiri, kita tidak punya kamar lebih!" "Kan bisa tidur dalam kamar menara," kata Philip. Jack dan Lucy-Ann bergembira mendengar ucapan anak itu. Tidur dalam kamar menara! Asyik! "Tapi di situ tidak ada tempat tidur," kata Bibi Polly dengan nada jengkel. "Jadi mereka harus pergi lagi. Malam ini boleh menginap di sini — tapi besok harus kembali!" Lucy-Ann kelihatannya sudah hampir menangis. Ia tidak enak, mendengar nada suara Bibi Polly yang tajam. Anak itu merasa sengsara, karena tidak disambut dengan ramah. Jack merangkul adiknya. Jack sudah bertekat tidak mau kembali. Ia sudah terlanjur senang melihat begitu banyak burung yang beterbangan di daerah situ. Ah, betapa asyiknya nanti -- berbaring di atas tebing, memperhatikan tingkah laku mereka. Tidak, ia tidak mau kembali! Mereka masuk ke rumah beramai-ramai, diikuti Jo-Jo yang mengangkut koper-koper ke dalam. Bibi Polly memandang Kiki dengan sikap tidak senang. "Kalian membawa burung kakaktua," katanya. "Burung menyebalkan, yang kerjanya berteriak-teriak melulu! Aku belum pernah suka pada kakaktua. Binatang-binatang kumpulanmu saja sudah cukup merepotkan, Philip – tanpa tambahan kakaktua lagi." "Kasihan Polly, Polly yang malang," kata Kiki dengan tiba-tiba. Bibi Polly kaget, lalu memandang kakaktua itu. "Dari mana dia tahu namaku?" tanyanya heran. Kiki tidak mengenal nama Bibi Polly. Ia sendiri yang sering disapa dengan nama itu. Dan Kiki memang sering mengoceh, ‘Kasihan Polly, Polly yang malang.' Ketika ia melihat bahwa ucapannya itu menyebabkan wanita tua yang bersuara tajam itu terkesan. Kiki lantas mengulang-ulang lagi dengan suara lirih. Seolah-olah begitu sedih dan hampir menangis. "Kasihan Polly! Polly baik! Kasihan, Polly yang malang! "Astaga!" kata Bibi Polly. Dipandangnya kakaktua itu, tapi kini tatapannya sudah jauh lebih ramah. Bibi Polly selalu merasa capek. sakit dan sibuk. Tapi belum pernah ada yang mengasihani. Bahkan memperhatikan sedikit pun kelihatannya tidak ada. Dan sekarang ada burung yang mengucapkan kata-kata hiburan dengan ramah. Walau rasanya agak aneh, tapi diam-diam Bibi Polly merasa senang mendengarnya. "Kau boleh membawa kasur ke kamar yang di menara dan tidur di situ malam ini bersama — siapa nama anak laki-laki ini?" kata Bibi Polly pada Philip. "Sedang yang perempuan, bisa tidur bersama Dinah. Tempat tidurnya sempit, tapi apa boleh buat! Aku tidak bisa bersiap-siap, apabila kau membawa teman-teman ke sini tanpa bilang-bilang dulu!" Setelah itu anak-anak makan. Hidangannya merupakan gabungan makan sore dan malam. Bibi Polly pandai memasak. Anak-anak makan dengan lahap. Selain sarapan pagi, sehari itu perut mereka hanya diisi roti yang disiapkan Pak Roy tadi pagi untuk Philip. Jelas bahwa bekal untuk satu orang takkan mengenyangkan apabila dibagi bertiga. Tiba-tiba Dinah bersin. Dengan segera Kiki menyapa dongan nada memarahi. "Mana sapu tanganmu?" Bibi Polly memandang kakaktua itu. Ia kaget, bercampur kagum. "Eh, itu kan selalu kukatakan pada Dinah,” kata Bibi. "Rupanya burung kakaktua itu pintar." Kiki senang dikagumi Bibi Polly. Ia mengoceh lagi. "Kasihan Polly, Polly yang malang," katanya, sambil memiringkan kepala dengan genit, sedang matanya berkilat-kilat menatap Bibi Polly. "Kelihatannya Bibi Polly lebih suka pada kakaktuamu daripada terhadap dirimu," bisik Philip pada Jack sambil nyengir. Sehabis makan, Bibi Polly mengajak Philip masuk ke kamar kerja pamannya. Philip mengetuk pintu, lalu masuk. Dilihatnya Paman Jocelyn sedang duduk sambil membungkuk. Ia sedang meneliti setumpuk kertas yang sudah kekuning-kuningan warnanya. la melakukannya dengan bantuan kaca pembesar. Paman mendengus ketika Philip masuk. "Jadi kau sudah kembali," gerutu Paman. "Baik-baik sajalah, dan jangan ganggu aku. Aku sibuk sekali selama liburan ini." "Jocelyn," kata Bibi menyela, "Philip mengajak dua orang anak pulang bersamanya, serta seekor burung kakaktua." "Burung kakaktua?" kata Paman. "Untuk apa burung kakaktua?" "Jocelyn, burung itu milik satu dari kedua anak yang diajak Philip kemari," kata Bibi Polly. "Philip ingin mengajak anak-anak itu tinggal di sini." "Tidak bisa! Kalau burung kakaktua, aku tidak keberatan," kata Paman Jocelyn. "Kakaktua itu boleh tinggal, jika kau menghendakinya. Kalau tidak, kirim pergi lagi. Aku sedang sibuk." Dan Paman membungkuk lagi, kembali meneliti naskah-naskah tua yang berserak di meja. Bibi Polly mengeluh, lalu menutup pintu. "Pamanmu itu begitu tertarik pada masa silam, sehingga tak peduli pada segala yang terjadi sekarang" katanya, setengah pada diri sendiri. "Yah — kurasa aku sendiri yang terpaksa menelepon Pak Roy. Pasti guru itu sudah bingung, ke mana perginya kedua anak itu." Bibi pergi ke tempat pesawat telepon terpasang. Philip membuntuti, karena ingin tahu apa kata Pak Roy. Ketika dilihatnya Dinah menjengukkan kepala dari kamar duduk, Philip menganggukkan kepala ke arah pesawat telepon. Mudah-mudahan saja Pak Roy marah, lalu mengatakan tidak mau menerima Jack dan Lucy-Ann lagi. Mudah-mudahan Bibi Polly menganggap uang kiriman Paman Geoffrey cukup banyak, sehingga kedua keponakan orang itu diizinkan tinggal di situ selama liburan Bab 5 BERHASIL Rasanya lama sekali baru ada hubungan dengan Pak Roy. Guru itu ternyata bingung, dan sekaligus juga cemas. Ketika agak lama juga Jack dan Lucy-Ann belum kembali, mulanya Pak Roy mengira kedua anak itu pergi berjalan-jalan lagi. Lalu Jack menjumpai burung yang jarang kelihatan, sampai melupakan waktu. Tapi kecemasannya timbul ketika kedua anak itu belum pulang juga setelah beberapa jam. Tidak terpikir olehnya kemungkinan mereka ikut dengan Philip. Sebab kalau hal itu terlintas dalam pikirannya, pasti ia sudah sedari tadi menelepon Bibi Polly. Pak Roy kaget ketika telepon berdering dengan tiba-tiba. Tapi kekagetan itu beralih menjadi kegembiraan, ketika ternyata yang menelepon Nyonya Sullivan. Nyonya Sullivan itu Bibi Polly, yang menyampaikan kabar bahwa Jack dan Lucy-Ann selamat, dan saat itu berada di rumahnya. "Mereka tadi tiba di sini dengan Philip," kata Bibi Polly dengan nada agak keras. "Saya heran, apa sebabnya mereka diperbolehkan saja pergi dari tempat Anda. Saya tak mungkin bisa menampung mereka di sini." Pak Roy langsung lesu. Tadinya ia sudah berharap, mudah-mudahan saja dengan begitu ia bebas dari Jack dan Lucy-Ann, serta kakaktua yang menyebalkan itu. Tapi ternyata tidak. "Yah, sayang sekali, Nyonya," kata Pak Roy dengan sopan. Padahal dalam hati ia mengumpat-umpat. "Betul-betul sayang! Kedua anak itu tadi sebetulnya ikut dengan Philip ke stasiun untuk mengantarnya. Dan rupanya Philip kemudian mengajak mereka ikut. Sayang Anda tidak bisa menampung mereka selama sisa liburan ini, karena mungkin keduanya akan lebih senang kalau bisa ikut dengan Philip di tempat Anda. Pasti mereka sudah bercerita bahwa paman mereka tidak bisa menerima mereka dalam liburan ini. Ia mengirimkan uang yang cukup banyak pada saya, dengan harapan saya bisa menampung mereka. Tapi dengan senang hati saya bersedia menyerahkan uang itu pada Anda, apabila Anda bisa menampung keduanya. Izin Pak Trent bisa kita urus nanti." Sejenak Nyonya Sullivan berpikir-pikir. "Berapa banyak uang itu?" tanyanya kemudian. Ia diam lagi sesaat, setelah Pak Roy menyebutkan jumlahnya. Ternyata memang cukup banyak. Nyonya Sullivan menghitung-hitung. Kedua anak itu takkan sebegitu besar biayanya. Dan ia bisa mengatur, agar Jocelyn jangan sampai terganggu. Anak perempuan yang bernama Lucy-Ann itu nanti bisa membantu Dinah bekerja membereskan rumah. Sedang ia sendiri akan bisa membayar utang-utangnya. Itu pasti melegakan hatinya. Selama itu Pak Roy tetap menunggu sambil berharap-harap. la sudah ngeri saja, apabila kakaktua itu ternyata harus ditampungnya kembali. Lucy-Ann baik anaknya. Jack — yah masih Lumayan! Tapi Kiki? Aduh. ampun! "Yah," kata Nyonya Sullivan. Dari suaranya terdengar bahwa ia sudah setuju sebetulnya, "Yah — coba kupikir-pikir dulu. Sebetulnya agak repot, karena tempat kami di sini sempit. Maksudku, walau rumah ini sebetulnya besar, tapi setengahnya sudah ambruk karena tuanya. Sedang ruangan-ruangan lain terlalu berangin, tidak enak untuk ditinggali. Tapi kami mungkin bisa mengaturnya. Jika kamar menara kupakai lagi .... “ Philip serta ketiga anak lainnya di Craggy-Tops berpandang-pandangan dengan gembira. Mereka mendengar kata-kata Bibi Polly selama itu. "Bibi sudah mau!" bisik Philip: "Wah, Jack — kurasa kita berdua nanti disuruh menempati kamar yang ada di menara! Asyik! Aku sudah selalu ingin diperbolehkan tidur di situ. Tapi Bibi Polly tidak mengizinkan aku memakainya sebagai kamarku sendiri." "Nyonya Sullivan," kata Pak Roy meminta, Anda akan sangat menolong saya, apabila kedua anak itu bisa Anda tampung di situ. Saya akan segera menelepon Pak Trent. Serahkan saja urusan itu pada saya. Sedang uangnya akan saya kirimkan juga dengan segera. Lalu kalau ternyata Anda masih perlu uang lagi, Anda cukup memberitahukannya pada saya. Saya akan sangat berterima kasih, apabila urusan ini bisa Anda ambil alih. Kedua anak itu tidak repot mengurusnya. Apalagi Lucy-Ann, dia itu. anak manis; Cuma kakaktua itu saja — ocehannya menyebalkan! Tapi mungkin Anda bisa mengurungnya dalam kandang." "Ah, aku tidak keberatan terhadap burung itu," kata Nyonya Sullivan. Pak Roy tercengang mendengar kalimat itu. Ia mendengar suara .Kiki berteriak keras. Wah — rupanya Nyonya Sullivan wanita yang luar biasa. Apabila ia senang pada Kiki! Setelah itu tidak banyak lagi yang dibicarakan. Nyonya Sullivan mengatakan akan menulis surat pada Pak Trent, begitu ia menerima kabar lagi dari Pak Roy. Sementara itu ia berjanji akan mengurus Jack dan Lucy-Ann selama sisa waktu liburan. Anak-anak menarik napas lega ketika pembicaraan telepon itu selesai. Philip menghampiri bibinya. "Aduh — terima kasih, Bibi Polly," katanya. "Enak bagiku serta Dinah apabila kami ada teman di sini. Kami takkan mengganggu Paman, dan sebisa mungkin akan membantu Bibi." "Polly manis," kata Kiki dengan ramah. la pindah dari pundak Jack, meloncat dan bertengger di pundak Bibi Polly. Anak-anak memandang sambil melongo. Kiki memang hebat — ia pandai mengambil hati Bibi Polly. "Burung konyol!" kata Bibi. Ia tidak mau menampakkan bahwa ia sebetulnya sangat senang. "God save the Queen," kata Kiki dengan tiba-tiba. Semua tertawa mendengarnya. Kalimat itu merupakan nama lagu Kebangsaan Inggris, yang berarti doa selamat bagi Ratu. "Philip, kau terpaksa memakai kamar di menara bersama Jack," kata Bibi Polly. "Ayo ikut, kita lihat bagaimana semuanya harus diatur. Dinah, kau pergi ke kamarmu dan periksalah apakah cukup tempat di situ untukmu bersama Lucy-Ann. Atau mungkin dia lebih suka memakai kamar Philip. Kedua kamar itu kan bersambungan, jadi bisa saja kalian memakai kedua-duanya." Dengan gembira Dinah mengajak Lucy-Ann memeriksa kamarnya. Lucy-Ann sebenarnya ingin mendapat kamar yang lebih dekat ke tempat Jack. Sedang letak kamar menara agak jauh dari situ. Jack mengambil Kiki, lalu pergi ke sebuah jendela yang tinggi. la duduk di ambangnya, memperhatikan burung-burung laut yang terbang berkeliaran tanpa henti di luar. Sementara itu Philip ikut dengan bibinya ke kamar menara. la merasa gembira. Soalnya sementara itu ia sudah senang sekali pada Jack dan Lucy-Ann. Karenanya ia merasa seperti memenangkan hadiah besar, ketika diputuskan bahwa kedua anak itu bisa tinggal di Craggy-Tops selama beberapa minggu yang masih tersisa dari masa liburan musim panas. Philip berjalan di belakang Bibi Polly, menyusur sebuah gang yang dingin berlantai dan berdinding batu. Mereka sampai di kaki tangga batu yang berputar-putar ke atas, lalu mulai mendaki jenjangnya. Akhirnya mereka muncul dalam kamar menara. Kamar itu berbentuk bulat dengan dinding yang sangat tebal. Di situ ada tiga jendela sempit. Satu di antaranya menghadap ke laut. Ketiga jendela itu tak berkaca. Jadi angin bisa bebas menghembus ke dalam kamar, teriring suara teriakan burung-burung serta deburan ombak di bawah. "Kurasa kamar ini nanti terlalu dingin bagi kalian," kata Bibi Polly. Philip cepat-cepat menggeleng. "Ah, itu tidak apa!" katanya. "Kalau jendela-jendela ini berkaca, toh kami buka juga nantinya, Bibi Polly. Sungguh, kami takkan apa-apa. Kami pasti akan senang di atas sini. Lihatlah — itu ada peti tua untuk menaruh barang-barang kami — dan bangku kayu — sedang permadani bisa kami bawa dari bawah. Yang kami perlukan cuma kasur saja. "Yah — kita takkan bisa mengangkat tempat tidur lewat tangga sempit itu ke sini," kata Bibi Polly. "Jadi kalian terpaksa tidur di atas kasur saja. Aku punya satu kasur lebar. Kalian harus cukup puas dengannya. Nanti akan kusuruh Dinah naik ke sini dengan sapu dan lap, untuk membersihkan kamar ini sedikit." "Sekali lagi terima kasih, Bibi," kata Philip agak malu-malu. Ia sebenarnya takut pada bibinya yang selalu repot itu. Walau setiap liburan datang ke tempat bibi dan pamannya, tapi Philip merasa tidak benar-benar mengenalnya. "Mudah-mudahan uang yang dari Pak Trent cukup untuk menutup ongkos Bibi- tapi pasti Jack dan Lucy-Ann tidak begitu banyak memerlukan pembiayaan." "Yah, Philip," kata Bibinya sambil menutup peti tua, lalu menoleh pada Philip dengan pandangan sedih, "Kau jangan menganggap aku ini mau rewel mengenainya — tapi kenyataannya akhir-akhir ini ibumu tidak begitu sehat, dan karenanya tidak bisa mengirimkan uang sebanyak biasanya untuk belanja kalian! Kau tahu sendiri kan, uang sekolahmu serta Dinah cukup tinggi. Karena itu aku gelisah terus, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kau sekarang sudah cukup besar, jadi bisa menyadari pamanmu tidak bisa diandalkan untuk tanggung jawab rumah tangga. Uang sedikit yang ada padaku, selalu lekas habis." Philip kaget mendengar kata-kata bibinya itu. ibunya sakit! Dan Bibi Polly menerima kiriman tidak sebanyak biasanya — wah, itu memang sangat menggelisahkan! "Ibu kenapa sebetulnya?" tanyanya. "Yah — tubuhnya kurus sekali, dan juga lesu serta batuk-batuk terus, katanya," jawab Bibi Polly. "Kata dokter dia perlu istirahat lama. Kalau bisa di tepi laut. Tapi lalu pekerjaannya bagaimana?" "Aku tak perlu bersekolah lagi," kata Philip dengan segera. "Aku akan mencari pekerjaan. Aku tak mau ibu bekerja setengah mati untuk kita." "Tidak bisa," kata Bibi Polly. "Kau ini, umurmu empat belas saja belum! Tidak — karena kini aku akan mendapat uang dari Pak Trent untuk mengongkosi penampungan kedua anak ini, keadaan kita akan agak mendingan." "Rumah ini terlalu besar untuk Bibi," kata Philip lagi. Tiba-tiba disadarinya, bibinya itu kelihatan capek sekali. "Kenapa kita harus tinggal di sini, Bibi Polly? Kenapa tidak pindah saja ke rumah lain yang lebih kecil, di mana Bibi tidak perlu bekerja terlalu keras dan tidak selalu kesepian?" "Aku mau saja," kata Bibi sambil mengeluh, "tapi siapalah yang mau membeli rumah kayak begini, yang sudah setengah ambruk dan terletak di tempat terpencil serta banyak anginnya? Kecuali itu, aku pasti takkan bisa membujuk pamanmu supaya mau pindah. Pamanmu sayang pada tempat ini, ia cinta pada seluruh daerah pesisir. Pengetahuannya mengenai daerah sini, jauh melebihi siapa pun juga di seluruh dunia. Yah — tak ada gunanya kita mengharapkan ini dan itu. Kita harus berusaha terus, sampai kau dan adikmu Dinah sudah cukup besar dan bisa mencari nafkah." "Setelah itu aku akan membuatkan rumah bagi ibu, lalu kami bertiga akan hidup berbahagia di situ," pikir Philip, sambil mengikuti bibinya turun untuk mengambil kasur. Dipanggilnya Jack, dan mereka berdua kemudian sibuk mengangkut kasur itu ke atas. Dengan napas terengah-engah mereka menyeret benda yang merepotkan itu lewat tangga yang berputar-putar. Kiki memberi dorongan semangat dengan teriakan dan omelan. Jo-Jo, pembantu Bibi merengut mendengar suara Kiki yang berisik. Menurut perasaannya Kiki menujukan omelan itu padanya. Burung itu memang iseng. Beberapa kali Jo-Jo kaget, karena Kiki tiba-tiba berteriak di dekat telinganya Saat itu Jo-Jo sedang membawa sebuah meja kecil ke atas, serta koper kepunyaan Jack. Kedua barang itu diletakkannya dalam kamar menara. Setelah itu ia memandang dari jendela ke luar. Jo-Jo kelihatannya sedang kesal, kata Philip dalam hati. Orangnya memang belum pernah nampak ramah — tapi saat itu air mukanya lebih cemberut lagi daripada biasa. "Ada apa, Jo-Jo?" tanya Philip. Ia sama sekali tidak takut pada pembantu bertampang masam itu. "Kau melihat macam-macam?" Anak-anak tertawa, mengingat cerita Dinah dalam suratnya mengenai Jo-Jo, yang mengatakan di kaki tebing berkeliaran 'macam—macam` pada malam hari. Jo-Jo mengerutkan kening. "Nyonya Polly sebenarnya tidak boleh mengizinkan kalian memakai kamar ini," katanya. "Sungguh, dan aku juga sudah mengatakan padanya. Ini kamar sial! Dan dari sini bisa kelihatan Pulau Suram, apabila kabut terangkat. Padahal siapa yang melihat Pulau Suram, akan ditimpa kesialan." '"Jangan konyol, Jo-Jo," kata Philip sambil tertawa. "Jangan konyol, Jo-Jo," kata Kiki, menirukan suara Philip dengan persis. Jo-Jo memandang Philip dan Kiki silih berganti, sambil cemberut. "Percayailah kataku, Philip," katanya, "jangan sekali-kali berani memandang ke arah Pulau Suram! Ini satu-satunya tempat dari mana pulau itu kelihatan, dan karenanya kamar ini sial. Pulau Suram hanya membawa sial saja. Dulu di situ tinggal orang-orang jahat. Macam-macam kejahatan terjadi di sana, dan sepanjang ingatan orang cuma kejahatan melulu yang datang dari pulau itu." Setelah mengucapkan kata-kata seram itu Jo-Jo beranjak pergi, tapi sebelumnya ia sempat menoleh sebentar sambil cemberut dan memutar-mutar biji matanya. "Ramah ya, orang itu?" kata Philip, sementara ia menggelar kasur dengan dibantu oleh Jack. "Kurasa dia sinting! Mestinya begitu, karena Cuma orang sinting saja yang mau tetap tinggal di sini dan bekerja seperti dia. Di tempat lain, ia pasti bisa menerima upah lebih tinggi." "Apa yang dimaksudkannya dengan Pulau Suram itu?" tanya Jack, sambil melangkah ke jendela. "Nama aneh! Aku sama sekali tidak melihat ada pulau, Jambul." "Memang jarang sekali kelihatan," jawab Philip. "Letaknya di sebelah barat sana! Di sekelilingnya ada beting karang, di mana ombak selalu memecah dengan dahsyat, sehingga percikannya menyembur tinggi. Kecuali itu rasanya juga selalu ada kabut yang menyelubungi. Tempat itu tidak didiami lagi sekarang. Dulu ada orang yang tinggal di sana. Tapi itu sudah lama sekali." "Aku kepingin ke sana," kata Jack. "Pasti di situ banyak burung, yang jinak-jinak." "Apa maksudmu, jinak-jinak?" tanya Philip dengan heran. "Lihat saja burung-burung itu. Pada Kiki saja takut!" "Ya — tapi burung-burung di Pulau Suram kurasa belum pernah melihat manusia," kata Jack. "Jadi mereka takkan bersikap curiga dan berhati-hati. Pasti aku akan bisa membuat foto-foto yang indah dari mereka. Wah, kepingin sekali rasanya bisa ke sana." "Pokoknya itu tidak bisa," kata Philip. "Aku sendiri belum pernah ke sana. Sepanjang pengetahuanku, belum pernah ada orang pergi ke pulau itu. He — bagaimana pendapatmu, kita gelar di sini saja kasur ini? Jangan terlalu dekat ke jendela, karena nanti basah kalau hujan. Di sini sering hujan." "Taruh saja sesukamu," kata Jack Ia tidak mau diganggu dalam lamunannya tentang pulau berkabut serta burung-burung tak dikenal yang hidup di situ. Mungkin ia akan melihat jenis burung yang belum pernah dilihatnya selama ini! Mungkin ia akan bisa membuat foto-foto paling indah di dunia, tentang burung-burung itu. Jack sudah bertekat akan berusaha pergi ke Pulau Suram. Masa bodoh Jo-Jo dengan segala ceritanya yang serba seram. "Yuk, kita ke bawah lagi," ajak Philip kemudian, setelah ia selesai memasukkan pakaian ke dalam peti. "Kau dari tadi sama sekali tak membantu, Jack. Yuk, Kiki!" Mereka menuruni tangga sempit yang berputar-putar, menggabungkan diri lagi dengan yang lain-lain. Senang rasanya membayangkan minggu-minggu mendatang! Tak perlu bekerja, tidak ada pelajaran yang harus dihafal sehari-hari mereka hanya akan mandi-mandi, mendaki dan main perahu terus. Asyik! Bab 6 HARI-HARI BERLALU Dinah dan Lucy-Ann akhirnya memutuskan untuk memakai kedua kamar yang tersedia. Kamar-kamar itu sangat sempit. Bagi mereka lebih mudah membereskan dua kamar, daripada satu kamar yang dipakai dua orang. "Jika semua barang kita ditaruh dalam satu kamar saja, pasti tak ada tempat," kata Dinah. Lucy-Ann juga sependapat. la sudah naik ke kamar menara. Kamar itu disukainya. Ia sebenarnya juga kepingin mendapat kamar yang tak berkaca jendela. Rasanya hampir sama seperti tidur di luar pikir anak perempuan itu, sambil menjulurkan tubuh ke luar dari salah satu jendela. Dirasakannya hembusan angin laut mempermainkan rambut. Kedua kamar yang ditempati Dinah dan Lucy-Ann juga menghadap ke laut. Tapi jendela-jendela di situ membuka ke arah yang berlainan dengan satu jendela di kamar menara yang juga menghadap ke laut, Dari jendela kamar-kamar itu, Pulau Suram tidak kelihatan. Ketika Jack mance-ritakan kata-kata Jo-Jo di kamar menara pada Lucy-Ann, anak perempuan itu kelihatan agak takut. "Kau tidak perlu cemas. Jo-Jo paling percaya pada segala macam tahyul dan dongeng," kata Philip sambil tertawa. "Cerita-ceritanya sama sekali tak ada yang benar! Kurasa ia memang gemar menakut-nakuti orang." Aneh rasanya tidur pada malam pertama di Craggy-Tops. Lama sekali Lucy-Ann masih terjaga. Didengarkannya bunyi samar ombak berdebur dan memecah di kaki tebing. Terdengar pula desingan angin. Lucy-Ann senang mendengarnya. Lain sekali rasanya dengan suasana malam di kota kecil tempat tinggal Paman Geoffrey. Di kota itu malam selalu sunyi sepi. Tapi di sini — di sini terdapat bermacam bunyi dan gerak, serta rasa asin yang menempel di bibir dan angin yang menggeraikan rambut. Semuanya sangat menarik bagi Lucy-Ann. Di rumah sunyi itu, segala macam peristiwa bisa saja terjadi. Jack yang berbaring dalam kamar menara, juga belum tidur. Sedang Philip sudah pulas di sampingnya. Jack berdiri lagi, lalu pergi ke jendela. Angin menghembus lewat jendela yang menghadap ke laut. Jack menjulurkan kepalanya ke luar, lalu memandang ke bawah. Di balik awan berarak, nampak secuil bulan. Jauh di bawah membayang permukaan air gelap, bergerak terputar-putar. Saat itu laut sedang pasang naik. Terdengar bunyi ombak menghantam batu-batu besar yang hitam. Percikannya melayang dibawa angin Jack merasa ada air laut membasahi pipi, walau kamar menara itu tinggi letaknya. Jack menjilat bibirnya. Terasa asin. Terdengar teriakan burung memecah kegelapan. Kedengarannya seperti sedih dan pilu. Tapi Jack senang mendengarnya. Burung apa yang bersuara itu? Mungkin jenis yang belum dikenainya? Sementara itu ombak berdebur terus di kaki tebing, dan angin menderu berkali-kali masuk ke dalam kamar. Tubuh Jack menggigil. Saat itu memang musim panas. Tapi Craggy-Tops dibangun di suatu tempat yang begitu banyak anginnya, sehingga selalu ada saja angin bertiup di situ. Tiba-tiba Jack kaget setengah mati. Ada sesuatu menyentuh pundaknya. Jantungnya berdebar keras. Tapi kemudian ia tertawa. Ternyata yang menyentuhnya itu hanya Kiki saja. Di mana pun juga, burung kakaktua itu selalu tidur bersama Jack. Biasanya bertengger di pinggiran atas tempat tidurnya. Tapi kasur tidak mempunyai pinggiran yang bisa dipakai sebagai tempat bertengger. Karenanya Kiki lantas memilih hinggap di tepi peti. Tapi ketika mendengar Jack ada di ambang jendela, burung iseng itu meninggalkan tempatnya lalu hinggap di tempat yang biasa. Di pundak Jack. Itulah yang menyebabkan anak laki-laki itu kaget setengah mati. Kiki menempelkan tubuhnya ke pipi Jack. "Ayo tidur, anak nakal," katanya. "Tidur!" Jack nyengir. Lucu, apabila secara kebetulan Kiki mengocehkan kata—kata yang tepat. Digaruk-garuknya tengkuk burung kesayangannya itu, sambil mengajaknya bicara dengan suara pelan, supaya jangan membangunkan Philip. "Besok akan kubuatkan tempat bertengger untukmu, Kiki," kata Jack. "Aku tahu. kau tidak bisa tidur anak sambil hinggap di tepi peti. Sekarang aku mau tidur. Malam yang tidak tenang, ya? Tapi aku menyenanginya." Jack kembali ke pembaringannya. la menggigil kedinginan. Tapi tak lama kemudian tubuhnya sudah hangat kembali, karena ia merapatkan diri ke punggung Philip. Dalam tidurnya, Jack memimpikan beribu-ribu burung laut yang menghampirinya dengan jinak, minta dipotret. Jack dan Lucy-Ann pada mulanya agak merasa canggung tinggal di Craggy-Tops, karena selama bertahun-tahun selalu hidup dalam rumah biasa yang kecil, di suatu kota yang kecil pula. Di rumah yang ditinggali Philip dan Dinah, tidak ada listrik. Di situ tidak ada air yang mengucur keluar dari kran. Di depan dan di belakang rumah tidak ada kebun. Dan di pojok jalan tidak ada toko-toko, seperti di kota. Setiap 5 hari selalu ada pekerjaan membersihkan lampu-lampu minyak. Setiap kali harus dipasang lilin. Sedang air harus ditimba dari sumur yang sangat dalam. Jack tertarik pada sumur itu. Di belakang rumah ada pekarangan sempit, langsung berbatasan dengan tebing batu. Di pekarangan itulah terdapat sumur tempat air yang dipakai untuk keperluan rumah itu. Jack dan juga Lucy-Ann heran, karena ternyata air sumur sama sekali tidak asin. "Tidak, air itu tawar," kata Dinah, sambil mengangkat ember berat yang tergantung pada rantai. "Sumur ini menembus ke dalam batu, jauh di bawah dasar laut. Di bawah ada sumber air tawar yang jernih dan dingin sekali. Kalau tidak percaya, ciciplah sedikit." Air itu segar rasanya — seenak air es yang diminum anak-anak pada hari yang panas di kota. Jack menjengukkan kepala ke dalam sumur, memandang air yang gelap di bawah. "Aku kepingin turun dengan timba. Untuk melihat berapa dalamnya sumur ini," katanya. "Tapi nanti bingung kalau timba tiba-tiba macet dan kau tidak bisa naik lagi ke atas," kata Dinah sambil tertawa. "Ayo, bantu aku, Jack. Jangan melamun terus. Kau ini bisanya cuma melamun saja." "Dan kau selalu tidak sabaran," kata Philip, yang ada di dekatnya. Dinah memalis dengan sikap marah. Anak itu cepat sekali tersinggung. "Ala, kalau kau harus banyak bekerja seperti aku dan Lucy-Ann, pasti kau juga akan tidak sabaran," tukasnya ketus. "Yuk, Lucy-Ann, kita tinggalkan saja kedua anak itu dengan kesibukan mereka. Anak laki-laki memang tidak banyak gunanya." "Ya, sebaiknya kau pergi saja, sebelum kutampar," teriak Philip ke arah Dinah yang sudah melangkah hendak pergi, lalu cepat-cepat lari. Lucy-Ann bingung dan agak kaget melihat kedua anak itu tak henti-hentinya bertengkar. Tapi kemudian dilihatnya bahwa percekcokan itu tidak pernah sampai berlarut-larut. Begitu timbul, lalu mereda kembali. Akhirnya ia terbiasa juga. Yang paling repot, urusan berbelanja. Dua kali seminggu Jo-Jo pergi ke desa yang terdekat dengan mobil bobroknya, membawa daftar belanjaan yang panjang. Jika ada sesuatu yang lupa dibeli, terpaksa mereka hidup tanpa barang itu sampai giliran belanja berikut. Sayuran didapat dari kebun kecil yang dipelihara sendiri oleh Jo-Jo. Kebun itu tersempil di bawah naungan tebing di belakang rumah. "Yuk, kita ikut naik mobil dengan Jo-Jo," kata Lucy-Ann pada suatu pagi. Tapi Philip menggeleng. "Percuma minta padanya," kata anak itu. "Kami sudah sering minta ikut pada Jo-Jo, tapi ia tidak mau mengajak kami. Ia selalu menolak. la bahkan mengancam akan mendorong kami keluar dari mobil, apabila kami nekat naik. Aku pernah mencoba masuk. Tapi ia ternyata benar-benar mendorongku ke luar!" "Aduh, jahatnya!" kata Jack kaget, “Aku heran, kalian mau terus mempekerjakannya di sini!" "Siapa lagi yang mau bekerja di tempat terpencil begini?" kata Dinah. "Tidak ada! Jo-Jo pasti juga tidak mau, apabila ia tidak sinting." “Walau sudah diperingatkan, Lucy-Ann masih mencoba juga minta diajak ketika Jo-Jo hendak pergi belanja. "Tidak," kata laki-laki itu dengan tampang cemberut. "Ayo dong, Jo-Jo," kata Lucy-Ann membujuk dengan air muka memelas. la biasanya berhasil dituruti kemauannya kalau sudah begitu. Tapi menghadapi Jo-Jo •— percuma! "Aku sudah mengatakan tidak!" ulang laki-laki itu sambil berjalan pergi. Lucy-Ann hanya bisa memandangnya saja dari belakang. Jahat sekali orang itu! Kenapa ia tidak mau mengajak siapa pun juga apabila pergi berbelanja? Menurut perasaan Lucy-Ann, pasti bukan karena apa-apa. Hanya karena dasarnya saja jail! Anak-anak itu senang berada di Craggy-Tops, walau banyak urusan yang merepotkan. Selalu ada saja tugas di rumah yang harus dilakukan, dan anak-anak membantu sebisa mereka. Paman Jocelyn tidak pernah kelihatan. Pada saat makan juga tidak. Bibi Polly yang mengantarkan makanan ke kamar kerjanya. Anak-anak kadang-kadang bahkan sama sekali tidak menyadari bahwa di rumah itu masih ada Paman. Jack dan Philip bertugas mengambil air dari sumur, mengangkut kayu api ke dapur, serta mengisi minyak ke dalam tungku yang memakai minyak sebagai bahan bakar. Kecuali itu mereka juga bergiliran dengan Dinah serta Lucy-Ann, membersihkan lampu-lampu. Anak-anak tidak ada yang suka melakukannya, karena pekerjaan itu kotor. Jo-Jo pekerjaannya mengurus mobil dan kebun sayur, membersihkan lantai dengan sikat, membersihkan kaca-kaca jendela apabila sudah buram kena percikkan air laut, serta bermacam-macam tugas lainnya lagi. Jo-Jo memiliki sebuah perahu yang bagus, dengan layar yang kecil. "Maukah dia mengizinkan kita memakainya?"tanya Jack. "Sudah jelas tidak," kata Philip. "Dan kau jangan coba-coba memakainya tanpa izin. Kalau kau berani, dipukulnya nanti. Perahu itu kesayangannya. Naik ke situ saja kami tidak boleh." Jack mendatangi perahu itu, untuk melihat-lihat. Perahu itu memang bagus. Harganya pasti mahal. Di dalamnya ada seperangkat dayung, tiang layar dengan kainnya, serta pancing yang banyak jumlahnya. Jack kepingin sekali berlayar dengan perahu itu. Tapi sementara ia sedang memperhatikan sambil berpikir berani atau tidak ia masuk untuk merasakan gerak ombak di situ, tahu-tahu Jo-Jo muncul. Mukanya yang selalu cemberut, saat itu nampak semakin masam. "Mau apa kau di situ?" tanya Jo-Jo dengan mata terputar-putar. "Itu perahuku!" "Ya deh, ya deh," kata Jack dengan kesal. "Masa melihatnya saja tidak boleh!" "Tidak," kata Jo-Jo sambil membelalak. "Anak nakal," kata Kiki, lalu memekik ke arah Jo-Jo. Orang itu marah sekali. Kelihatannya sudah kepingin sekali memilin leher Kiki. "Kau ini memang ramah sekali," kata Jack menyindir. lalu melangkah pergi. Ia agak takut pada laki-laki masam berkulit hitam itu "Tapi kubilang saja dari sekarang — pada suatu waktu nanti aku akan berlayar dengan perahu dari sini dan kau saat itu takkan bisa menghalang-halangi." Jo-Jo memperhatikan Jack yang melangkah pergi. Mata laki-laki itu agak terpicing, sedang mulutnya menggerenyot marah. Bab 7 PENEMUAN ANEH Kalau tidak ada Jo-Jo, kehidupan di Craggy-Tops sangat menyenangkan bagi anak-anak, setelah mereka bisa membiasakan diri dengan tugas sehari-hari. Banyak sekali kesibukan mereka yang mengasyikkan. Berenang dalam teluk kecil yang terlindung, di mana air laut tenang, benar-benar menyenangkan. Mereka juga gemar memasuki gua-gua gelap dan lembab yang terdapat di kaki tebing. Memancing sambil duduk—duduk di atas batu sangat menggairahkan, karena di situ kadang-kadang tertangkap ikan besar. Tapi Jo-Jo selalu merusak suasana, dengan tampangnya yang masam serta tindakannya yang selalu mencampuri urusan mereka. Entah bagaimana caranya, tapi anak-anak merasa orang itu selalu muncul dengan tiba—tiba, di mana pun mereka sedang berada. Misalnya apabila mereka sedang asyik memancing. Tiba-tiba muncul tampang masam dari balik batu, lalu mengatakan bahwa mereka hanya membuang-buang waktu saja di situ. "Ah — jangan ganggu kami, Jo-Jo," kata Philip jengkel. "Kau bersikap seolah-olah pengawas kami. Urus saja pekerjaanmu sendiri, dan biar kami berbuat semau kami di sini. Kami kan tidak mengganggu siapa-siapa." "Aku disuruh Nyonya Polly mengawasi kalian," kata Jo-Jo sambil cemberut. "Katanya aku harus menjaga, jangan sampai kalian terjerumus ke dalam bahaya. Kalian tahu, kan?" "Tidak, aku tidak mau tahu," tukas Philip kesal. "Yang kuketahui cuma kau ini selalu muncul di mana kami sedang berada, untuk mengganggu kesenangan kami. Kami tidak suka diintip-intip begitu." Lucy-Ann terkikik. Menurut perasaannya Philip berani, berbicara begitu pada laki-laki berbadan kekar itu. Tapi Jo-Jo memang menjengkelkan. Coba dia periang dan ramah, alangkah senangnya keadaan di situ. Mereka akan bisa memancing dan pesiar dengan perahunya, dan pergi naik mobil serta piknik dengan dia. "Tapi semuanya tidak bisa kita lakukan, hanya karena ia sinting dan pemarah," kata Lucy-Ann. "Padahal sebetulnya mungkin kita bisa mencoba berlayar ke Pulau Suram untuk melihat apakah di sana banyak burung, apabila Jo-Jo baik hati." "Yah, yang jelas dia tidak baik hati! Jadi kita takkan pernah bisa mendatangi Pulau Suram," kata Philip. "Kalau pun kita bisa ke sana, aku berani taruhan di tempat terpencil itu takkan ada burung seekor pun juga. Yuk — kita memeriksa gua besar yang kita temukan kemarin." Asyik rasanya melihat-lihat ke dalam gua yang banyak jumlahnya di pesisir itu. Beberapa di antaranya menjorok jauh sekali ke dalam tebing. Ada pula yang langit-langitnya berongga. Dari rongga-rongga itu bisa didatangi gua—gua yang ada di sebelah atas. Menurut Philip, jaman dulu gua-gua itu dipakai sebagai tempat bersembunyi, atau untuk tempat menyembunyikan selundupan. Tapi kini tak ada yang bisa dilihat di situ. Kecuali rumput laut serta rumah kerang yang sudah kosong. “Sayang kita tidak punya senter yang terangi kata Jack, ketika lilin yang dibawanya padam untuk keenam kalinya pagi itu. "Sebentar lagi habis lilinku. Coba di pojok jalan ada toko, di mana kita bisa membeli senter. Kemarin aku minta tolong pada Jo-Jo untuk dibelikan satu ketika ia hendak berbelanja ke desa. Tapi ia tidak mau membelikan." "Aduh — ini ada tapak-tapak yang besar, kata Philip, sambil merendahkan lilinnya ke lantai gua. "Lihatlah — ini pasti tapak—tapak raksasa." Diperhatikannya bintang laut itu dengan penuh minat. Dinah terpekik kaget. Ia jijik sekali pada binatang melata yang sangat disukai oleh Philip itu. "Jangan sentuh," kata Dinah. "Dan jangan dekatkan padaku!" Tapi Philip anak yang suka iseng. Dipungutnya bintang laut yang besar berjari—jari lima itu, lalu dilampirinya adiknya sambil membawa binatang itu Dinah langsung mengamuk. "Anak jahat!" pekiknya. "Sudah kubilang tadi, jangan bawa ke dekatku. Kubunuh dia nanti jika masih berani juga." "Tapak-tapak tidak bisa dibunuh," kata Philip. "Jika kaubelah dua, langsung tumbuh jari-jari yang baru — dan tahu-tahu dari seekor tapak-tapak menjelma dua ekor. Nah — kalau sudah begitu, bagaimana? Lihatlah, Dinah! Cium baunya. dan kaurasakan tubuhnya." Didekatkannya tubuh binatang melata itu ke muka adiknya. Dinah sudah sangat ketakutan. Diayunkannya tangannya untuk mendorong Philip pergi. Abangnya terhuyung-huyung lalu jatuh terjerembab ke dasar gua. Lilinnya padam. Terdengar suara Philip berteriak, disusul bunyi menggeser. Setelah itu — sunyi. "He, Jambul! Kau tidak apa-apa?" seru Jack, sambil mengangkat lilinnya tinggi-tinggi. Ia tercengang, karena Philip tidak nampak lagi di situ. Bintang laut yang besar tadi tergeletak di tanah yang banyak rumput lautnya. Tapi Philip tidak ada di sampingnya. Jack, Dinah dan Lucy-Ann memandang berkeliling dengan heran. Ke mana Philip sekarang? Dinah ketakutan. Ia memang bermaksud hendak memukul Philip. Tapi bukan niatnya menyebabkan abangnya itu lenyap seperti ditelan bumi. Ia berteriak keras—keras. "Philip! Kau bersembunyi ya? Ayo keluar, konyol!" Dari suatu tempat yang tak menentu di mana, terdengar suara samar-samar menjawab. "He! Aku ini di mana?" "Itu suara si Jambul," kata Jack. "Tapi — di mana dia? Dalam gua ini sudah pasti tidak ada." Ketiga anak yang masih ada di situ saling mendekatkan lilin mereka, lalu memperhatikan keadaan gua sempit berlangit-langit rendah itu. Bau di situ pengap sekali. Sekali lagi terdengar suara Philip dari salah satu tempat. Kedengarannya seperti agak ketakutan. "He! Aku—ini di mana?" Dengan hati—hati Jack melangkah maju. Dihampirinya rumput laut licin di mana Philip tadi jatuh, ketika dipukul Dinah. Tiba-tiba ia tergelincir. Sementara Dinah dan Lucy-Ann memandang dengan heran, tahu—tahu Jack lenyap. Seolah-olah mengendap ke bawah dasar gua yang penuh dengan rumput laut. Diterangi nyala kedua lilin yang bergerak—gerak terus, Dinah dan Lucy-Ann berusaha meneliti apa yang terjadi dengan Jack. Sesaat kemudian mereka mengetahuinya. Di dasar gua ada sebuah lubang yang tertutup hamparan rumput laut. Ketika Philip dan kemudian Jack bergerak ke situ, mereka langsung terpeleset dan jatuh ke dalam gua yang ada di bawahnya. "Mereka jatuh ke situ," kata Dinah, sambil menuding rongga gelap yang nampak di celah rumput laut yang terhampar pada bagian gua itu. "Mudah-mudahan saja mereka tidak cedera. Dan sekarang bagaimana cara kita membantu mereka keluar lagi?" Ternyata Jack tadi jatuh menimpa Philip. Kiki yang tertinggal di atas, menjerit memekakkan telinga. Burung itu paling tidak senang berada dalam tempat gelap itu. Tapi ke mana saja Jack pergi, ia harus ikut. Dan kini kakaktua itu ketakutan, karena tuannya dengan tiba-tiba saja lenyap. "Diam, Kiki," kata Dinah. Ia terlempar karena kaget, ketika Kiki tiba—tiba menjerit. Kemudian ia berpaling pada Lucy-Ann. "Lihatlah — di dasar gua ada lubang, di sela rumput laut yang tebal itu. Hati-hati melangkah, nanti kau jatuh pula ke dalamnya. Tolong pegangkan lilinku. Aku ingin memeriksa, apa sebetulnya yang terjadi tadi." Kejadiannya sebetulnya sederhana saja. Mula-mula Philip yang terjatuh ke dalam gua di bawah lewat lubang itu, dan kemudian Jack yang terpeleset dan ikut jatuh sehingga menimpa Philip. Philip ketakutan. Badannya terasa memar. Dipeganginya Jack erat-erat. "Apakah yang terjadi?" tanyanya cemas. "Ada lubang di dasar gua," sahut Jack. Ia mengulurkan tangan, meraba—raba untuk melihat ukuran rongga tempat mereka terjatuh. Ia langsung merasa ada dinding batu di kiri kanannya. "Wah — gua ini benar-benar sempit! He — kalian berdua yang di atas! Tolong dekatkan lilin ke lubang, supaya kami bisa melihat sedikit di sini." Sebatang lilin menyala muncul di atas kepala Jack dan Philip. Sekarang kedua anak laki—laki itu bisa melihat sedikit. "Rupanya kita bukan dalam gua — tapi suatu lorong," kata Jack tercengang. "Setidak-tidaknya, awal sebuah lorong. Aku ingin tahu, ke mana arah lorong ini kurasa semakin dalam memasuki tebing." "Tolong ulurkan sebatang lilin ke bawah," kata Philip. Kecemasannya lenyap. "He — itu Kiki!" "Tidak bisa tutup pintu ya!" kata Kiki dengan nada tajam. Burung kakaktua itu sudah bertengger lagi di pundak Jack. la merasa lega, karena bisa bersama tuannya lagi, lalu bersiul-siul. "Diam, Kiki!" kata Jack melarangnya. "Lihatlah, Philip — ternyata ini memang lorong Sempit dan gelap. Aduh, baunya! Cepat, Dinah — ulurkan lilin itu ke bawah." Akhirnya Dinah berhasil mengulurkan lilin yang menyala ke rongga di bawah dasar gua, setelah ia merebahkan diri di situ. Jack mengangkat lilin itu tinggi-tinggi. Lorong gelap itu nampak aneh dan misterius. "Yuk, kita memeriksanya!" kata Philip bergairah. "Kelihatannya mengarah ke bawah Craggy-Tops. Barangkali saja ini lorong rahasia." "Kurasa cuma celah sempit dalam tebing, yang tidak menuju ke mana-mana," jawab Jack. "Aduh, Kiki - jangan keras-keras mematuk telingaku. Sebentar lagi kita akan ke luar. He, kalian yang di atas! Kami hendak memasuki lorong gelap ini sebentar. Kalian mau ikut?" "Wah, tidak," kata Lucy-Ann dengan segera. Hatinya tidak anak membayangkan lorong sempit dan gelap yang menembus dinding tebing. "Kami menunggu di sini sampai kalian kembali. Tapi jangan lama-lama. Lilin kami tinggal sebatang. Kalian membawa korek api, kalau lilin kalian padam?" "Ya," kata Jack, sambil meraba-raba kantong. "Yah — kalau begitu, sampai nanti! Awas, jangan sampai terpeleset masuk lubang." Setelah itu Jack dan Philip mulai melangkah, memasuki lorong yang lembab. Dari atas tidak terdengar lagi langkah mereka. Dinah dan Lucy-Ann menunggu dengan sabar, diterangi lilin yang tinggal sebatang. Keduanya menggigil. Tempat itu dingin. Untung mereka mengenakan baju hangat. Lama sekali Jack dan Philip pergi. Adik—adik mereka yang menunggu mulai tidak sabar. Kemudian menjadi agak cemas. Apakah yang terjadi dengan kedua anak laki-laki itu? Dinah dan Lucy-Ann mengintip ke dalam lubang, mencoba melihat ke bawah. Tapi mereka tidak mendengar apa-apa. "Aduh, bagaimana sekarang? Apakah tidak sebaiknya mereka kita susul saja?" tanya Lucy-Ann dengan bingung. la tahu pasti, nanti akan ketakutan apabila menyusur lorong tersembunyi yang gelap itu. Tapi apabila Jack memerlukan bantuan, ia takkan ragu-ragu melompat ke bawah dan menyusul abangnya itu. "Sebaiknya kita memanggil Jo-Jo untuk menolong," kata Dinah. "Kurasa ia perlu membawa tali Jack dan Philip takkan bisa memanjat ke atas sini, kalau tidak dibantu." "Tidak — kita jangan memanggil Jo-Jo," kata Lucy-Ann. Ia tidak senang pada laki-laki itu, dan juga takut padanya. "Kita tunggu saja sebentar lagi. Mungkin lorong itu sangat panjang." Dugaannya tepat. Lorong itu panjang — jauh lebih panjang daripada sangkaan Jack dan Philip semula. Lagi pula sangat gelap. Lilin sebatang yang dibawa tidak banyak membantu meneranginya. Berulang kali kepala Jack dan Philip terantuk ke sisi atasnya, karena di beberapa tempat tinggi lorong cuma sampai ke bahu. Semakin ke dalam, lorong itu semakin kering. Akhirnya tidak tercium lagi bau rumput laut. Tapi udara di situ pengap, seperti tak pernah mengalami pergantian. Sesak napas mereka. "Kurasa udara di sini tidak baik," kata Philip tersengal-sengal. "Napasku sesak. Beberapa kali tadi kusangka nyala lilin kita akan padam, Bintik. Itu berarti di sini sedikit sekali zat asam. Kurasa sebentar lagi kita akan sampai di ujung lorong." Ketika ia sedang berkata demikian, tahu-tahu lorong itu mengarah terjal ke atas dan seperti berjenjang-jenjang, Tahu—tahu berakhir pada dinding batu. "Ternyata bukan lorong ke mana-mana – tapi cuma celah dalam tebing seperti katamu tadi," kata Philip kecewa. "Tapi ini kelihatannya kayak tangga yang kasar buatannya!" Cahaya lilin menerangi tempat yang dimaksudkan. Ya — itu memang anak tangga. Rupanya ada yang membuatnya dulu. Tapi untuk apa?" Jack mengangkat lilin ke atas kepala — lalu berseru kaget. "Lihatlah! Bukankah itu tingkap, yang di atas kepala kita?" katanya. "Rupanya ke situlah tujuan lorong ini. Ke tingkap! Yuk — kita coba membukanya." Benarlah. Di atas kepala mereka nampak tingkap terbuat dari kayu, menutupi sebuah lubang. Mudah-mudahan mereka bisa membukanya. Akan di manakah mereka nanti?. Bab 8 DALAM GUDANG DI BAWAH TANAH "Yuk kita mendorongnya bersama-sama," kata Philip bersemangat. "Kutaruh saja lilin di tepi batu ini. Lilin yang menyala ditancapkannya ke dalam sebuah retakan yang ada di tepi batu. Kemudian dibantunya Jack mendorong tingkap kayu yang ada di atas kepala mereka. Debu berhamburan, menyebabkan Philip terkejap—kejap karena matanya kemasukan abu. Jack sempat memejamkan matanya cepat-cepat. "Sialan!" kata Philip sambil menggosok-gosok mata. "Yuk kita coba lagi. Tadi aku merasa tingkap itu bergerak sedikit." Keduanya lantas mencoba sekali lagi. Dan sekali itu tingkap bergerak sedikit. Lalu terjatuh kembali. Debu berhamburan. "Ambil batu besar, supaya kita bisa berdiri di atasnya," kata Jack bersemangat. "Jika didorong lebih kuat, kurasa kita akan berhasil membukanya." Mereka menemukan tiga atau empat batu yang pipih. Batu-batu itu ditumpukkan, lalu mereka berdiri di atasnya. Dan sekali lagi mereka mendorong tingkap ke atas. Tingkap itu terdorong, lalu jatuh terbalik ke lantai. Di atas kepala Jack dan Philip nampak lubang persegi empat. "Junjung aku ke atas, Jack." kata Philip. Jack mendorongnya begitu kuat, sehingga ia melesat lewat lubang tingkap dan terjatuh ke lantai batu yang terdapat di atas. Tempat itu gelap. Philip tidak bisa melihat apa-apa. "Kemarikan lilin itu, Bintik," kata Philip, "setelah itu kutolong kau naik." Lilin disodorkan ke atas. Tapi tiba-tiba padam. "Sialan," umpat Philip. Tiba-tiba ia berseru kaget, "Astaga! Apa itu tadi?" "Kurasa Kiki," kata Jack. "Ia terbang ke atas." Selama mereka berada dalam lorong tersembunyi, Kiki sama sekali tak mengoceh. Berbunyi saja pun tidak. Burung kakaktua itu takut berada di tempat asing yang gelap itu. Sepanjang jalan ia bertengger terus di pundak Jack. Philip menolong Jack naik. Setelah itu ia merogoh-rogoh kantong, mencari korek api untuk menyalakan lilin kembali. "Di mana kita sekarang, ya?" tanyanya. "Aku sama sekali tidak tahu." "Rasanya kayak di balik dunia," kata Jack. "Nah — begini kan lebih baik, kita bisa melihat lagi." Lilin yang sudah menyala diangkatnya tinggi-tinggi. Kedua anak itu memandang berkeliling. "Aku tahu sekarang," kata Philip dengan tiba-tiba. "Kita berada dalam salah satu gudang bawah tanah di Craggy-Tops. Lihatlah — di situ ada kotak-kotak tempat menyimpan barang-barang. Kaleng—kaleng makanan dan sebagainya.” "Ya, betul,` kata Jack. "Wah, banyak sekali barang-barang yang disimpan bibimu di sini! Hebat sekali petualangan `kita tadi. Menurut pendapatmu, tahukah paman dan bibimu tentang lorong rahasia itu?" "Kurasa tidak," jawab Philip. "Kalau tahu, tentu saja diceritakannya pada kami! Aku rasanya tidak begitu mengenal bagian gudang yang ini. Nanti dulu — di mana pintu ke luar?" Kedua anak itu berkeliaran dalam ruangan, mencari jalan ke luar. Kemudian sampai di depan sebuah pintu kokoh, terbuat dari kayu. Tapi ternyata pintu itu terkunci. "Sialan!" umpat Philip dengan kesal. "Sekarang kita terpaksa kembali lagi lewat lorong tadi. Sebetulnya aku agak segan. Lagi pula, ini bukan pintu yang menuju dari gudang ke dapur. Di pintu itu, sebelumnya kita harus menaiki tangga dulu. Mestinya ini pintu yang memisahkan sebagian dari gudang di bawah tanah. Menurut perasaanku, aku belum pernah melihat pintu ini sebelumnya." "Ssst! Dengar — itu kan ada orang datang?" kata Jack dengan tiba-tiba. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi langkah. "Ya — itu Jo-Jo," kata Philip. Ia mengenali bunyi batuk-batuk 0rang itu. "Yuk, kita bersembunyi! Aku tidak mau bercerita padanya mengenai lorong tadi. Kita jadikan rahasia kita sendiri. Cepat, Jack — tutup kembali tingkap itu! Kemudian kita bersembunyi di balik tiang melengkung ini. Nanti kalau Jo-Jo membuka pintu, kita cepat-cepat menyelinap ke luar. Padamkan lilin itu." Tingkap ditutup kembali dengan hati-hati. Lilin dipadamkan, lalu mereka menyembunyikan diri di balik tiang melengkung dekat pintu. Terdengar bunyi anak kunci dimasukkan ke dalam lubangnya pada daun pintu. Pintu terbuka, dan Jo-Jo muncul. Kelihatan tubuhnya besar sekali, diterangi cahaya lampu berkelip-kelip yang dibawanya. Pintu dibiarkannya ternganga, sementara ia menuju ke bagian belakang ruangan di mana tersimpan perbekalan. Jack dan Philip memakai sepatu bersol karet. Jadi sebetulnya mereka bisa berhasil menyelinap pergi, tanpa ketahuan oleh Jo-Jo. Tapi justru saat itu timbul lagi keisengan Kiki. la menirukan suara Jo-Jo batuk. Bunyinya menggema dalam gudang. Lampu yang dipegang laki-laki berkulit hitam itu terlepas dari tangannya. Terdengar bunyi kaca pecah, dan lampu padam. Jo-Jo terpekik ketakutan dan lari ke luar, tanpa sempat menutup pintu kembali. Saat itu ia menyenggol kedua anak yang bersembunyi. Jo-Jo terpekik lagi ketakutan. Kiki senang mendengar akibat batuk tiruannya tadi. la mengeluarkan pekik melengking, yang menyebabkan Jo-Jo semakin terbirit-birit lari ke ruangan gudang yang satu lagi, menaiki tangga menuju pintu gudang yang di atas. Nyaris saja ia jatuh terjerembab ketika muncul dalam dapur. Bibi Polly terlompat karena kaget. . "Ada apa? Apa yang terjadi?" "Ada macam-macam di bawah!" kata Jo-Jo terengah-engah. Mukanya yang hitam legam nampak pucat. "Macam-macam? Apa maksudmu?" tanya Bibi Polly galak. "Macam-macam, yang menjerit lalu mencengkeram aku," kata Jo-Jo. la merebahkan diri ke kursi. Bola matanya terputar-putar, sehingga Cuma putihnya saja yang kelihatan. "Ah, omong kosong!" kata Bibi Polly, sambil mengaduk saus dalam panci. "Aku juga tidak mengerti, untuk apa kau tadi turun ke bawah. Pagi ini kita kan tidak memerlukan apa-apa dari situ. Kentang cukup banyak di sini. Sudahlah, Jo-Jo. Nanti anak-anak ketakutan melihat tingkahmu itu." Jack dan Philip tertawa terpingkal-pingkal, ketika Jo-Jo yang malang lari pontang-panting ketakutan, sambil menjerit-jerit. Mereka tertawa terus, sampai perut terasa sakit karena kebanyakan tertawa. "Yah — Jo-Jo selalu berusaha menakut-nakuti kita dengan segala macam dongengnya mengenai 'macam-macam' yang berkeliaran malam hari," kata Jack, "dan sekarang ia sendiri yang terjebak dongeng konyolnya itu." "He — anak kunci ditinggalnya di pintu," kata Philip yang sudah menyalakan lilin kembali. "Yuk, kita ambil saja. Jadi apabila ingin melalui lorong di bawah itu lagi, kita selalu bisa masuk lewat sini." Anak kunci yang besar itu dikantonginya sambil nyengir. Mungkin Jo-Jo nanti menyangka anak kunci itu diambil ‘macam-macam’ yang selalu diocehkannya. Kemudian kedua anak itu masuk ke ruangan gudang yang mereka kenal. Philip memperhatikan pintu yang baru saja dilewati. ’"Aku tak pernah tahu bahwa di belakang ruangan ini masih ada ruangan lain," katanya sambil memandang berkeliling dalam ruangan bawah tanah yang luas itu. "Kenapa selama ini aku tak pernah melihat bahwa di sini ada pintu lagi?’ "Rupanya peti-peti itu ditumpukkan di depannya, supaya tidak kelihatan," kata Jack. Di dekat pintu ada peti-peti kosong. Baru saat itu Philip ingat, pernah melihat tumpukan peti yang tinggi, setiap kali ia masuk ke dalam gudang. Ternyata ditumpukkan dengan rapi, menutupi pintu itu. Pasti itu siasat Jo-Jo, untuk mencegah supaya anak-anak jangan masuk ke ruangan gudang yang satu lagi, di mana tersimpan berbagai barang. Pokoknya, Jo-Jo takkan bisa menghalangi mereka lagi untuk masuk ke situ. "Kita bisa masuk ke gudang lewat lorong tersembunyi, atau lewat pintu, karena anak kuncinya ada padaku sekarang," pikir Philip. Ia merasa senang, karena kini ia bisa memperdayai Jo-Jo kapan saja ia mau. "Kurasa tangga itu menuju ke dapur, ya?" kata Jack sambil menuding. "Menurutmu, aman tidak jika kita naik sekarang? Jangan sampai ada yang melihat kita, karena nanti macam-macam pertanyaan yang diajukan." "Biar aku saja yang menyelinap dulu ke atas," kata Philip. "Kubuka pintu sedikit, untuk mendengarkan apakah ada orang di situ atau tidak" Dan ia pun naik ke atas. Ternyata Jo-Jo sudah keluar. Sedang bibinya juga tidak ada lagi di dapur. Karenanya Jack dan Philip bisa menyelinap keluar lewat pintu luar, lalu lari menuruni jalan kecil di sisi tebing tanpa ketahuan orang. "Dinah dan Lucy-Ann pasti bingung dan bertanya-tanya, apa sebetulnya yang terjadi dengan kita," kata Jack. la tiba-tiba teringat pada kedua anak perempuan itu, menunggu dengan sabar di dekat lubang tempat mereka tadi terpeleset masuk ke dalam lorong. "Yuk, kita kejutkan mereka! Pasti saat ini mereka sudah menunggu kita muncul kembali dari dalam lubang — jadi takkan menyangka kita datang dari arah sini." Mereka turun terus ke pantai berbatu, lalu menuju ke gua-gua yang mereka datangi tadi pagi. Keduanya masuk ke gua yang ada lubangnya di dasar. Dinah dan Lucy-Ann masih duduk dekat lubang itu. Kedua anak perempuan itu sedang berunding dengan cemas. "Kita harus mencari pertolongan sekarang juga." kata Lucy-Ann. "Aku yakin, pasti ada sesuatu yang terjadi dengan Jack dan Philip. Pasti!" Saat itu Philip melihat bintang laut raksasa yang menyebabkan segala kejadian yang dialami tadi. Dipungutnya bintang itu, tanpa menimbulkan suara, lalu menyelinap mendekati Dinah. Diletakkannya binatang melata itu ke lengan adiknya. Dinah terpekik sambil meloncat bangun. "Hii - Philip sudah kembali! Anak setan! Awas, kalau aku berhasil menangkapmu, Philip! Kujambak rambutmu. biar tercabut semuanya! Anak jahat!" Dinah menerpa Philip. Tapi abangnya itu cepat—cepat lari ke luar dari gua, sambil berseru-seru senang. Lucy-Ann merangkul Jack. Anak perempuan itu tadi benar-benar cemas memikirkan nasib abangnya. "Jack! Aduh. Jack, apakah yang terjadi denganmu tadi? Lama sekali aku menunggu. Bagaimana kau bisa tahu-tahu muncul lewat situ? Ke mana tujuan lorong yang di bawah?" Jack tidak mungkin bisa menjawab, karena suara pekik dan jerit Philip serta adiknya berisik sekali di luar. Mana Kiki ikut menjerit-jerit, bunyinya seperti peluit kereta api cepat dalam terowongan. Philip bergulat dengan Dinah. Anak perempuan itu marah sekali. Ia berhasil menangkap abangnya. dan kini memukulinya sepuas—puasnya. "Kuhajar kau sekarang! Hah, berani-berani mencampakkan binatang menjijikkan itu padaku. Kau kan tahu, aku jijik sekali pada tapak-tapak. Kujambak rambutmu, biar tercabut semual" Tapi Philip berhasil membebaskan diri. Ia lari, meninggalkan beberapa lembar rambut dalam genggaman Dinah. Anak perempuan itu menoleh pada Jack dan Lucy-Ann dengan pandangan masih marah. "Anak itu jahat! Biar, aku tak mau bicara dengannya lagi, selama beberapa hari. Kenapa aku harus punya abang kayak dia!" ` "Dia kan cuma main-main saja," kata Jack. Tapi ucapan yang maksudnya hendak menyabarkan itu, malah menambah gawat suasana. Dinah mengamuk terhadap Jack pula. Tampangnya galak sekali, sampai Lucy-Ann ketakutan. Ia sudah siap membela Jack, apabila abangnya sampai diserang oleh Dinah. "Aku tak mau tahu lagi dengan kalian semua," kata Dinah, lalu pergi sambil cemberut. "Sekarang dia takkan bisa mendengar, apa yang kami temukan tadi," kata Jack. "Tapi galak sekali dia itu! Yah, padamu sajalah kami bercerita, Lucy-Ann. Kami tadi mengalami petualangan seru. Dinah yang pergi sambil marah—marah, tiba-tiba teringat bahwa ia belum mendengar cerita tentang lorong tersembunyi. dan di mana keluarnya. Seketika itu juga ia berpaling dan kembali. Ia melupakan kemarahannya. Dilihatnya Lucy-Ann bersama Jack dan Philip. Philip memutar tubuh, ketika adiknya datang. Tapi begitu cepat Dinah marah, sebegitu cepat pula ia bisa baik kembali. Dipegangnya lengan abangnya. "Maaf, Philip," katanya. "Apa yang terjadi dengan kalian tadi dalam lorong tersembunyi itu? Aku ingin tahu." Perdamaian sudah pulih, dan beberapa saat setelah itu nampak Dinah dan Lucy-Ann dengan penuh perhatian mendengarkan cerita kedua abang mereka. "Wah — tadi itu benar-benar petualangan hebat," kata Jack. Ia melanjutkan ceritanya. Bab 9 PERAHU TAK DIKENAL Dinah dan Lucy-Ann tidak mau diajak masuk ke dalam lorong tersembunyi, biarpun sudah dibujuk-bujuk oleh kedua abang mereka. Kedua perempuan itu ngeri membayangkan lorong gelap dan sempit berliku-liku. Memang, mereka juga beranggapan petualangan itu asyik. Tapi mereka tidak ingin merasakan keasyikannya sendiri, merangkak-rangkak di dalamnya. "Kurasa Dinah ngeri kalau ada tapak-tapak raksasa atau semacam itu menerpanya di dalam," kata Philip kesal. "Sedang Lucy-Ann, ah — dia kan masih bayi." Tapi biar diganggu secara begitu pun kedua anak perempuan itu masih tetap tidak bisa ditantang untuk berani masuk ke dalam lorong. Walau demikian tidak bosan-bosannya mereka mendengar cerita mengenainya. Keesokan harinya Jack dan Philip menyelinap masuk ke dalam gudang. Ternyata Jo-Jo sudah kembali menumpukkan peti—peti di depan pintu sebelah dalam sampai tertutup sama sekali. Kedua anak itu bingung, untuk apa Jo-Jo melakukannya. Tapi laki-laki itu sering melakukan hal-hal yang tak ada gunanya, hanya karena perbuatan itu bisa mengesalkan orang lain. Tapi pokoknya, anak kunci pintu itu sekarang ada pada mereka! Cuaca saat itu anak, panas. Matahari bersinar di langit cerah. Keempat anak itu pergi ke luar. Hanya dengan pakaian mandi saja. Dengan cepat kulit mereka berubah menjadi coklat, karena kena sinar matahari. Philip, Dinah dan Lucy-Ann sering berenang-renang, lebih sering daripada Jack. Anak itu terlalu asyik mengamat-amati burung-burung liar yang banyak terdapat di daerah pesisir situ. Tidak bosan-bosannya ia memperhatikan segala jenis burung laut itu dan berusaha mengenali jenis masing-masing. Lucy-Ann sebenarnya ingin menemani, tapi tidak diperbolehkan abangnya. "Burung-burung itu sudah mulai kenal padaku," kata Jack menjelaskan. "Tapi padamu mereka belum kenal, Lucy-Ann. Sebaiknya kau main-main sajalah dengan Philip dan Dinah. Kan tidak enak jika mereka kita tinggalkan. Itu tidak sopan!" Jadi sekali itu Lucy-Ann tidak bisa membuntuti Jack terus, melainkan bergaul dengan Philip dan Dinah. Tapi walau demikian biasanya tahu di mana abangnya berada. Dan apabila sudah waktunya Jack kembali, ia pasti sudah menunggu-nunggu. Menurut Dinah, sikapnya itu konyol. Ia sendiri, takkan mau menunggu-nunggu Philip. "Aku bahkan senang apabila ia tidak ada di dekatku," kata Dinah pada Lucy-Ann. "Habis, kerjanya menggoda terus! Tahun lalu aku nyaris gila dibuatnya, ketika ia menaruhkan kumbang-kumbang di balik bantalku. Tengah malam binatang-binatang itu tahu-tahu berkeliaran ke luar." Lucy-Ann juga beranggapan, perbuatan itu sudah keterlaluan. Tapi di pihak lain ia sementara itu sudah biasa pada keisengan Philip. Ia selalu membawa binatang entah apa saja ke mana-mana, juga apabila pakaiannya cuma celana berenang saja. Kemarin misalnya, ia membawa sepasang ketam. Katanya binatang itu ramah. Tapi ketika pada suatu saat seekor di antaranya diduduki olehnya secara tak sengaja, dan ketam itu langsung membalas dengan jepitan, akhirnya Philip berpendapat ketam lebih baik dibiarkan saja hidup di laut. "Aku merasa lega bahwa Kiki selalu dibawa oleh si Bintik, apabila ia pergi mengamat-amati kehidupan burung," kata Dinah. "Aku sebetulnya suka pada kakaktua itu. Tapi sejak ia sekarang mulai meniru-nirukan suara segala macam burung yang ada di sekitar sini, aku merasa sebal. Heran. Bibi Polly tahan mendengar ocehan Kiki.” Bibi Polly sudah senang sekali pada burung kakaktua itu. Ternyata burung itu cerdik. Ia tahu bahwa ia cukup mengatakan dengan pelan, `Kasihan Polly’, dan apa pun yang diingininya pasti dituruti oleh wanita itu. Jo-Jo pernah kena marah, ketika kembali dari berbelanja ternyata lupa membelikan biji bunga matahari untuk makanan Kiki. Anak-anak puas sekali rasanya mendengar Jo-Jo yang selalu masam itu kena marah. Pengalaman Paman Jocelyn dengan Kiki tidak bisa dibilang menyenangkan. Pada suatu siang yang panas burung kakaktua itu dengan diam-diam terbang masuk ke dalam kamar kerja Paman lewat jendela terbuka. Seperti biasa, saat itu Paman sedang sibuk dengan naskah-naskah serta buku-buku tuanya. Kiki hinggap di sebuah rak buku, lalu memandang berkeliling dengan penuh minat. "Sudah berapa kali kukatakan, jangan suka bersiul—siul!" katanya kemudian dengan suara galak. Paman Jocelyn yang sedang asyik membaca, kaget setengah mati mendengarnya. Ia belum pernah melihat Kiki. la juga sudah lupa lagi bahwa ada burung kakaktua datang ke rumah itu. Karenanya ia sangat bingung, tidak tahu dari mana datangnya suara yang tiba-tiba itu. Selama beberapa saat, Kiki tidak mengatakan apa-apa lagi. Paman menyangka pasti ia tadi Cuma salah dengar saja. Karenanya ia kembali menekuni kesibukannya. "Mana sapu tanganmu?" tanya Kiki dengan garang. Kini Paman Jocelyn merasa yakin, pasti istrinya ada dalam kamar, karena Kiki persis sekali menirukan suara Bibi Polly. Paman merogoh kantong, mencari-cari sapu tangannya. "Anak baik," kata Kiki. "Sekarang jangan lupa mengusap kaki." "Kakiku tidak kotor, Polly," kata Paman dengan heran. la menyangka saat itu sedang bicara dengan istrinya. Karenanya ia merasa heran, dan sekaligus juga kesal. Bukan kebiasaan Bibi Polly, masuk ke dalam kamar lalu menyuruh-nyuruhnya melakukan hal-hal yang tidak perlu. Paman berpaling. Maksudnya hendak menyuruh Bibi keluar. Tapi ia tidak melihat istrinya di situ. Kini Kiki terbatuk-batuk. Persis suara Jo-Jo. Paman bertambah kesal. la menyangka, Jo-Jo juga ada di situ. Kenapa hari itu semua seenaknya saja masuk dan mengganggu ketenangannya bekerja? Benar—benar keterlaluan! "Keluar!" katanya. Ia mengira berbicara dengan Jo-Jo. "Aku sedang sibuk sekarang." "Eh, anak nakal," kata kakaktua itu dengan nada mengecam. Lalu batuk lagi, disusul dengan bersin Kemudian ia membungkam selama beberapa Saat. Dan Paman kembali menekuni kesibukannya meneliti naskah-naskah kuno. Dengan segera ia melupakan gangguan yang dialami. Tapi Kiki tidak senang apabila tidak diacuhkan. Ia terbang pergi dari atas rak, lalu hinggap — di atas kepala Paman Jocelyn. Sambil berbuat begitu ia menjerit. Bunyinya melengking tinggi, seperti bunyi peluit kereta api. Kasihan Paman Jocelyn! Ia melompat saking kagetnya. Tangannya menggapai kepala sehingga cengkeraman Kiki terlepas. Ia juga berteriak, kuat-kuat, sehingga Bibi Polly buru-buru datang. Sementara itu Kiki terbang pergi lewat jendela terbuka, sambil mengeluarkan bunyi yang kedengarannya seperti tertawa terkekeh-kekeh. "Ada apa, Jocelyn?" tanya Bibi dengan kaget. Paman marah-marah. "Orang—orang seenaknya saja keluar masuk kamar ini, menyuruh aku mengusap kaki dan melarang bersiul, lalu ada yang melemparkan sesuatu ke kepalaku," katanya mengomel. "Ah — itu cuma Kiki saja," kata Bibi Polly. Ia tersenyum. "Cuma Kiki? Siapa itu, Kiki?" teriak Paman Jocelyn. Ia marah sekali ketika melihat istrinya tersenyum. Bukannya merasa kasihan padanya, tapi malah tersenyum! "Kiki itu burung kakaktua," kata Bibi, "burung kakaktua yang dibawa anak laki-laki itu." Ternyata Paman sudah sama sekali lupa terhadap Jack dan Lucy-Ann. Dipandangnya istrinya, seolah-olah menyangka Bibi Polly sudah menjadi sinting dengan tiba-tiba. "Anak laki-laki yang mana — dan kakaktua mana?" tanyanya. "Kau kenapa, Polly?" "Aduh — kau ini memang pelupa, Jocelyn," kata Bibi Polly. Diingatkannya suaminya pada kedua anak yang menumpang tinggal di situ selama liburan, serta dijelaskannya tentang Kiki. "Burung itu pintar sekali," kata Bibi Polly, yang sementara itu sudah sayang sekali pada Kiki. "Yah —- pokoknya jika burung itu sungguh-sungguh sepintar katamu, sebaiknya mulai sekarang aku jangan diganggunya lagi," kata Paman dengan geram. "Kalau ia berani masuk lagi kemari, akan kulempari dia dengan barang-barang yang ada di meja ini!" Bibi melirik ke arah jendela. Sebaiknya jendela itu selalu ditutup saja, pikirnya. la tahu suaminya sama sekali tidak bisa membidik. Karena itu ia ngeri, kalau tahu-tahu pada suatu hari kaca-kaca jendela pecah berantakan kena lemparan. Ah — kenapa hal—hal yang mengesalkan begitu harus terjadi terhadapnya. Kalau bukan anak-anak minta tambahan makanan, Jo-Jo yang datang merepotkan. Kalau bukan Jo-Jo, yang muncul Kiki, kakaktua iseng itu. Dan kalau bukan Kiki, sekarang Paman Jocelyn yang mengancam akan melempar barang-barang yang ada di mejanya. Bibi Polly menutup jendela rapat-rapat. Kemudian ia keluar, sambil membanting pintu. "Jangan suka membanting-banting pintu," terdengar suara Kiki dari dalam lorong. "Dan sudah berapa kali kukatakan .... " Sekali itu Bibi Polly tidak bersikap ramah padanya. "Kau burung nakal," katanya memarahi. "Nakal sekali!” Sambil berteriak kesal, Kiki terbang pergi. Maksudnya hendak mencari Jack. Anak itu selalu baik hati padanya. Mana Jack? Saat itu Jack sedang tidak bersama ketiga anak lainnya. ia pergi membawa teropongnya ke puncak bukit, Ia berbaring menengadah, asyik memperhatikan burung-burung yang terbang berkeliling-keliling di atas kepalanya. Ia kaget ketika Kiki tiba—tiba hinggap di perutnya. "Ah, kau rupanya yang datang, Kiki! Hati-hati sedikit, luka nanti perutku kaucakar. Aku kan Cuma memakai celana berenang saat ini. Sekarang diam —jangan sampai burung-burung itu pergi karena takut. Hari ini aku sudah melihat lima jenis burung camar." Akhirnya Jack bosan berbaring menengadah. Ia duduk sambil memindahkan Kiki yang masih bertengger di perutnya. Matanya terkejap-kejap, sambil memandang berkeliling. Kemudian dilekatkannya teropong ke matanya lagi. la memandang ke tengah laut, ke arah Pulau Suram. Selama itu ia belum pernah berhasil melihatnya dengan jelas. Tapi hari itu, pulau itu nampak jelas. Entah apa sebabnya, karena bukit-bukit di belakang Jack saat itu hanya nampak samar di balik kilauan hawa panas. Jack melihat pulau itu menjulang dari permukaan laut, di sebelah barat. "Wah!" kata Jack, "itu rupanya pulau misterius yang oleh Jo-Jo dikatakan merupakan pulau bencana. Jelas sekali kelihatannya hari ini! Bisa kulihat bukit-bukitnya yang menjulang. Aku bahkan bisa melihat ombak memercik pada beting karang di sekelilingnya!" Jack tidak bisa mengenali, apakah ada atau tidak Burung-burung di pulau itu. Teropongnya tidak cukup kuat daya pembesarannya, sehingga yang bisa nampak hanya pulau dengan bukit-bukitnya belaka. Tapi Jack merasa pasti, di pulau itu tentu banyak burung. "Burung-burung dari jenis yang disangka orang sudah tidak ada lagi," katanya pada diri sendiri. "Mereka selama bertahun-tahun bisa mengeram dan menetaskan telur tanpa diganggu siapa-siapa di situ. Pasti mereka jinak sekali! Wah, aku kepingin sekali bisa ke sana. Menjengkelkan sekali Jo-Jo, tidak mau meminjamkan perahunya! Pada saat laut sedang setenang saat ini, dengan mudah pulau itu bisa dicapai. Sialan si Jo-Jo!" Jack memperhatikan daerah sekitar pesisir berbatu—batu itu dengan teropongnya. Tiba-tiba perhatiannya terpaku pada sesuatu Tapi mustahil itu perahu, yang dilihatnya sekitar satu mil ke tengah laut Menurut Jo-Jo, di pesisir sekitar situ tak ada orang yang memiliki perahu selain dia. Dan kata Bibi Polly, tidak ada orang lain tinggal dekat Craggy-Tops. Tetangga terdekat tinggal sekitar enam atau tujuh mil dari situ. "Tapi tak salah lagi —- itu pasti perahu, yang sedang berlayar di laut sebelah barat tebing ini," kata Jack keheranan. "Siapakah itu? Pasti Jo-Jo!" Tapi jarak perahu itu terlalu jauh, jadi tidak bisa dikenalinya orang yang nampak berada di dalamnya. Mungkin itu Jo-Jo, tapi mungkin pula bukan! Akhirnya Jack menarik kesimpulan, orang itu pasti laki-laki berkulit hitam itu. Kemudian ia mendongak, memandang ke arah matahari. Letaknya tinggi di langit. Pasti saat itu sudah waktu makan siang. la lantas beranjak hendak kembali ke Craggy-Tops. Dalam perjalanan pulang itu akan diperiksanya sebentar apakah perahu Jo-Jo ada di tempatnya yang biasa atau tidak. Jika ternyata tidak, maka orang yang nampak dalam perahu itu tentu Jo-Jo. Tapi perahu Jo-Jo ada di tempatnya dekat rumah, tertambat pada sebatang tiang. Jo-Jo juga ada di situ. la sedang mengumpulkan kayu hanyut, untuk dijadikan kayu bakar di dapur. Kalau begitu, tidak jauh dari situ ternyata ada orang yang juga memiliki perahu. Jack bergegas mendatangi anak—anak, untuk menceritakan hal itu. Mereka kaget, tapi sekaligus juga senang mendengarnya. "Nanti akan kita cari orang itu!" kata Philip dengan segera. "Kalau sudah ketemu, kita baik-baiki dia — siapa tahu nanti kita diajaknya memancing naik perahunya. Hebat, Bintik! Ternyata teropongmu ada kegunaannya yang lain, di samping menemukan burung-burung bagimu." "Besok kita datangi orang itu," kata Jack. "Yang paling kuingini ialah mendapat kesempatan untuk pergi ke Pulau Suram! Aku ingin melihat, apakah di sana ada burung-burung yang jarang terdapat di tempat lain. Aku punya perasaan, pasti berhasil datang ke sana!" "Jangan kita ceritakan pada Jo-Jo bahwa kau melihat ada orang berperahu di sini," kata Dinah. "Nanti dia cuma akan berusaha mencegah kita mencarinya saja. Jo-Jo paling tidak senang apabila kita hendak melakukan sesuatu yang kita sukai." Jadi mereka tidak menceritakan apa—apa tentang orang tak dikenal yang naik perahu itu pada Jo-Jo. Pada Bibi Polly juga tidak. Mereka bermaksud mencari orang itu keesokan harinya, dan mengajaknya mengobrol. Tapi sebelum keesokan hari tiba, telah terjadi sesuatu hal. Bab 10 PENGALAMAN MALAM HARI Malam itu Jack tidak bisa tidur. Sinar bulan purnama menerangi kamar menara. Jack berbaring sambil menatap bulan yang nampak putih keperakan. Dibayangkannya burung-burung camar yang terbang berputar-putar di atas angin, serta burung-burung kormoran yang besar dan hitam berdiri di atas batu-batu, dengan paruh ternganga lebar, sementara asyik mencernakan ikan yang ditangkap. Ia terkenang pada Pulau Suram yang berhasil dilihatnya tadi pagi. Nampaknya misterius dan menarik — begitu jauh, sunyi dan terpencil. Padahal tempat itu pernah didiami pada jaman dulu. Apa sebabnya tidak ada lagi yang tinggal di sana sekarang? Apakah karena begitu gersang, sehingga tak layak didiami? Seperti apakah rupa pulau itu? "Aku ingin tahu, bisa tidak melihatnya lagi malam ini, diterangi sinar bulan purnama," pikir Jack. Ia pergi ke jendela, tanpa membangunkan Philip, lalu memandang ke luar. Permukaan laut nampak berkilat-kilat kena sinar bulan. Di sana—sini nampak bayangan hitam, disebabkan oleh batu—batu yang menjorok ke atas. Air laut saat itu lebih tenang dari_ biasanya. Angin yang biasa bertiup kencang, hanya terdengar seperti berbisik. sementara Jack berdiri di dekat jendela. Tiba-tiba ia tertegun. Dilihatnya sebuah perahu layar meluncur di air. Jaraknya masih jauh. Tapi nampak menuju ke pantai. Perahu siapakah itu? Jack memicingkan mata — tapi ia tetap tidak bisa mengenali lebih jelas. Ada perahu malam-malam menuju ke Craggy-Tops! Aneh. "Kubangunkan saja si Jambul," katanya dalam hati, lalu menghampiri tempat pembaringannya bersama Philip. "Bul! Jambul! Philip! Ayo bangun -datanglah ke jendela." Tak lama kemudian Philip sudah berdiri di samping Jack di jendela, menjulurkan kepala ke luar. Ketika melihat perahu layar yang ditunjukkan Jack padanya, ia bersiul pelan. Siulan itu membangunkan Kiki, yang langsung terbang dan hinggap ke bahu Jack. "Apakah itu Jo-Jo?" tanya Philip. "Dari jarak sejauh ini aku tidak bisa mengenali apakah itu perahunya atau bukan. Yuk, kita ke pantai. Bintik! Dari situ kita memperhatikannya masuk. Ayolah! Aku heran kenapa Jo-Jo keluyuran malam-malam, padahal ia kan selalu bercerita pada kita tentang `macam-macam` yang berkeliaran dalam gelap di kaki tebing! Tapi mungkin juga orang itu bukan Jo-Jo." Jack dan Philip cepat-cepat berpakaian dan mengenakan sepatu karet lalu bergegas turun. Tak lama kemudian mereka sudah berjalan menyusur jalan sempit, menuju kaki tebing. Diterangi cahaya bulan, perahu tadi meluncur terus ke arah pantai, didorong angin dari belakang. "Itu memang perahu Jo-Jo," kata Philip kemudian. "Sekarang nampak jelas. Dan itu Jo-Jo, duduk di dalamnya. la seorang diri, tapi membawa muatan — entah apa!" "Mungkin ia habis memancing," kata Jack. "Yuk, kita takut-takuti dia!" Kedua anak laki-laki itu menyelinap ke tempat yang dituju perahu. Jo-Jo sibuk menggulung layar. Kemudian didayungnya perahu ke arah pantai, menuju teluk kecil tempat ia biasanya menambatkan perahunya. Jack dan Philip merunduk di balik sebongkah batu besar. Sementara itu Jo-Jo sudah sampai di pantai, lalu menambatkan perahunya ke tiang. Setelah itu Jack dan Philip meloncat ke luar dari tempat persembunyian mereka, sambil menjerit-jerit serta mengguncang-guncang perahu. Jo-Jo,kaget lalu terjatuh ke air. Tapi dengan segera ia naik kembali. Mukanya yang gelap berkilat—kilat disinari cahaya bulan. Kedua anak yang mengganggunya merasa tidak enak melihat tampangnya saat itu. Jo-Jo mengibaskan air yang membasahi tubuhnya, lalu mengambil sepotong tali yang agak besar. "Wah — dia mau memukul kita," kata Jack Dada Philip. "Yuk — kita lari!" Tapi jalan menuju rumah dihalang—halangi oleh laki-laki bertubuh kekar itu, yang berdiri sambil mengayun-ayunkan senjatanya. "Sekarang kalian akan tahu apa yang terjadi dengan anak-anak yang suka mengintip-intip pada malam hari," katanya menggeram. Jack berusaha lari menyelip, tapi Jo-Jo lebih cepat. Jack berhasil dicengkeramnya. Jack berteriak ketika melihat tali di tangan Jo-Jo terayun ke atas. Saat itu Philip menumbuk perut Jo-Jo dengan kepalanya. Laki—laki itu tersentak napasnya. Jack terlepas dari pegangan. Dengan cepat kedua anak laki—laki itu lari di pantai, menjauhi rumah. Dengan segera Jo-Jo mengejar. "Pasang mulai naik," kata Jack dengan tersengal-sengal, ketika merasakan air mengalir membasahi mata kaki. "Kita harus kembali! Kalau tidak nanti terjebak pasang, lalu dihempaskan ombak ke batu." "Kita tidak bisa kembali — karena nanti dihajar Jo-Jo sampai habis—habisan," jawab Philip dengan napas putus-putus. "Jack — kita lari ke gua! Barangkali saja kita berhasil masuk ke lorong. Entah apa saja yang akan dilakukan Jo-Jo apabila ia mengamuk. Jangan-jangan kita dibunuhnya nanti." Kedua anak yang setengah mati ketakutan itu terhuyung-huyung masuk ke dalam gua, sementara air pasang semakin meninggi. Terdengar deburan langkah Jo-Jo di air, mengejar mereka. Nah — terperangkap sekarang mereka, pikir laki-laki itu. Awas, kalau sudah tertangkap nanti. Pasti tidak berani lagi keluyuran malam-malam. Sementara itu Jack dan Philip berhasil menemukan kembali lubang yang ada di dasar gua. Dengan cepat mereka menyusup lewat situ, masuk ke dalam lorong tersembunyi yang gelap. Terdengar bunyi napas Jo-Jo yang memburu di luar. Keduanya berdoa, mudah-mudahan laki-laki itu tidak menyusul ke dalam lorong. Ternyata doa mereka terkabul. Jo-Jo berdiri di mulut gua, menunggu anak-anak keluar lagi. Ia tidak tahu bahwa di dalam gua ada lorong tersembunyi. Karena itu ia menunggu di luar dengan napas memburu, sementara tangannya mempermainkan tali yang besar. Ombak besar datang menyapu lutut, Jo-Jo menggumam pada dirinya sendiri. Pasang naik dengan cepat. Jika kedua anak itu tidak cepat-cepat keluar lagi, mereka pasti akan tertahan semalaman dalam gua. Saat itu datang lagi ombak menggulung, tingginya nyaris mencapai pinggang Jo-Jo. Pukulannya terasa keras sekali. Dengan cepat Jo-Jo pergi meninggalkan gua, lalu dengan bersusah-payah kembali ke pantai. Ia tidak mau mengambil risiko dihempaskan ombak ke lereng tebing. "Biar saja mereka terjebak semalaman dalam gua itu," pikir Jo-Jo dengan geram. "Besok baru kuhajar! Begitu pasang surut lagi pagi-pagi aku akan ke sini! Akan kubuat mereka menyesal keluar malam-malam.” Tapi Jack dan Philip sama sekali tidak menggigil dalam gua, menyesali nasib mereka. Mereka sudah bergerak menyusur lorong tersembunyi, sekali ini dalam gelap gulita. Mereka sebetulnya ngeri lewat di situ. Tapi kengerian terhadap Jo-Jo lebih besar lagi. Akhirnya mereka sampai di bawah tingkap lalu mendorongnya ke atas sehingga terbuka. Dengan cepat keduanya memanjat naik. masuk ke gudang bawah tanah. Tingkap ditutup kembali. "Kita harus berpegangan tangan," kata Jack. Ia menggigil, karena kedinginan. Tapi juga ketakutan. Kita harus berusaha menuju ke pintu. Kau kan masih ingat arahnya? Aku tidak." Menurut sangkaan Philip, ia masih ingat. Tapi ternyata tidak! Jadi agak lama juga mereka menggerayang ke sana dan kemari. Mereka bergerak sambil meraba-raba dinding batu . gudang itu. Setelah beberapa kali tersandung peti besar kecil, akhirnya mereka berhasil juga menemukan pintu yang dicari. Pintu itu tidak terkunci. Untung sebelumnya anak kunci sudah mereka ambil. Philip mendorong pintu. Di baliknya terdengar kotak-kotak berjatuhan ke lantai. Bunyinya menggema dalam ruangan yang gelap gulita itu. Anak-anak memasang telinga, khawatir kalau bunyi berisik itu didengar orang. Jangan—jangan nanti ada yang datang memeriksa! Tapi untung saja tidak. Dengan cepat kotak-kotak itu diatur bertumpuk-tumpuk lagi di depan pintu. Setelah itu mereka menyelinap menaiki tangga gudang, masuk ke dapur. Ruangan itu agak terang, disinari cahaya bulan. Di manakah Jo-Jo saat itu. Apakah masih menunggu di depan gua? Tidak! Setelah mengamankan perahunya supaya jangan dibawa pasang, dan mengambil beberapa barang dari situ, laki-laki itu mendaki jalan tebing menuju ke rumah. Di situ ia langsung masuk ke kamar tidurnya. Kamar itu letaknya dekat dapur. Dalam hati Jo-Jo senang, membayangkan dua anak laki-laki yang menurut sangkaannya menggigil dalam gua. Saat itu didengarnya bunyi berisik yang mengejutkan. Bunyi itu berasal dari kotak-kotak yang berjatuhan dalam gudang bawah tanah, karena terdorong Philip yang membuka pintu. Tapi Jo-Jo tidak tahu bahwa itulah yang terjadi. Ia berdiri seperti terpaku dalam kamarnya. Bunyi apakah itu? Ia tidak berani keluar untuk memeriksa. Coba ia berani, pasti akan dilihatnya dua sosok tubuh menyelinap keluar dari dapur menuju serambi dalam, lalu berjingkat-jingkat menaiki tangga menuju kamar menara. Tidak lama kemudian Jack dan Philip sudah berbaring di atas kasur mereka. Mereka lega, karena berhasil sampai di situ dengan selamat. Keduanya tertawa geli, membayangkan Jo-Jo mengintai mereka dengan sia-sia di depan mulut gua. Mereka mengira laki-laki itu pasti menunggu di situ sampai pagi, dengan tali yang sudah siap untuk dipukulkan. Akhirnya kedua anak laki-laki itu tertidur. Keesokan paginya Jo-Jo bangun paling dulu. Mula-mula ia menumpukkan kayu hanyut di atas tungku. Setelah selesai, diikatkannya potongan tali yang kemarin ke pinggangnya. Saat itu sudah waktu baginya untuk pergi ke pantai dan menyergap kedua anak laki-laki yang dikiranya masih ada dalam gua. Sebentar lagi air sudah cukup surut, sehingga keduanya bisa keluar kembali. Tapi tiba—tiba ia tertegun. Mulutnya ternganga keheranan. Soalnya, saat itu anak-anak masuk ke dapur. Lengkap - keempat-empatnya. Mereka masuk dengan santai, sambil mengobrol dengan suara keras. "Apa sarapan pagi ini? Aduh, perutku lapar sekali." "Kalian berdua tidur nyenyak tadi malam? Kami pulas sekali." "O ya! Kurasa semalaman kami tak bangun-bangun sedikit pun," kata Philip. Jack mengucapkan pendapat serupa, sementara matanya melirik Jo-Jo. Ia senang sekali melihat laki-laki itu heran dan bingung. "Ya — kami berdua tidur nyenyak sekali," kata Jack. “Kalau tadi malam Kiki iseng menirukan bunyi peluit kereta api kurasa kami masih tetap takkan terbangun." "Apa sarapan pagi ini, Jo-Jo?" tanya Dinah. Ia dan Lucy-Ann sudah mendengar cerita tentang petualangan Jack dan Philip malam sebelumnya. Dan saat itu ia ikut berpura-pura, untuk membingungkan Jo-Jo. Rupanya laki-laki itu masih mengira bahwa Jack dan Philip saat itu pasti berada dalam gua. "Kalian berdua semalaman tidur dalam kamar menara?" tanya Jo-Jo setelah kagetnya agak berkurang. Ia masih tetap belum bisa percaya bahwa Jack dan Philip benar-benar berdiri di depannya saat itu. "Kalau tidak di situ, di mana lagi?" balas Philip dengan seenaknya. "Di Pulau Suram, ya!" Jo-Jo berpaling. Ia benar-benar bingung sekarang. Kalau begitu kedua anak yang dijumpainya kemarin malam bukan kedua anak laki-laki ini, pikirnya. Memang saat itu ia tidak melihat muka mereka dengan jelas. Tapi ia merasa pasti. Kedua anak itu Jack dan Philip. Tapi sekarang ternyata bukan! Takkan ada yang bisa keluar dari gua pada saat pasang sedang tinggi. Dan kedua anak laki-laki itu tegak di depannya sekarang. Jo-Jo merasa tidak enak menghadapi kejadian membingungkan itu. "Sebaiknya aku ke gua saja sekarang, dan melihat siapa yang nanti keluar," pikirnya kemudian. "Dengan begitu akan ketahuan, siapa yang mengintaiku tadi malam." Jo-Jo pergi ke mulut .,gua. Tapi walau ia menunggu di situ sampai dua jam, tak ada seorang pun yang keluar dari situ. Memang tidak mengherankan, karena di dalam tidak ada siapa-siapa lagi. "Jo-Jo benar-benar tak mengerti," kata Jack sambil meringis senang. Diperhatikannya gerak-Gerik laki-laki berkulit hitam itu dari jalan tebing. "Untung kita tidak menceritakan pada siapa-siapa tentang lorong tersembunyi itu. Ternyata ada gunanya — kayak kemarin malam." "Pasti sekarang Jo-Jo menyangka kau dan Philip termasuk ’macam-macam’ yang selalu dikatakannya untuk menakut-nakuti kita," kata Dinah. "Jo-Jo rupanya menganggap kita ini masih bayi, yang mau saja ditakut-takuti dengan ocehannya." "Apa yang akan kita lakukan hari ini, jika nanti sudah selesai menolong Bibi Polly?" tanya Lucy-Ann, ketika ia sedang sibuk mengelap lampu minyak. "Cuaca anak sekali hari ini. Bagaimana jika kita piknik — sambil berjalan-jalan menyusur pantai?" "Ya, betul —— dan Siapa tahu, barangkali kita bisa menemukan laki-laki yang kemarin kulihat naik perahu," kata Jack, yang teringat lagi pada kejadian itu. "Dan siapa tahu, nanti kita diajak ikut dengan perahunya. Dinah — mintalah izin pada bibimu, apakah kita boleh membawa bekal makan siang." Permintaan itu diizinkan Bibi. Setengah jam kemudian anak-anak berangkat Mereka melewati Jo-Jo, yang saat itu sedang bekerja di kebun sayur dekat tepi tebing di belakang rumah. "Kau tidur enak tadi malam, Jo-Jo?" seru Philip pada orang itu. "Kau tidur semalaman, seperti sepantasnya bagi anak baik?" Jo-Jo merengut sambil menggerutu. Ketika Kiki menirukan, Jo-Jo memungut batu untuk dilemparkan ke arah burung iseng itu. "Anak nakal!" jerit Kiki sambil terbang membubung. "Anak nakal, anak nakal! Cepat masuk ke tempat tidur, anak nakal!" Bab 11 BILL SMUGS "Perahu itu kemarin kaulihat di mana, Bintik?" tanya Philip, sementara anak—anak berjalan menyusur tebing. "Di sebelah sana, di belakang batu-batu yang menonjol itu," kata Jack sambil menuding. "Perahunya cukup besar! Aku ingin tahu di mana tempat menambatkannya, kalau tidak sedang dipakai. Mestinya ada yang tinggal di dekat-dekat situ. Tapi aku sama sekali tak melihat ada rumah di sekitar sini." "Kalau rumah sungguhan memang tidak ada di dekat—dekat sini," kata Philip. "Jaman dulu daerah ini memang didiami. Tapi rumah-rumah itu kini tinggal puing—puing,belaka, sebagai akibat perang dan pembakaran yang sering terjadi waktu itu. Tapi bisa saja ada pondok, yang ditinggali seseorang yang ingin liburan seorang diri di sini." Mereka melanjutkan perjalanan menyusur tebing.. Sekali-sekali Kiki terbang membubung, menemani camar yang sedang terbang melayang. Camar-camar itu heran mendengar kakaktua itu berbunyi menirukan burung laut. tapi dengan suara lebih tajam. Dinah bergidik ketika melihat Philip memungut seekor ulat bulu yang besar dan aneh dari sebuah semak. Bukan itu saja, abangnya juga menemukan seekor kadal, yang langsung dimasukkannya ke dalam kantong. Sejak itu Dinah tidak mau lagi berjalan dekat Philip. Lucy-Ann pun berjaga—jaga. Lucy-Ann tidak sebegitu takut pada binatang seperti Dinah. Tapi ia juga tidak kepingin dimintai tolong membawakan ulat bulu atau kadal, apabila Philip nanti ternyata menemukan binatang lain yang jika dimasukkan ke kantong akan memakan ulat atau kadal yang sudah ada di situ. Anak-anak berjalan-jalan terus, menikmati hawa laut yang segar, serta bunyi ombak yang berdebur-debur di karang yang ada di bawah. Rumput di bawah kaki terasa empuk dipijak, sedang di udara banyak sekali burung melayang-layang. Indah sekali liburan saat itu! Kemudian mereka sampai di suatu bagian tebing yang menonjol ke depan. Mereka menyusur tepinya, nyaris sampai ke ujung. "Aku sama sekali tidak melihat ada perahu di air," kata Jack. "Kau tahu pasti, kau benar-benar melihatnya kemarin?" tanya Philip. "Aneh, masakkan hari ini tidak kelihatan sama sekali — padahal perahu kan tidak gampang disembunyikan." "Di bawah sana ada semacam teluk kecil," kata Lucy-Ann. Ia menuding ke suatu tempat di mana tebing itu agak melekuk ke dalam. Di bawahnya nampak pantai sempit berpasir putih mengkilat. "Yuk, kita piknik di sana! Sebelumnya kita mandi-mandi dulu. Di atas sini terlalu banyak angin. Sulit rasanya menarik napas." Anak—anak mulai menuruni sisi tebing yang terjal dan berbatu—batu itu. Jack dan Philip turun lebih dulu, disusul oleh kedua adik mereka. Sekali-sekali ada yang terpeleset sedikit. Tapi keempat anak itu sudah cukup berpengalaman. Jadi mereka berhasil sampai di bawah dengan selamat. Di tempat yang terlindung dari angin itu suasana tenang dan sepi. Keempat anak itu mengenakan pakaian berenang, karena hendak mandi-mandi dulu. Philip sangat mahir berenang. Ia berenang sampai ke batu-batu hitam yang mencuat di atas air. Sesampai di situ ia memanjatnya. Lalu beristirahat sebentar sambil memandang berkeliling. Tiba-tiba dilihatnya ada perahu di balik batu tempatnya duduk. Tempat di situ agak datar. Dan sebuah perahu ada di situ, ditarik ke tempat yang agak tinggi supaya jangan terbawa ombak. Pasti itulah perahu yang dilihat Jack kemarin. Kalau Philip tidak kebetulan berenang di tempat itu, pasti takkan ada yang tahu bahwa di tempat itu ada perahu. Karena tempatnya tidak kelihatan dari pantai, terlindung batu hitam yang menjulang. "Astaga!" kata Philip. la bersiul pelan, sebagai tanda kaget. Dengan segera ia bangkit, lalu menghampiri perahu itu. Potongannya bagus. diperlengkapi dengan layar. Ukurannya hampir sama besarnya dengan perahu Jo-Jo. Namanya Albatros, tertulis di sisinya. Di dalamnya terletak sepasang dayung. "Aneh — kenapa perahu disimpan di sini " kata Philip pada dirinya sendiri, "di batu-batu yang menjorok di tengah air! Pemiliknya pasti harus berenang ke sini dulu, apabila hendak naik perahu. Aneh!" Philip memanggil anak-anak yang lain. "Di sini ada perahu -— di atas batu! Kemarilah, kalian lihat sendiri!" Tak lama kemudian mereka berempat sudah berada di batu yang menjorok di tengah laut itu, memperhatikan perahu itu. "Memang ini yang kulihat kemarin," kata Jack. "Tapi mana pemiliknya? Tak kelihatan di sekitar sini. "Kita makan siang saja dulu, Setelah itu baru kita mencarinya," kata Philip. "Nanti kita memencar, mencari pemilik perahu ini." Anak-anak lantas berenang kembali ke pantai. Di situ mereka berganti pakaian. Pakaian renang yang basah dijemur, sementara mereka makan siang. Sehabis makan mereka berbaring—baring. "Makanan paling enak rasanya kalau perut lapar," kata Lucy-Ann. "Aku selalu lapar," kata Jack. "Diam, Kiki! Kau sudah mematuk bagian yang paling enak dari buah apelku. Aku masih punya biji bunga matahari untukmu dalam kantong. Tidak bisa menunggu, ya?" "Sayang, sayang," kata Kiki. la menirukan Bibi Polly yang selalu mengatakan begitu, apabila ada sesuatu yang tidak beres. "Sayang, sayang, say .... " "Diam!" bentak Dinah. Ia tahu, kakaktua itu tahan mengulang-ulang perkataan yang baru dikenalnya sampai seratus kali tanpa berhenti. "Nih — Kiki, kuberi sedikit apelku." Kiki langsung terdiam ketika ditawari apel. Selama beberapa saat ia sibuk mematuk-matuk apel yang dipegang dengan cakarnya. Kemudian nyaris saja Dinah dan Philip bertengkar. Penyebabnya ulat bulu besar. Binatang itu merayap keluar dari kantong Philip, berjalan di atas pasir menuju Dinah. Anak perempuan itu terpekik ketakutan. Nyaris saja ia melemparkan kulit kerang yang besar ke arah Philip. Tapi Jack cepat-cepat memungut ulat bulu itu, lalu mengembalikannya ke kantong Philip. "Tenang, Dinah — kan tidak ada apa-apa,"katanya. "Jangan mencari pertengkaran sekarang. Kita tenang-tenang sajalah hari ini." Setelah itu anak—anak mengemaskan sisa makan siang mereka. "Tak banyak remah yang bisa dimakan camar," kata Philip. "Lihat camar yang masih muda itu, kelihatannya jinak sekali." "Coba aku tadi membawa tustel fotoku," kata Jack, sambil memperhatikan burung camar yang besar itu bedalan dekat sekali. "Pasti akan kubuat foto yang indah. Selama ini aku belum mengambil foto burung barang seekor pun. Besok kubawa tustelku itu." "Yuk, jika kita masih hendak mencari pemilik perahu tadi, sebaiknya kata mulai sekarang saja," kata Dinah sambil bangkit "Pasti aku yang akan paling dulu menjumpainya." Anak-anak lantas memencar. Jack dan Philip berjalan ke arah yang satu, sedang Dinah dan Lucy-Ann ke arah yang lain. Mereka berjalan di pantai pasir, menyusur tepi tebing. Dinah dan Lucy-Ann ternyata tidak berhasil berjalan jauh, karena beberapa saat kemudian langkah mereka terhalang tebing terjal. Mereka terpaksa kembali. Tapi Jack dan Philip berhasil melewati bagian tebing yang menjorok ke tengah, dan melindungi tempat berbentuk teluk kecil di mana mereka makan siang tadi. Di balik tonjolan tebing itu ada lagi teluk kecil. Tapi teluk itu sama sekali tidak berpantai. Yang ada cuma batu-batu pipih, yang bertingkat-tingkat letaknya ke arah lereng tebing. Anak-anak memanjat lewat batu-batu pipih itu, sambil mengamat-amati berbagai jenis binatang yang ada dalam genangan air laut di sana sini. Philip memungut seekor siput laut, lalu memasukkannya ke dalam kantong. "Di sebelah sana nampak ada celah pada permukaan tebing," kata Jack, "Yuk, kita periksa sebentar." Jack dan Philip merangkak-rangkak menuju celah itu. Ketika sudah sampai di situ, ternyata ukurannya lebih lebar dari sangkaan semula. Nampak air mengalir di situ, turun sampai ke laut. Datangnya dari suatu tempat di tengah lereng. "Kelihatannya dari mata air," kata Jack, lalu mencicipinya. "Ya, betul. He — lihatlah, Jambul!" Philip menoleh ke arah yang dituding Jack. Dilihatnya puntung rokok terapung di air. Puntung itu sudah basah sekali, hampir tercerai berai. "Rupanya belum lama berselang ada orang di sini," kata Jack. "Sebab kalau sudah lama, pasti puntung itu sudah hanyut terbawa ombak pasang. Wah — ini benar-benar menarik." Anak-anak semakin rajin mencari, satelah menemukan puntung itu sebagai bukti bahwa ada orang lain di situ. Kemudian mereka sampai di celah tebing yang lebar. Dan di situ nampak sebuah pondok terbuat dari batu. Letaknya agak tinggi, dibangun menempel ke dinding tebing. Di sana sini nampak dinding pondok itu sudah terlepas. Atapnya juga ditambal asal jadi saja. Di musim dingin pondok itu jelas tidak mungkin bisa didiami. Tapi saat itu jelas ada orang tinggal di situ. karena di luar nampak ada kemeja sedang dijemur di samak kerdil. " "Lihatlah — di situ rupanya pemilik perahu tadi tinggal," bisik Jack. "Bagus sekali tempat persembunyiannya!" Anak-anak bergerak menyelinap, menghampiri pondok reyot itu. Bangunannya sudah sangat tua. Mungkin dulu tempat tinggal nelayan yang hidup seorang diri. Dari dalam pondok terdengar suara orang bersiul-siul. "Bagaimana — kita mengetuk pintu?" tanya Philip sambil cekikikan karena gugup. Tapi saat itu muncul seseorang di ambang pintu. Orang itu melongo, ketika melihat ada dua anak laki-laki berdiri di luar. Jack dan Philip juga melongo. Tapi tidak takut, karena laki-laki yang berdiri di ambang pintu itu nampaknya ramah. Ia memakai celana pendek serta kemeja yang terbuat dari kain kasar. Mukanya merah karena terbakar sinar matahari. Matanya berkilat-kilat jenaka. Sedang rambut di kepalanya tinggal di sisi saja. Sebelah atasnya sudah botak sama sekali. Orangnya jangkung dan kekar. Dagunya mencuat ke depan, dicukur licin. "Halo," sapanya, "kalian hendak bertamu? Kalian baik hati!" "Saya melihat perahu Anda kemarin." kata Jack. "Karenanya kami lantas ingin berjumpa dengan Anda." "Kalian siapa?" "Kami datang dari Craggy-Tops. rumah yang letaknya sekitar satu setengah mil dari sini," kata Philip. "Anda tentunya tidak mengenal tempat itu." "Siapa bilang," kata orang itu tanpa disangka-sangka. "Aku tahu rumah itu. Tapi kusangka yang tinggal di situ cuma orang dewasa saja —sepasang suami istri beserta pembantu mereka seorang laki-laki berkulit hitam." "Biasanya memang hanya orang dewasa yang tinggal di situ," kata Philip. "Tapi dalam liburan aku serta adikku selalu ke situ, diam di tempat Bibi Polly dan Paman Jocelyn. Dan dalam liburan sekarang ini, dua teman kami ikut. Dia ini satu di antaranya — Jack Trent. Adiknya, Lucy-Ann ada di dekat-dekat sini. Namaku Philip Mannering sedang adikku bernama Dinah. Saat ini ia sedang bersama Lucy-Ann." "Namaku Bill Smugs", kata laki-laki itu. Ia tersenyum, mendengar Philip begitu rajin memberi keterangan. "Aku tinggal seorang diri saja di sini " "Anda tahu-tahu saja datang untuk tinggal di sini?" tanya Jack ingin tahu. "Ya, begitu saja," jawab Bill Smugs. "Tiba—tiba saja aku mendapat gagasan untuk tinggal di sini." "Untuk apa Anda kemari?" tanya Philip. "Di sini kan tidak ada apa—apa." Laki—laki itu nampak ragu sesaat, "Yah — aku ini pengamat kehidupan burung. Aku tertarik pada unggas. Dan di sini banyak sekali burung yang jarang terdapat di tempat lain," katanya kemudian. "Oh," seru Jack gembira, "jadi anda juga penggemar burung rupanya! Aku senang sekali pada burung. Sudah sejak dulu! Di sini banyak kulihat jenis burung, yang sebelumnya hanya kulihat gambar-gambarnya dalam buku." Jack lantas menyebutkan sederetan panjang nama burung yang dilihatnya selama itu. Philip sampai agak mengantuk mendengarnya. Sedang Bill Smugs mendengarkan saja, tanpa banyak mengatakan apa-apa. Kelihatannya ia geli melihat Jack begitu bersemangat. "Burung jenis apa yang ingin Anda lihat di sini, Pak Smugs?" tanya Jack kemudian, setelah selesai menyebutkan nama-nama burung yang pernah dilihat. Bill Smugs seperti berpikir sebentar. "Yah - aku sebetulnya ingin bisa melihat burung auk besar di sini," katanya. Jack menatapnya dengan heran. "Auk besar!" katanya kemudian, kaget tercampur heran. "Tapi bukankah burung itu kini sudah punah? Mana ada auk besar yang masih hidup? Wah — dan Anda berharap akan bisa melihat burung jenis itu di sini?" "Siapa tahu?" balas Bill Smugs. "Barangkali saja masih ada satu atau dua yang tersisa! Bayangkan saja betapa hebat prestasiku apabila berhasil menemukannya!" Muka Jack menjadi merah karena bersemangat. Ia memandang ke laut, ke arah barat; di mana Pulau Suram terletak. Tapi pulau itu sudah kembali terlindung di balik selimut kabut. "Kurasa Anda tentunya berpendapat burung itu mungkin masih ada di pulau terpencil seperti yang di sana itu," katanya sambil menuding ke arah barat. "Maksudku di Pulau Suram. Anda tentunya pernah mendengar nama itu." "O ya," kata Bill Smugs. "Sudah jelas aku pernah mendengar nama itu. Aku sebetulnya kepingin ke situ. Tapi kurasa tak mungkin." "Bolehkah kami kapan-kapan ikut naik perahu dengan Anda?" tanya Philip. "Jo-Jo, pembantu bibi kami punya perahu yang bagus. Tapi ia tidak mengizinkan kami meminjamnya. Padahal kami ingin sekali memancing, atau berlayar-layar di laut. Apakah tidak pantas aku tadi minta pada Anda supaya diajak? Anda tidak kesepian tinggal sendiri di sini?" "Ya, kadang-kadang," kata Bill Smugs. "Baiklah, kapan—kapan kalian boleh ikut memancing dan berlayar. Ajak juga adik-adik kalian! Pasti asyik nanti. Kita juga akan mencoba, sampai seberapa dekat pulau itu bisa kita hampiri. Kalian mau?" Pertanyaan semacam itu tak perlu diulangi sekali lagi. Kedua anak laki-laki itu senang sekali. Akhirnya mereka bisa juga pergi ke laut, naik perahu layar. Pasti Jo-Jo akan jengkel, apabila mendengarnya. Jack dan Philip pergi memanggil adik-adik mereka. "He— Dinah! Lucy-Ann!" seru Jack. "Kemarilah kami perkenalkan dengan teman baru kita — Bill Smugs!" Bab 12 JO-JO KAGET Bill Smugs ternyata teman yang baik. Orangnya jenaka, senang berkelakar. la sabar terhadap Kiki, dan lebih sabar lagi menghadapi binatang piaraan Philip yang selalu berganti—ganti. Ia juga tak mengatakan apa-apa ketika piaraan Philip yang paling baru, seekor laba-laba raksasa, merangkak naik di kakinya. Bill Smugs hanya mengulurkan tangan, menangkap laba-laba itu, lalu meletakkannya ke lutut Philip. Tapi Dinah sudah setengah mati ketakutan. Untung saja laba-laba itu bosan dipelihara Philip, lalu menghilang ke balik batu. Anak-anak setelah itu hampir setiap hari mendatangi Bill Smugs. Mereka ikut memancing naik perahunya, dan pulang dengan hasil tangkapan berupa ikan yang besar—besar. Jo-Jo sampai melongo ketika melihat ikan-ikan itu. Bill juga mengajari mereka cara mengemudikan perahu layar. Enak rasanya berlayar apabila angin bertiup kencang. "Hampir selaju perahu bermotor," kata Philip keasyikan. "Bill, aku senang sekali kami berjumpa dengan Anda." Tapi Jack agak kecewa. Sebab ternyata teman baru mereka itu tidak suka mengobrol terus-menerus tentang burung. Ia juga tidak mau, ketika diajak Jack mengamat-amati burung dari atas tebing, atau dari pantai. Walaupun demikian, Bill Smugs mau saja mendengarkan cerita-cerita Jack tentang burung. la banyak memiliki buku baru tentang unggas. Semuanya diberikan pada anak itu sebagai hadiah. "Tapi ini kan buku—buku yang masih baru," kata Jack. "Lihatlah, kedua halaman ini bahkan masih saling menempel, belum dibuka. Anda belum membacanya rupanya. Anda dululah yang membaca." "Tidak, ambil sajalah," kata Bill Smugs sambil menyalakan rokok. "Di dalam salah satu buku itu ada tulisan mengenai burung auk besar. Tapi kurasa kita takkan menemukan jenis itu di sini. Sejak lebih dari seabad orang tak pernah melihatnya lagi." "Tapi siapa tahu, mungkin ada di Pulau Suram — atau di salah satu pulau lain yang juga terpencil letaknya," kata Jack penuh harap. "Aku ingin sekali bisa ke sana untuk meyakinkan sendiri. Pasti ada beribu—ribu burung yang serba jinak di tempat itu," Dinah bosan mendengar obrolan yang tidak henti-hentinya tentang burung. Ia mengubah pokok pembicaraan. "Sayang Anda tidak melihat tampang Jo-Jo ketika kami kembali kemarin dengan ikan-ikan hasil penangkapan kami," kata anak itu sambil nyengir. "Katanya, ikan-ikan itu pasti tidak kalian tangkap dari batu karang di pantai. Kalian pergi naik perahu'." "Kau kan tidak bercerita bahwa kalian naik perahu?" tanya Bill Smugs dengan segera. Dinah menggeleng. "Tentu saja tidak," jawabnya. "Kalau ia sampai tahu bahwa kami naik perahu Anda, pasti ia akan berusaha menghalang-halangi lagi." "Tahukah paman dan bibi kalian, bahwa kalian berjumpa dengan aku?" tanya Bill lagi. Dan sekali lagi Dinah menggeleng. "Kenapa Anda bertanya begitu?" tanya anak itu. "Anda tidak mau mereka mengetahuinya? Apa pentingnya, apakah mereka tahu atau tidak?" "Yah," kata Bill Smugs sambil menggaruk-garuk ubun-ubunnya yang botak, "aku kemari kan karena ingin menyendiri, sambil mengamat-amati kehidupan burung-burung di sini. Aku tidak ingin orang-orang berdatangan, sehingga kesunyianku terganggu karenanya. Kalau kalian, tidak apa-apa. Aku senang bergaul dengan kalian." Bill Smugs tinggal seorang diri dalam gubuk yang sudah reyot itu. Tapi ia memiliki sebuah mobil besar. Mobil itu ditutup terpal di tempat yang cukup terlindung, di atas tebing. Setiap kali ia memerlukan sesuatu, ia pergi naik mobil itu ke kota terdekat, Dalam pondok ditaruhnya selembar kasur serta barang-barang lain yang diperlukan untuk membuat tinggal di situ nyaman. Anak-anak bergairah sekali, ketika mengetahui bahwa selain memiliki perahu, ternyata Bill Smugs juga mempunyai mobil. Mereka meminta-minta padanya, agar diajak apabila ia pergi lagi naik mobil. "Aku ingin membeli senter," kata Jack "Anda masih ingat tentang lorong tersembunyi yang kami ceritakan waktu itu, Bill? Repot lewat di situ kalau membawa lilin. Dengan senter, pasti lebih praktis." "Aku juga ingin membeli satu," kata Philip. "Dan Jack, kau kan mengatakan ingin membeli film untuk tustelmu, karena punyamu ketinggalan di rumah Pak Roy. Tanpa film, kau tidak bisa memotret burung-burung. Jadi kau perlu membeli beberapa rol." Dinah dan Lucy-Ann juga perlu berbelanja macam-macam. Jadi akhirnya Bill Smugs berjanji akan mengajak mereka keesokan harinya. Dan keesokan paginya anak-anak sudah datang, lalu berebut-rebut naik ke mobil. "Hari ini Jo-Jo juga akan ke kota," kata Dinah cekikikan. "Pasti kocak, apabila kita nanti berjumpa dengan dia! Pasti dia kaget." Mobil Bill Smugs bagus sekali, Jack dan Philip melihat-lihat dengan penuh perhatian. Keduanya banyak mengenal mobil. "Ini mobil baru," kata Jack. "Buatan tahun ini. Larinya laju sekali. Anda sangat kaya rupanya, Bill? Soalnya, mobil ini pasti mahal sekali harganya. Jadi harta Anda pasti berlimpah-limpah." "Begitu juga tidak," kata Bill sambil nyengir. "Yuk — kita berangkat saja sekarang." Mobil itu mulai bergerak. Jalannya ternyata memang sangat laju. Dengan cepat jalan pesisir yang buruk keadaannya sudah dilewati. Naik mobil itu sangat nyaman, serasa duduk di tempat tidur. “Wah, rasanya lain sekali, kalau dibandingkan dengan naik mobil tua yang disetir Jo-Jo," kata Dinah. la senang sekali naik mobil itu. "Sebentar lagi pasti kita akan sudah tiba di kota." Dengan segera mereka tiba di tempat tujuan. Bill Smugs memarkir mobil, lalu pergi seorang diri. Sebelumnya sudah disepakatkan akan berkumpul lagi untuk makan siang bersama di sebuah hotel yang sangat megah. "Aku ingin tahu, ke mana dia pergi sekarang," kata Jack, sambil memperhatikan Bill Smugs yang berjalan menjauh. "Sebetulnya kita kan bisa saja bersama-sama terus. Aku ingin mengajaknya ke toko tempat menjual binatang yang sudah dipotret. Aku ingin melihat burung-burung yang ada di situ." "Tapi kan kaulihat sendiri, ia tidak ingin kita ikut dengan dia," kata Dinah. Ia juga kecewa. Sementara itu ia sudah senang sekali pada Bill Smugs. Ia selama itu menabung uang dan maksudnya hendak mentraktir es krim “Kurasa ia juga ada urusan di sini." “Apa sebetulnya pekerjaannya? tanya Lucy-Ann. "Tentunya ada pekerjaannya yang lain kecuali mengamat-amati burung. Itu pun tidak banyak dilakukannya, sejak ia kenal kita." "Ia tidak pernah bercerita tentang pekerjaannya " kata Jack "Lagi pula, untuk apa? Dia bukan kayak kita, yang segala-galanya diocehkan. Orang dewasa tidak begitu. Yuk — Kita mencari toko yang menjual senter." Mereka menemukan sebuah toko yang menawarkan senter bagus berukuran kecil, bisa dimasukkan ke kantong. Sinarnya terang. Jack dan Philip sudah membayangkan betapa terangnya nanti lorong yang di bawah tebing apabila senter mereka dinyalakan di situ. Mereka membeli masing-masing satu. Dinah dan Lucy-Ann juga ikut membeli. "Dengan ini kami tidak perlu menyalakan lilin lagi di kamar pada malam hari" kata Dinah "Cukup sinar senter kami saja.” Setelah itu mereka membeli beberapa rol film untuk tustel foto Jack Mereka juga membeli permen dan biskuit, serta sebotol minyak wangi yang sangat harum baunya. Itu untuk Bibi Polly. "Sekarang kita masih perlu membelikan biji bunga matahari, untuk Kiki," kata Jack Burung itu bertengger seperti biasanya di pundak Jack. Sikapnya sekali itu tidak iseng. Setiap orang yang lewat menoleh sebentar untuk memperhatikannya dengan heran. Kakaktua itu senang, karena diperhatikan. Tapi ia tetap membungkam terus, kecuali sekali. la melarang seorang anak, pesuruh toko, jangan bersiul-siul. la senang sekali ketika dibelikan biji bunga matahari, yang memang merupakan kegemarannya. Setelah itu anak-anak melihat-lihat di tengah kota, menunggu pukul satu siang. Saat itulah mereka tadi berjanji akan berjumpa lagi dengan Bill Smugs di hotel. Dan ketika mereka sedang berjalan-jalan itu, tahu-tahu mereka melihat Jo-Jo. Laki-laki itu datang naik mobil bobroknya. Ia membunyikan tuter, menyuruh seorang wanita yang sedang menyeberang agar lekas minggir. Anak—anak saling berpegangan. Mereka ingin tahu, apakah Jo-Jo melihat mereka. Ternyata laki-laki itu melihat mereka. Mula-mula Philip yang dilihatnya. Setelah itu Jack, dengan Kiki bertengger di pundaknya. Kemudian baru kedua anak perempuan, yang berdiri di belakang kedua anak laki-laki itu. Jo-Jo begitu tercengang melihat mereka, sampai lupa memandang ke depan. Mobilnya menyimpang ke seberang, nyaris menubruk seorang polisi yang sedang bertugas di situ. "He! Apa-apaan ini?" seru polisi itu marah. Jo-Jo cepat-cepat minta maaf, lalu menoleh kembali ke arah anak-anak. "Jangan lari," kata Jack pada anak-anak yang lain. "Dia takkan bisa mengejar kita dengan mobil. Kita berjalan terus, dan jangan acuhkan dia." Mereka lantas meneruskan langkah sambil mengobrol, pura-pura tidak melihat Jo-Jo. Laki-laki itu berseru-seru memanggil, tapi anak-anak tak mengacuhkannya. Jo-Jo benar-benar bingung saat itu. Bagaimana anak-anak itu bisa tahu-tahu ada di kota? Kan tidak ada kendaraan umum yang bisa mereka tumpangi ke situ. Mereka juga tidak punya sepeda. Kalau berjalan kaki, mustahil — karena jarak terlalu jauh. Jadi bagaimana cara mereka sampai bisa ada di kota? Laki—laki berkulit hitam itu bergegas memarkir mobilnya. Maksudnya hendak menyusul anak-anak dan menanyai mereka. Begitu`mobil sudah diparkir, Jo-Jo bergegas turun. Dikejarnya keempat anak itu. Tapi saat itu mereka sudah sampai di hotel mewah, di mana mereka berjanji akan makan siang bersama Bill Smugs. Jo-Jo tidak berani menyusul mereka ke dalam. Jadi ia hanya bisa memperhatikan sambil melongo. la heran, dan sekaligus juga jengkel. Melihat anak-anak itu ada di kota saja sudah mengherankan baginya. Sekarang tahu-tahu mereka masuk ke hotel yang paling mewah dan mahal di situ. Jo-Jo duduk di kaki tangga hotel. Maksudnya hendak menunggu anak-anak keluar lagi. Niatnya hendak menggiring mereka ke mobil begitu mereka muncul, lalu membawa pulang. Nanti akan diadukannya pada Nyonya Polly, di mana ia menjumpai mereka. Nyonya Polly pasti takkan senang apabila mendengar bahwa anak-anak itu menghambur-hamburkan uang yang diperoleh dengan kerja keras untuk bersenang-senang di hotel mahal. Padahal mereka kan bisa membawa bekal roti dan rumah. Anak-anak masuk ke hotel sambil cekikikan. Bill Smugs sudah menunggu mereka di ruang depan. Ditunjukkannya tempat di mana Dinah dan Lucy-Ann bisa mencuci tangan dan menyisir rambut dulu. Setelah itu baru mereka akan ke restoran, untuk makan siang bersama. Mereka menikmati hidangan yang sangat nikmat Anak-anak menyikat habis segalanya yang dihidangkan. Sebagai penutup disajikan es krim segelas besar. "Wah, sedap, Bill," kata Dinah, sambil mendesah puas dan menyandarkan punggung ke kursi. "Benar-benar sedap. Nikmat sekali hidangan tadi. Terima kasih." "Kurasa Anda pasti jutawan," kata Lucy-Ann. Diperhatikannya Bill menghitung lembaran uang untuk dibayarkan pada pelayan hotel. "Wah, banyak sekali makanku sekali ini. Rasanya tak mampu berdiri sekarang." Saat itu Jack teringat lagi pada Jo-Jo. Ia ingin tahu, apakah orang itu memperhatikan mereka. Ia bangkit dari kursinya, untuk melihat sebentar. Jack mengintip dari jendela yang menghadap ke gerbang utama hotel. Dilihatnya Jo-Jo masih duduk dengan sabar di kaki tangga. Dengan segera Jack kembali ke tempat teman-temannya. Ia nyengir. "Hotel ini punya pintu keluar di belakang atau tidak?" tanyanya pada Bill Smugs. Bill agak heran mendengar pertanyaan itu. "Ada", jawabnya. "Kenapa?" "Soalnya, saat ini Jo-Jo menunggu kami di depan hotel," kata Jack. Bill mengangguk, tanda mengerti. "Yah — kalau begitu kita menyelinap pergi lewat pintu belakang saja," katanya. "Yuk — memang sudah waktunya kita kembali sekarang. Kalian sudah memperoleh semua yang diperlukan di toko tadi?" "Ya," kata anak-anak, lalu berbondong-bondong berjalan mengikutinya. Bill mendului menuju ke belakang, lalu keluar lewat sebuah pintu yang ada di situ. Mereka sampai di sebuah jalan yang sepi. Dari situ mereka menuju ke tempat mobil diparkir tadi, lalu berangkat. Semua merasa puas, karena menikmati pesiar yang menyenangkan. Mobil meluncur menuju pesisir. Anak-anak diantarkan sampai ke suatu tempat, dekat Craggy-Tops. Mereka lantas bergegas pergi, karena ingin lebih dulu tiba daripada Jo-Jo. Tapi Jo-Jo baru kembali satu jam kemudian. Tampangnya masam. Setelah menaruh mobil, ia bergegas pergi ke rumah. Dan begitu ia tiba, dilihatnya empat orang anak sedang asyik bermain-main di atas tebing. Sekali lagi Jo-Jo melongo. Selama beberapa saat ia tertegun, memandang dengan heran dan marah. Ada sesuatu yang ajaib di situ. Dan Jo-Jo bertekat hendak menyelidiki. Ia tidak mau dibuat bingung dan diperdayai empat orang anak! Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 13 JO-JO TEPERDAYA LAGI Dalam pikiran Jo-Jo terbayang lagi misteri anak-anak yang tahu-tahu muncul di kota. Padahal ia tahu, tidak ada kendaraan umum yang bisa mereka tumpangi. Jadi satu-satunya kemungkinan hanyalah berjalan kaki. Tapi untuk itu, waktu terlalu singkat. Jadi Jo-Jo lantas menarik kesimpulan, pasti ada yang mengajak mereka naik mobil. Sejak itu Jo-Jo bertekat memperhatikan anak-anak dengan teliti. Diusahakannya agar ia mendapat tugas-tugas yang memungkinkan dirinya selalu berada dekat mereka. Jika anak-anak pergi ke pantai, Jo-Jo pasti ada pula di situ – sibuk mengumpulkan kayu hanyut. Kalau anak-anak tinggal di rumah, Jo-J0 juga tinggal di rumah. Kalau mereka mendaki tebing, Jo-Jo membuntuti dari belakang. Anak-anak menjadi sangat jengkel karenanya. "Kalau ia membuntuti kita terus, lama-kelamaan ia akan tahu tentang Bill Smugs serta perahu layar dan mobilnya," kata Lucy-Ann. "Hari ini kita sama sekali tak memperoleh kesempatan untuk mendatangi kawan kita itu. Kalau Jo-Jo terus-terusan begini, besok pun kita juga tidak bisa ke sana." Mustahil rasanya bisa menyelinap meninggalkan Jo-Jo. Laki-laki itu mengamati mereka dengan cermat sekali. Anak-anak semakin marah. Malam itu Dinah dan Lucy-Ann ikut naik ke kamar menara. Di sana mereka berempat memperundingkan keadaan. "Aku tahu akal," kata Jack dengan tiba-tiba. "Aku tahu bagaimana kita bisa memperdayai dia, supaya dia benar-benar bingung." "Bagaimana caranya?" tanya yang tiga lagi. "Kita masuk ke dalam gua," kata Jack, "lalu menyusup ke dalam lorong tersembunyi lewat lubang. Dari situ kita menuju ke gudang bawah tanah rumah ini. Sementara Jo-Jo masih menunggu-nunggu kita keluar lagi di pantai, kita menyelinap dari rumah lalu pergi ke tempat Bill lewat sebelah atas tebing." "Wah — hebat sekali idemu itu," kata Philip. ‘ Sedang Dinah dan Lucy-Ann agak sangsi, karena mereka enggan masuk ke dalam lorong bawah tanah. Tapi - sekarang mereka sudah memiliki senter. Apabila mereka masuk ke dalam lorong, itu kan kesempatan baik untuk mencobanya. Keesokan harinya keempat anak itu pergi ke pantai bersama Kiki, dibuntuti dari dekat oleh Jo-Jo. "Aduh, Jo-Jo - janganlah ikuti kami terus-menerus," kata Philip. "Kami hendak masuk ke dalam gua, dan pasti kami takkan apa-apa di situ. Sungguh! Jadi pergilah!" "Kata Nyonya Polly, aku harus mengawasi kalian," kata Jo-Jo untuk kesekian kalinya. Tapi anak-anak tahu, bukan itu alasan sebenarnya. Jo-Jo senang apabila bisa merepotkan orang lain. la selalu ingin tahu apa yang dilakukan anak-anak Keempat anak itu masuk ke dalam gua. Jo-Jo berkeliaran di luar, sibuk mengumpulkan kayu hanyut dan memasukkan ke dalam karung yang dipanggulnya. Sementara itu Philip beserta ketiga anak lainnya turun lewat lubang ke dalam lorong tersembunyi, lalu menyusur lorong itu dengan diterangi cahaya senter. Dinah dan Lucy-Ann merasa tidak senang di situ. Mereka tidak menyukai bau yang tercium dalam lorong sempit itu. Mereka ketakutan, ketika napas terasa sesak pada suatu tempat. "Yah, percuma saja kalau kalian kembali sekarang," kata Philip, sambil mendorong Dinah supaya meneruskan langkah. "Kita sudah lebih dari setengah jalan sekarang. Ayo terus, Dinah. Kau cuma menghalang-halangi kami saja." "Jangan mendorong-dorong," tukas Dinah. "Aku berhenti semauku!" "Sudahlah - jangan bertengkar terus," keluh Jack. "Kurasa kalau kalian sedang berada di kapal karam pun, kalian berdua pasti masih sempat bertengkar. Sudahlah, Dinah, jangan konyol. Berjalanlah terus." Dinah berpaling. Maksudnya hendak mendamprat Jack pula. Tapi saat itu Kiki menirukan suara batuk-batuk Kedengarannya persis seperti kalau Jo-Jo batuk. Anak-anak langsung mengira laki-laki itu menyusul mereka, masuk ke dalam lorong. Mereka lantas cepat-cepat berjalan lagi. Termasuk Dinah! "Tenang - ternyata cuma si Kiki lagi yang iseng," kata Jack dengan lega, ketika Kiki terbatuk-batuk lagi. Tapi mereka melanjutkan berjalan. Akhirnya sampai di ujung lorong. Keempat-empatnya mendongak, memandang tingkap yang terdapat di atas kepala mereka. Tingkap kayu itu nampak jelas, diterangi sinar empat buah senter. Tingkap didorong ke atas, sampai terbanting membuka. Anak-anak yang laki-laki naik lebih dulu, lalu menolong Dinah dan Lucy-Ann memanjat ke atas. Setelah semua berada dalam gudang, tingkap ditutup kembali, lalu mereka menuju ke pintu. Pintu itu tertutup. Ketika mereka mendorong beramai-ramai, terdengar bunyi kotak-kotak berjatuhan dalam ruangan sebelah. Jack dan Philip sementara itu sudah hafal pada bunyi berisik itu. Anak-anak keluar dan naik ke dapur. Di situ tidak ada siapa-siapa. Untunglah! Mereka bergegas menuju ke luar, pergi ke atas tebing lalu menyusuri jalan kecil yang ada di situ. Jalan itu tidak bisa dilihat dari pantai sebelah bawah. Mereka cepat-cepat mencari teman mereka, Bill Smugs. Sekali-sekali mereka nyengir, apabila teringat pada Jo-Jo yang pasti masih selalu menunggu mereka keluar dari dalam gua. Mereka menjumpai Bill sedang sibuk dengan perahunya. la melambai dengan riang, ketika anak—anak muncul. "Halo," sapanya. "Apa sebabnya kalian tidak datang kemarin? Aku merasa kesepian." "Habis, Jo-Jo sih," kata Jack. "Ia membuntuti kami terus, seperti bayangan. Kurasa mungkin ia curiga bahwa kami punya teman yang memiliki mobil, dan sekarang ingin menyelidiki siapa teman "Yah, pokoknya jangan bilang apa-apa padanya," kata Bill dengan segera. "Simpan saja rahasia ini untuk kalian sendiri. Aku tak mau Jo-Jo datang mengintip-intip ke sini. Kedengarannya dia bukan orang yang ramah." "Sedang Anda apakan perahu itu?" tanya Jack. "Anda hendak berlayar?" "Maksudku memang begitu," kata Bill. "Cuaca hari ini cerah, dan laut cukup tenang, walau angin masih cukup kencang bertiup. Jadi aku tadi berpikir-pikir, bagaimana jika kali ini aku berlayar menghampiri Pulau Suram." Anak-anak terdiam, tapi dengan hati berdebar-debar. Pulau Suram! Anak-anak semua ingin melihatnya dari dekat, Sedang Jack, ia bahkan ingin turun ke sana. Mudah-mudahan saja Bill mau mengajak mereka! Jack memandang ke arah barat. Saat itu Pulau Suram tidak nampak, karena laut kembali berselubung kabut hawa panas. Tapi walau begitu, Jack tahu persis di mana letak pulau itu. Jantungnya berdebar keras. Mungkin di pulau itu ada burung auk besar. Tapi kalau tidak ada pun, pasti masih banyak jenis burung laut lainnya di situ. Dan mungkin mereka jinak-jinak la akan membawa tustelnya, dan membuat foto-foto. "'Kami boleh ikut ya, Bill?" tanya Lucy-Ann penuh harap. "Boleh ya? Kami takkan nakal! Dan kami kan bisa membantu, karena telah Anda ajari caranya menjalankan perahu layar." "Yah — maksudku memang hendak mengajak kalian," kata Bill. la menyalakan rokok, sambil tersenyum memandang pada anak-anak.- "Sebetulnya aku sudah hendak berangkat sedari kemarin. Tapi karena waktu itu kalian tidak muncul, lantas kuundurkan ke hari ini. Kita berangkat nanti siang, dengan bekal makan sore. Kalian harus berusaha menyelinap pergi tanpa ketahuan oleh Jo-Jo lagi. Jangan sampai ia melihat kalian pergi naik perahuku, karena nanti ia akan mencoba menghalang-halangi." "Aduh, Bill — kami pasti akan segera datang nanti siang," kata Jack Matanya yang hijau bersinar gembira. "Terima kasih banyak," kata Philip. "Apakah kita akan benar-benar menghampiri Pulau Suram sampai dekat sekali?" tanya Lucy-Ann bersemangat. "Tidak bisakah kita mendarat di sana?" tanya Dinah. "Kurasa tidak bisa," jawab Bill. "Soalnya, pulau itu dikelilingi karang yang berbahaya! Walau dulu mungkin ada jalan masuk lewat salah satu tempat, dan mungkin jalan itu sekarang pun masih ada —tapi yang jelas aku tidak tahu tempatnya. Aku tidak mau menanggung risiko kalian tenggelam di situ." "Sayang," kata anak-anak kecewa. Padahal mereka mau saja menanggung risiko tenggelam, asal ada kesempatan mendarat di pulau yang dijauhi orang itu. "Sebaiknya kalian pulang saja sekarang dan cepat-cepat makan siang dulu, apabila diizinkan bibi kalian," kata Bill. "Aku tak mau terlambat berangkat nanti. Jika kita pergi sementara hari masih siang, kita bisa mengikuti arus pasang." "Baiklah," kata anak-anak, lalu bergegas bangkit. "Jadi sampai nanti siang, Bill. Kami akan membawa bekal seenak mungkin, sebagai hadiah untuk Anda karena mau menunggu kami." Anak-anak berjalan pulang, sambil mengobrol dengan asyik mengenai pesiar mereka siang itu. Jo-Jo banyak menceritakan hal yang seram-seram tentang pulau terpencil itu. Karenanya anak-anak kini sangat bergairah, membayangkan akan melihatnya dari dekat. "Aku ingin tahu, apakah Jo-Jo masih ada di pantai, menunggu kita keluar dari gua," kata Jack. Dengan hati-hati anak-anak menghampiri tepi tebing, lalu mengintip ke bawah. Ya —Jo-Jo masih ada di bawah. Hah — laki-laki itu sekali lagi teperdaya! Mereka lantas meneruskan langkah ke Craggy-Tops, dan langsung mendatangi Bibi Polly. "Bolehkah kami cepat-cepat makan siang sekarang, Bi?" tanya Philip. "Dan kemudian membawa makanan sore untuk bekal? Pokoknya, asal tidak merepotkan! Kami akan membantu menyiapkan makan siang, dan apa saja mau kami makan." Untung Bibi Polly mengizinkan. la masih punya simpanan makanan dingin serta beberapa biji tomat. Kecuali itu juga buah plum yang direbus dengan gula. "Dinah, kau mengatur meja," kata Bibi, "sementara anak-anak yang lain mengambil makanan. Sedang aku akan menyiapkan roti untuk bekal makan sore kalian, ditambah dengan kue jahe jika kalian mau! Lucy-Ann, tolong taruh ketel air di atas api. Kalian boleh juga membawa teh panas dalam termos." "Wah — terima kasih, Bi," ujar anak-anak serempak, lalu mulai sibuk bekerja dengan segera. Bibi Polly menggeleng, ketika melihat anak-anak meletakkan piring untuknya pula. "Aku merasa kurang enak badan han ini,“ katanya. "Kepalaku sakit sekali! Aku tak berselera makan sekarang. Nanti kalau kalian sudah berangkat, aku ingin beristirahat sampai puas." Anak-anak merasa kasihan pada Bibi Polly. Ia memang kelihatan capek sekali. Timbul pikiran Philip, apakah ibunya sudah mengirim uang lagi untuk membantu bibi serta pamannya, atau barangkali keadaan Bibi saat itu sedang sulit sekali. Tapi untuk menanyakan hal itu di depan Jack dan Lucy-Ann, rasanya tidak enak. Setelah makan siang dan bekal makan sore selesai disiapkan, anak-anak langsung berangkat. Selama itu mereka tidak melihat Jo-Jo. Laki-laki itu masih ada di pantai. la sudah benar-benar bingung, dan sekaligus jengkel karena anak-anak masih belum muncul-muncul juga. Jo-Jo merasa pasti, anak-anak itu tentu masih ada di dalam gua. Akhirnya ia masuk, lalu memanggil-manggil. Tapi tentu saja tidak ada yang menjawab panggilannya itu. Berulang kali Jo-Jo berseru-seru. "Kalau mereka ternyata tersesat di dalam, syukur!" katanya pada diri sendiri. Diputuskannya untuk melaporkan kejadian itu pada Nyonya Polly. Jo-Jo kembali ke Craggy-Tops. Anak-anak sudah berangkat, sedang Bibi Polly sedang sibuk mencuci piring kotor. Ketika Jo-Jo masuk, Bibi memandangnya dengan galak. "Ke mana saja kau sepagi tadi?" tanya Bibi. "Ada yang hendak kusuruh, tapi kau tidak kelihatan di mana-mana." "Aku mencari anak-anak," kata Jo-Jo. "Kurasa mereka masuk ke dalam gua, lalu tersesat di situ. Sedari tadi aku memanggil-manggil, tapi percuma." “Jangan konyol, Jo-Jo," tukas Bibi Polly. "Anak—anak hanya kaujadikan alasan saja. Padahal sebetulnya kau malas bekerja. Kau tahu betul, mereka tidak ada dalam gua." "Aku sendiri melihat mereka masuk ke situ, Nyonya — tapi tidak melihat mereka keluar lagi," kata Jo-Jo tersinggung. "Selama itu aku terus berada di pantai, kan? Percayalah, anak-anak tadi masuk ke dalam gua, dan sekarang pun mereka masih ada di situ." "Mana mungkin," kata Bibi Polly tegas. "Mereka baru saja berangkat dari sini,- hendak berpiknik. Mereka tadi kembali lalu cepat-cepat makan siang. Setelah itu pergi lagi. Jadi janganlah kau mengoceh terus, mengatakan bahwa mereka tersesat dalam gua." Jo-Jo melongo. Bukankah sepanjang pagi tadi ia terus berada di pantai? Jadi kalau anak-anak itu keluar, tak mungkin ia tidak melihat mereka. "Jangan pura-pura heran," bentak Bibi Polly. "Ayo cepat, selesaikan tugas-tugasmu. Segalanya yang tidak kaulakukan sejak tadi pagi, harus selesai sore ini juga. Kurasa anak-anak tadi memang masuk ke dalam gua, tapi kemudian keluar lagi ketika kau sedang tidak memperhatikan. Sudahlah — jangan berdiri terus di situ, kayak boneka. Kau ini menjengkelkan saja!" Jo-Jo mengatupkan mulutnya yang ternganga. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia mulai bekerja. Tapi dalam hati ia masih tetap heran. Diingatnya betapa beberapa malam yang lalu ia mengejar dua anak laki-laki ke dalam gua, dengan sangkaan mereka itu Philip dan Jack Lalu datang air pasang yang menyebabkan anak-anak itu terjebak di dalam gua. Tapi keesokan paginya, mereka sudah tidak ada lagi di situ! Kini kejadian itu berulang lagi, bahkan dengan empat anak sekaligus. Jo-Jo merasa seram. Perasaannya tidak anak. Ternyata anak-anak itu berhasil mengelakkan diri dari cegatannya. Kemanakah mereka sekarang? Yah — siang itu ia takkan bisa menyelidiki — kalau tidak ingin didamprat Nyonya Polly, yang kelihatannya sedang kesal. Bab 14 PULAU SURAM Anak-anak bergegas menyusur sisi atas tebing, menuju ke tempat Bill Smugs. Teman mereka itu sudah menunggu di perahunya. Dengan segera bekal makanan dimasukkan ke perahu. Setelah itu mereka berangkat. Bill menyiapkan pcrahunya di pantai, dan bukan disembunyikan di balik batu yang letaknya agak ke tengah air. Begitu anak-anak sudah naik semua, didorongnya perahu sampai terapung. Dengan cepat Bill melompat naik, lalu mendayung sampai perahu sudah melewati batu-batu karang. "Nah, sekarang pasang layar, Anak—anak!” katanya kemudian. "Aku kepingin melihat bagaimana kalian melakukannya." Philip dan Jack teryata anak-anak yang cekatan. Dengan mudah mereka memasang layar. Kemudian berganti-ganti memegang kemudi. Bill puas melihat kecekatan mereka. "Kalian ternyata murid-murid yang baik," katanya senang. "Kurasa kalian sekarang sudah bisa membawa sendiri perahuku ini." "Wah, Bill — Anda mau mengizinkan?" tanya Jack bersemangat. "Jangan khawatir, Anda bisa percaya pada kami." "Boleh saja, kapan-kapan," kata Bill. "Tapi kalian harus berjanji jangan tcrlalu jauh berlayar." "Baiklah, kami mau berjanji apa saja," kata anak-anak bersungguh-sungguh. Asyik mereka akan berlayar sendiri dcngan perahu Bill! Saat itu ada angin baik- Perahu meluncur dengan tenang. Hanya sekali—sekali saja oleng sedikit, pada saat memotong alun. Laut saat itu licin, seperti permukaan kaca. "Enak," kata Jack. "Aku senang mendengar bunyi layar mengelepak — serta suara air menepuk-nepuk sisi perahu, dan desing angin .... " Dinah dan Lucy-Ann merendam tangan mereka , ke dalam air laubyang dingin dan halus, seperti sutcra rasanya. Kiki memperhatikan sekelilingnya, sambil bertengger di puncak layar besar. Agak sulit baginya menjaga keseimbangan di situ. Karenanya burung kakatua itu agak mengembangkan sayap-nya sedikit, sebagai bantuan. Kelihatannya Kiki juga menyukai pelayaran itu, seperti anak-anak. "Bersihkan kakimu dan tutup pintu," katanya pada Bill Smugs, ketika Bill kebetulan memandangnya. "Sudah berapa kali ku .... " "Diam, Kiki!" seru anak-anak serempak. "Jangan berani kurang ajar pada Bill, nanti kau dilempar ke laut!" Kiki tertawa terkekeh-kekeh, lalu membubung terbang ke udara. Dihampirinya beberapa ekor burung camar yarig kaget melihat ia tiba-tiba muncul. Burung-burung itu semakin heran, ketika Kiki menyuruh mereka memakai sapu tangan. Tapi ketika Kiki tiba-tiba menjerit., camar-camar itu langsung menjauh karena takut mendengar suaranya. Kiki puas, lalu kembali ke tempat pertenggeran semula. Burung iseng itu senang kalau berhasil menimbulkan keributan. Tidak peduli terhadap manusia, atau burung dan binatang lain. " "Aku masih belum bisa melihat Pulau Suram," kata Jack, yang sedari tadi mengamat-amati dengan cermat. "Di mana kira-kira letaknya, Bill? Setelah berada di laut, aku rasanya seperti kehilangan arah." "Letaknya di sebelah sana," kata Bill sambil menuding. Anak-anak memandang ke arah yang ditunjukkan. -Tapi mereka masih tetap tidak melihat apa-apa. Tapi walau begitu perasaan mereka bergairah, membayangkan pulau jahat' seperti yang dikatakan Jo-Jo sudah semakin dekat letaknya. Perahu layar meluncur terus. Angin bertambah kencang, semakin jauh mereka ke tengah laut. Rambut Dinah dan Lucy-Ann tergerai ke belakang dipermainkan angin, dan kadang-kadang menyelubungi muka. Bill berseru kesal; ketika pada suatu saat angin menghembus dengan tiba-tiba dan menyentakkan rokok yang sedang dipegang. "Hah, kalau Kiki ini memang ada gunanya sedikit. pasti sekarang disusulnya rokokku yang diterbangkan angin itu dan dibawa kcmbali ke sini," kata Bill sambil melirik kakatua itu. "Kasihan Kiki," kata kakatua itu sambil menggelang-geleng sedih. "Kiki yang malang! Sayang, sayang, sayang .... " Burung itu berhenti mangocah lalu tertawa terkekeh-kekeh, karena Jack melemparkan kulit karang ke arahnya. Bill mencoba menyalakan sebatang rokok lagi. Tapi agak sulit, karena angin bertiup kencang. Setelah berlayar lagi beberapa waktu, tiba-tiba Jack berseru-seru. "Lihatlah! Daratan! ltukah Pulau Suram? Pasti itu dia!" Semua yang ada di perahu memandang dengan penuh perhatipn. Betul — di balik selubung kabut hawa panas, nampak samar bentuk daratan. "Ya — itu dia pulaunya," kata Bill berminat... "Besar juga rupanya." Perahu mereka semakin mendekat. Bentuk pulau itu menjadi semakin jelas nampak Ternyata berbatu dan berbukit-bukit. Air laut di sekelilingnya menggelora terus. Ombak memecah, percikannya terlempar tinggi ke udara. Di sana sini nampak batu-batu runcing menonjol ke atas. Perahu dikemudikan lebih mendekat lagi. Air yang dilalui sudah tidak licin lagi, tapi berombak liar. Lucy-Ann mulai pucat mukanya. Dia sendiri satu-satunya yang tidak tahan terhadap gerakan ombak. Tapi anak itu tabah. Ia tidak mengatakan apa-apa. Dan tidak lama kemudian rasa mabuk laut itu mulai berkurang. "Sekarang bisa kelihatan beting karang yang mengelilingi pulau," kata Bill Smugs. "Bukan main runcingnya! Kurasa pasti sudah banyak perahu pecah di situ. Sekarang kita berlayar mengelilinginya sebentar, sambil melihat-lihat. Barangkali saja nanti nampak jalan masuk. Tapi — kita tidak akan berlayar lebih dekat lagi Jadi percuma saja meminta-minta." Perahu mereka terombang-ambing dipermain-kan ombak. Muka Lucy-Ann sudah pucat lagi. "Makan biskuit kering, Lucy-Ann," ‘ kata Bill Smugs, ketika melihat keadaan anak itu. "Gigit sedikit-sedikit, barangkali saja rasa mabukmu bisa agak berkurang karenanya." Nasihat itu ternyata berguna. Dengan perasaan lega Lucy-Ann menggigiti biskuitnya. Tak lama kemudian perhatiannya sudah tumbuh kembali. Hama Pulau Suram ternyata memang cocok dengan keadaannya. Pulau itu kelihatannya gersang, terdiri dari batu-batu cadas yang menjulang membentuk bukit yang tinggi di tengah-tengah. Di sana sini nampak sebatang pohon yang tumbuh kerdil, dan di beberapa tempat terhampar rumput yang menghijau. Di sini yang menghadap laut, warna batu-batuan kamerah—merahan. Tapi di tempat-tempat lain, semuanya hitam. "Ternyata sangkaanku benar," kata Jack bersemangat. Ia mengamat-amati pulau dengan teropongnya. "Di sini burung banyak sekali. Aduh — coba Anda lihat, Bill!" Tapi Bill tidak mau melepaskan kemudi. Berlayar dekat beting merupakan pekerjaan berbahaya. la hanya mengangguk saja pada Jack. "Aku percaya," katanya. "Katakan, apabila ada jenis yang kaukenali." Jack langsung menyebutkan sederetan nama burung. "Aduh, Billl Jumlahnya beribu-ribu!" serunya. "Yuk, yuk — kita mencoba mendarat. Carilah jalan masuk di sela-sela beting. Ya, Bill, ya?!" "Tidak!" kata Bill tegas "Kan tadi sudah kukatakan. Biar kita tahu jalannya, masih tetap berbahaya. Dan aku sama sekali tidak tahu! Aku tidak mau membuang-buang nyawa kita, hanya karena kepingin melihat beberapa ekor burung dari dekat. Padahal mereka bisa dilihat setiap hari di Craggy-T0ps." Perahu terus berlayar mengelilingi pulau itu, sambil menjaga jarak terhadap beting. Ombak tak henti-hentinya memecah di situ, menyebabkan percikkan yang menjulang tinggi ke udara. Anak-anak memperhatikan ombak yang seakan-akan berlomba-lomba di atas batu-batu berbahaya itu, dengan bunyi menderu yang terdengar terus-menerus. Begitu asyiknya pemandangan itu, sehingga anak-anak merasa kepingin berseru-seru karena gembira. Jack dengan teropongnya paling jelas melihat Pulau Suram. Alat pembesar itu tidak lepas dari matanya, yang sibuk memperhatikan beratus-ratus burung. Ada yang beterbangan, dan ada pula yang duduk-duduk di batu. Akhimya Philip menepuk lengan Jack. "Aku juga kepingin melihat," katanya. "Kemarikan teropongmu." Tapi Jack tidak mau. la khawatir, jangan-jangan nanti ada burung auk besar, tapi ia tidak bisa melihatnya. Tapi akhirnya diserahkannya juga teropong pada Philip. Temannya itu tidak begitu berminat pada burung. Diarahkannya teropong untuk memperhatikan daerah pantai. Tiba-tiba ia berseru. "He — ternyata di sana masih ada beberapa bangunan, kelihatannya seperti rumah. Tapi tentunya tak ada lagi yang tinggal di sana?" "Tentu saja tidak," jawab Bill Smugs. "Pulau itu kan sudah lama ditinggalkan. Tak bisa kubayangkan kenapa ada yang dulu mau hidup di situ. Pulau ini kan tidak bisa dipakai untuk keperluan pertanian, atau untuk memancing. Tidak enak tinggal di sini. Begitu gersang keadaannya!" "Kurasa yang kulihat itu cuma puing-puing belaka," kata Philip. "Letaknya di bukit-bukit. Tidak begitu jelas kelihatannya." "Kau melihat sesuatu yang berkeliaran di sana?" tanya Dinah sambil tertawa. "Maksudku, 'macam-macam' yang sclalu diocehkan Jo-Jo?" "Tidak — aku sanja sekali tidak melihat orang di sana," kata Philip. "Coba kaulihat sendiri dengan teropong, Dinah. Sesudah itu giliran Lucy-Ann. Sekarang aku mengerti, kenapa tempat itu dinamakan Pulau Suram. Tempatnya memang sangat suram. Sama sekali tak ada yang hidup di situ, kecuali burung-burung." Dinah dan Lucy-Ann bergiliran memandang dengan teropong. Mereka tidak senang melihat keadaan pulau itu. Jelek dan gersang, dan memberikan kesan terasing. Sementara itu perahu layar terus mengelilingi pulau, tanpa lebih menghampiri beting karang yang mengungkungnya. Satu-satunya tempat yang mungkin bisa dilewati untuk masuk di sela-sela beting itu terletak di sebelah barat. Di tempat itu ombak tidak begitu liar. Walau buih masih tetap memercik, tapi tidak nampak karang yang timbul di atas permukaan laut. Percikkan air berasal dari ombak yang melanda batu di dekat situ. "Kurasa itulah satu-satunya jalan masuk ke pulau," kata Jack. "Yah — tapi pokoknya kita takkan mencobnya," kata Bill Smugs dengan segera. "Sekarang kita akan meninggalkan pulau dan menuju ke perairan yang lebih tenang. Di situ layar kita turunkan, lalu kita makan sore sebentar. Enak, sambil terayun—ayun, dan tidak terombang-ambing seperti sekarang. Kasihan Lucy-Ann, mukanya pucat sekali." Jack mengarahkan teropong ke pulau. Ia ingin mengamat-amati lagi, untuk kali yang terakhir. Taba-tiba ia berteriak. Kiki terjatuh dari tempatnya bertengger karena kaget. Bahkan Dinah pun nyaris kehilangan keseimbangan. Bill Smugs ikut kaget, lalu bertanya "Ada apa?" "Burung auk besar!" seru Jack, sementara teropong tetap melekat ke matanya. "Betul, betul — burungnya besar sekali, dengan sayap pendek menempel ke tubuh — serta paruh besar dan runcing. Itu memang burung auk besar!" Bill menyerahkan tongkat kemudi pada Jack sesaat, lalu meneropong. Tapi ia tidak melihat burung auk, seperti dikatakan oleh Jack. Teropong dikembalikannya pada anak laki-laki yang matanya bersinar-sinar karena bergairah itu. "Kurasa yang kaulihat tadi seekor burung auk biasa," katanya. "Jenis yang besar memang mirip sekali dengan yang biasa. Kurasa kau tadi terdorong keinginan melihat auk besar, sampai keliru melihat. Tadi itu pasti bukan burung auk besar." Tapi Jack yakin sekali bahwa ia tidak keliru. Burung tadi tidak kelihatan lagi. Tapi Jack masih selalu memandang dengan kepingin ke arah pulau yang saat itu ditinggalkan lagi. la tahu, di situ ada burung auk besar. Ia merasa yakin melihatnya tadi. Kenapa Bill mengatakan bukan, dan cuma burung auk biasa saja? "Bill! Bill! Kembalilah lagi," kata Jack meminta-minta. Ia tidak bisa menahan diri lagi. "Aku tahu pasti, yang kulihat tadi auk besar. Tiba-tiba saja aku melihatnya. Bayangkan — apa kata seluruh dunia nanti apabila aku berhasil menemukan burung auk besar, yang dikatakan sudah lama punah itu!" "Dunia takkan begitu peduli pada penemuanmu itu," kata Bill dengan tawar. "Yang akan ribut paling-paling berapa gelintir saja, yaitu kalangan penggemar burung. Jadi tenang sajalah - kurasa kau tadi salah melihat." Tapi Jack tidak bisa menenangkan diri. la masih tetap bergairah. Mukanya merah, sedang matanya bersinar-sinar. Kiki ikut merasakan kegairahan Jack, lalu hinggap di bahunya. Daun telinga Jack dipatuk-patuknya, minta perhatian. "Jelas tadi itu auk besar! Pasti, pasti," kata Jack. Lucy-Ann menggenggam tangan abangnya. Ia juga merasa burung tadi seekor auk besar. Pokoknya, ia tidak bermaksud merusak kesenang-an Jack dengan mengatakan bukan. Sedang Dinah dan Philip, keduanya merasa Jack tentu salah melihat. Mereka makan-makan di perairan yang agak tenang. Layar diturunkan, dan perahu dibiarkan hanyut. Jack merasa tidak mampu makan. Tapi ia masih mau juga minum teh panas. Lucy-Ann yang merasa lapar setelah mabuk laut tadi, mengambil bagian Jack dan memakannya sampai habis. Pelayaran siang itu sangat menyenangkan. "Bolehkah kami kapan-kapan berlayar sendiri, seperti Anda janjikan tadi?" tanya Jack dengan tiba-tiba. Bill Smugs menatap anak itu dengan tajam. "Boleh, tapi hanya apabila kalian berjanji takkan terlalu jauh pergi ke tengah laut," katanya. "Maksudku, jangan lantas nekat ke Pulau Suram untuk mencari burung auk besar." Padahal justru itulah yang diniatkan oleh Jack. Karenanya mukanya lantas memerah. "Baiklah," katanya kemudian. "Aku berjanji takkan pergi ke Pulau Suram dengan perahu Anda, Bill. Tapi kami kan kapan-kapan boleh berlayar sendiri?" "Ya, boleh," kata Bill. "Kurasa kalian sudah bisa menangani perahu ini — dan pasti takkan ada bahaya apabila kalian memilih hari bercuaca tenang." Jack kelihatan senang. Tampangnya saat itu seperti sedang melamun. la sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Ia akan menepati janji pada Bill Smugs. la takkan pergi ke Pulau Suram dengan perahu milik Bill- tapi dengan perahu,orang lain! Ia bermaksud hendak berlatih mendayung dan berlayar dengan perahu Bill dulu — dan begitu sudah cukup mahir, ia akan meminjam perahu Jo-Jo dengan diam-diam, lalu pergi ke pulau impiannya dengan perahu itu. Rencana itu sebetulnya sangat nekat. Tapi Jack sudah benar-benar bergairah membayangkan akan menemukan burung auk besar, yang disangka sudah punah. Jadi ia mau menanggung setiap risiko, untuk bisa pergi ke Pulau Suram. Ia merasa yakin akan bisa menemukan jalan masuk lewat sela-sela beting karang. Apabila sudah dekat ke situ layar akan diturunkan olehnya, dan perjalanan selanjutnya ditempuh dengan jalan mendayung. Perahu Jo-Jo besar dan berat. Tapi menurut perasaan Jack saat itu, ia pasti akan mampu menanganinya. Ia tidak menceritakan niatnya itu dengan segera pada anak-anak yang lain. Bill masih ada bersama mereka — dan Bill tidak boleh sampai mengetahui rencananya. Bill Smugs peramah dan baik hati. Tapi ia juga sudah dewasa. Dan orang dewasa belum pernah mau mengizinkan anak-anak melakukan sesuatu yang mengandung risiko yang berbahaya. Jadi Jack diam saja, sambil termenung memikirkan rencananya. Tidak didengarnya anak- anak yang lain mengganggunya. "Jack sudah berangkat ke pulau, untuk mendatangi burung auk besar itu," kata Dinah sambil tertawa. "Kasihan Jack - burung tadi melenyapkan selera makannya," kata Philip. "He, bangun!" kata Bill, sambil menyenggol Jack. "Mengobrol sedikit dong." Selesai makan mereka memutuskan untuk kembali dengan jalan mendayung silih-berganti. Menurut pendapat Bill ada baiknya apabila mereka semua berlatih otot, sedang anak-anak senang dizinkan mendayung. Jack mendayung dengan bersemangat. Dalam hati ia berpikir itu latihan yang baik untuk mempersiapkan keberangkatan ke pulau nanti. "Hah — sekarang kita sudah kembali dengan selamat," kata Bill, ketika lunas perahu sudah menyentuh pantai. Jack dan Philip meloncat turun lalu menarik perahu ke darat. Setelah itu kedua anak perempuan sibuk mengangkut perbekalan. "Hah, sampai lain kali," kata Bill. "Asyik pelayaran kita tadi. Kalau mau, kalian bisa datang lagi besok Akan kuizinkan kalian berlayar sendiri sebentar." "Wah, terima kasih!" seru anak-anak dengan gembira. Kiki menirukan seruan itu. "Wah, terima kasih!" serunya, "Terima kasih! Wah, terima kasih!" "Diaml" kata Philip sambil tertawa. Tapi Kiki tidak bisa dibimgkam begitu saja. Sepanjang jalan pulang, kalimat itu diulang-ulangnya terus. "Wah terima kasih, wah terima kasih.” "Kalian senang berpiknik tadi?" tanya Bibi Polly, ketika anak—anak berbondong—bondong masuk ke rumah. "Senang sekali!’ jawab Dinah. "Anda sudah tidak sakit kepala lagi, Bibi Polly?" "Masih," kata bibinya. Muka Bibi Polly nampak masih pucat dan lesu. "Kurasa sebaiknya malam ini aku cepat tidur saja. Kau yang mengantarkan makan malam untuk pamanmu malam ini, Dinah!" "Ya, Bi," kata Dinah dengan setcngah hati. Ia tidak bisa dibilang gembira diserahi tugas itu. Soalnya, ia agak takut pada pamannya yang terpelajar tapi aneh itu. Saat itu Jo-Jo masuk. Ditatapnya anak-anak. "Ke mana kalian tadi?" sergahnya. "Dan tadi pagi ke mana, setelah masuk ke gua?" "Kami pulang ke sini," kata Philip. Jo-Jo semakin kesal, melihat tampang Philip yang pura-pura heran. "Masa kau tidak melihat kami?! Dan sekarang kami baru saja kembali dari berpiknik, Jo-Jo. Kenapa kau begitu prihatin sekali mengenai ke mana saja kami pergi? Kau ingin ikut, ya?" Jo-Jo mendengus marah. Bunyi itu langsung ditirukan oleh Kiki, disusul dengan tertawa terkekeh yang menjengkelkan bunyinya itu. Jo-Jo menatap kakaktua itu dengan perasaan benci, lalu pergi ke luar. "Jangan suka mengganggu Jo-Jo," kata Bibi Polly dengan lesu. "Dia itu makin lama makin payah — malas dan tidak sopan sikapnya. Sepagi tadi ia tak pernah ada di dekat rumah. Yah- aku tidur saja sekarang." "Jack tolong bantu aku dengan baki makanan untuk Paman Jocelyn," kata Dinah, ketika hidangan makan malam sudah siap. "Aku tidak kuat mengangkatnya sendiri, karena terlalu berat bagiku. Sedang Philip sudah pergi lagi, kayak biasanya. Ia selalu cepat-cepat menghilang, apabila ada tugas yang harus diselesaikan." Jack mengangkat baki berat itu, lalu mengikuti Dinah yang berjalan menuju kamar kerja paman nya. Sesampai di situ ia mengetuk pintu. Terdengar bunyi dengusan sebagai jawaban. Menurut perasaan Dinah, pamannya mengatakan, ’Masuk!' Dinah masuk, diikuti oleh Jack. Kiki bertengger di bahunya, seperti biasa. "Makan malam Anda, Paman," kata Dinah. "Bibi Polly sudah masuk ke tempat tidur, karena merasa capek." "Kasihan Polly, Polly yang malang," kata Kiki dengan nada kasihan. Paman Jocelyn kaget, lalu menoleh. Begitu melihat di pundak Jack, langsung disambarnya penindih kertas dan hendak dilempamya ke arah Kiki. Burung itu buru-buru terbang keluar lewat pintu. Paman Jocelyn meletakkan penindih kertas kembali ke meja. "Burung itu jangan boleh masuk ke sini," katanya menggerutu. "Burung iseng! Letakkan saja baki itu di sana. Dan kau ini siapa, anak muda?" "Nama saya Jack Trent," kata Jack Ia agak heran, masa Paman Jocelyn begitu cepat lupa. "Anda kan sudah melihat kami ketika saya serta adik saya Lucy—Ann datang waktu itu. Anda tidak ingat lagi?" "Di rumah ini terlalu banyak anak-anak," kata Paman menggerutu. "Aku sampai tidak bisa bekerja dengan tenang." "Ah, Paman - kami kan tidak pernah mengganggu ketenangan Anda," kata Dinah tersinggung. Saat itu Paman Jocelyn sedang menghadapi sebuah peta besar yang kelihatannya sudah kuno. Jack melirik peta itu. "Wah — itu peta daerah pesisir sini," katanya, "dan itu kan Pulau Suram, Paman?" Ia menuding bentuk sebuah pulau yang digambar dengan cermat pada peta besar itu. Paman Jocelyn mengangguk. "Anda sudah pernah ke sana?" tanya Jack bersemangat "Kami melihatnya tadi siang." "Aku belum pernah ke sana — dan memang tidak kepingin," jawab Paman dengan nada masam. ”Saya melihat seekor bumng auk besar di sana tadi," kata Jack dengan bangga. Tapi Paman Jocelyn sama sekali tidak kagum. Malah sebaliknya! "Omong kosong!" tukasnya. "Burung itu sudah lama punah. Yang kaulihat itu burung auk biasa. Jangan suka konyol!" Jack tersinggung. Hanya Lucy-Ann saja yang mau kagum mendengai penemuannya yang hebat. Tapi Jack juga tahu, adiknya itu pasti mau percaya juga jika ia mengatakan melihat Santa Claus di pulau itu. Jack mengemyitkan kening dengan kesal, menatap laki-laki tua yang masam dan nampak tidak pedulian itu. Paman Jocelyn membalas tatapannya dengan masam pula. "Bolehkah saya melihat peta itu sebentar?"tanya Jack dengan tiba-tiba. Maksudnya hendak ‘ melihat, apakah di situ tertera jalan masuk ke pulau lewat rintangan beting karang yang mengelilingi. "Untuk apa? Kau juga berminat pada hal—hal begini?" tanya Paman dengan heran. "Saya sangat tertarik pada Pulau Suram," jawab Jack. "Bolehkah saya melihat peta itu sebentar?" "Aku masih punya peta yang lebih besar lagi — di situ pulau itu digambarkan secara jelas," kata Paman Jocelyn. la senang, karena ternyata ada juga yang tertarik pada peta-petanya. "Nanti dulu — di mana kusimpan waktu itu?" Sementara Paman sibuk mencari, Jack dan Dinah memperhatikan peta besar daerah pesisir itu. Pulau Suram nampak di depan garis pantai, dikelilingi beting karang. Bentuknya aneh, mirip telur dengan benjolan pada satu sisi. Pantainya berkelok-kelok. Letaknya hampir tepat di sebelah Barat Craggy-Tops. Jack mengamat—amati peta dengan bergairah. Coba Paman Jocelyn mau meminjamkan peta itu padanya! "Lihatlah!" katanya dengan suara pelan pada Dinah. "Pada bagian ini lingkaran beting nampak terputus. Kau melihatnya? Nah — kurasa di situlah tempat di mana aku seperti melihat ada jalan masuk tadi siang. Kau lihat bukit yang digambarkan di sini? Jalan masuk ke pulau lewat di celah beting, letaknya berseberangan dengan bukit itu. Jika lcita hendak datang ke sana — dan aku memang bemiat begitu— kita cukup mencari di mana bukit itu. Itu tidak sulit, karena bukit ini yang tertinggi di sana, kclihatannya! Lalu kita mencari jalan masuk ini, di seberang bukit itu. Mudah saja!" "Di peta kelihatannya memang mudah — tapi kurasa apabila sudah di laut pasti ternyata akan jauh lebih sulit," kata Dinah. "Kau kedengarannya seperti sungguh-sungguh hendak ke sana, Jack. Tapi jangan lupa janji kita pada Bill Smugs. Kita tidak boleh melanggar janji." "Aku juga tahu, goblok," kata Jack, yang seumur hidupnya belum pernah melanggar janji. "Aku punya rencana lain. Nanti saja kuceritakan." Kedua anak itu sangat kecewa, karena Ternyata Paman Jocelyn tidak berhasil menemukan peta besar yang dicarinya. Sedang peta yang terhampar di atas meja tidak mau dipinjamkamya pada Jack. "Tidak boleh!" katanya kaget, ketika Jack meminta lagi. "Peta ini sudah sangat kuno — sudah berabad-abad umumya. Aku takkan me-minjamkannya padamu, biar bagaimanajuga! Kau nanti cuma merusakkannya. Atau kalau tidak, hilang! Aku tahu, anak-anak itu kayak apa biasanya." "Tidak benar, Paman," kata Dinah. "Paman sama sekali tidak tahu bagaimana kami sebenar-nya. Melihat kami saja pun boleh dibilang tidak pernah. Ijinkanlah kami meminjam peta itu, Paman!" Tapi Paman ijdak bisa dibujuk untuk menyerahkan petanya yang berharga. Jadi Jack dan Dinah terpaksa meninggalkan kamar kerja yang acak-acakan dan penuh dengan buku itu, setelah memandang sekali lagi ke arah gambar pulau yang dikelilingi karang. "Jangan lupa makan, Paman," seru Dinah, sebelum menutup pintu. Paman cuma mendengus saja sebagai jawaban. la sudah sibuk kembali dengan pekenjaannya. Baki berisi hidangan makan malam dibiarkannya terletak cli sampingnya. "Aku berani taruhan, ia pasti lupa makan nanti," kata Dinah. Dan dugaannya Ternyata tepat. Ketika keesokan harinya Bibi Polly masuk untuk membereskan kamar seperti biasa dilakukan olehnya, nampak baki terletak di meja, masih penuh dengan makanan. "Kau ini bahkan melebihi anak kecil," kata Bibi Polly mengomeli Paman. "Sungguh, Jocelyn!" Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 15 KEJADIAN MENGHERANKAN — DAN BERLAYAR Malam itu Jack menceritakan rencananya. Philip, Dinah dan Lucy-Ann mula-mula agak sangsi. Tapi kemudian mereka tertarik, lalu akhirnya ikut bersemangat. "Benar-benar bisakah kita menemukan jalan masuk itu?" tanya Lucy-Ann. Ia masih takut-takut. "Itu gampang," kata Jack. Anak itu kalau sudah membulatkan tekat mengenai sesuatu, kemudian tak mau mengacuhkan kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul. "Kurasa aku melihatnya tadi siang, dan malam tadi jelas aku melihat gambarnya di peta. Dinah juga!" "Dinah juga! Dinah juga!" oceh Kiki menirukan. Tapi anak-anak tidak mengacuhkannya. Mereka sibuk berunding. "Jika aku sudah merasa yakin sekali berlayar dengan perahu Bill, aku takkan khawatir lagi memakai perahu Jo-Jo," kata Jack "Tapi kalau ketahuan olehnya, bisa setengah mati kau dipukulnya nanti," kata Philip. "Bagaimana caramu mengusahakan supaya jangan ketahuan?" "Kutunggu sampai ia pergi berbelanja dengan mobil," kata Jack dengan segera. "Semuanya sudah kupikirkan masak-masak! Begitu ia berangkat, aku akan segera berangkat pula dengan perahunya, dengan harapan akan sudah kembali sebelum dia datang lagi. Tapi jika tidak — yah, apa boleh buat! Kalian harus berusaha mengalihkan perhatiannya dengan salah satu cara — atau mengurungnya dalam gudang — pokoknya begitulah!" Anak-anak yang lain tertawa cekikikan. Mereka senang membayangkan Jo-Jo dikurung oleh mereka. "Tapi nanti dulu," kata Philip kemudian, "kau kan tidak bisa berangkat sendiri? Kami harus ikut!" "Anak—anak perempuan takkan kuajak,” kata Jack tegas. "Kalau aku sendiri, aku berani menanggung resikonya. Tapi aku tak mau menanggung risiko Dinah dan Lucy-Ann. Kalau kau, tentu saja kau bisa ikut, Philip.” "Aku juga ikut," kata Lucy-Ann dengan segera. Ia tidak mau membiarkan Jack menghadapi petualangan berbahaya tanpa dia di samping abangnya itu. "Kau tidak bisa ikut, habis perkara!" kata Jack tandas. "Jangan konyol, Lucy-Ann! Kalau kau ikut, nanti segala-galanya bisa menjadi kacau. Kalau kau dan Dinah ikut, kita nanti terpaksa sangat berhati-hati dengan perahu. Kita takkan berani mengambil risiko sedikit pun." "Aku tidak suka jika kau mengambil risiko," kata Lucy-Ann. Air matanya berlinang—linang. "Jangan cengeng," bentak Jack. "Kenapa kau tidak bisa kayak Dinah, dan tidak merepotkan aku apabila aku ingin melakukan sesuatu? Dinah tidak peduli jika Philip hendak mengambil resiko. Ya kan, Dinah?" "Betul," kata Dinah, yang tahu betul bahwa Philip sudah mampu menjaga dirinya sendiri. "Tapi walau begitu — sebetulnya enak juga apabila kami bisa ikut." Lucy-Ann mengejap-ngejapkan mata. Ia tidak mau menangis. Ia tidak ingin rencana Jack kacau. Tapi hatinya juga tidak enak, membayangkan abangnya itu nanti tenggelam, atau ditimpa bencana lain. Dalam hati ia menyumpahi burung auk besar. Kenapa burung itu harus ada? Jika tidak pernah ada, kan juga tidak mungkin bisa punah. Dan jika tidak dikatakan punah, maka segala keributan yang sekarang dialami karena ada kemungkinan menemukan seekor yang masih hidup, juga takkan terjadi! Jack malam itu sulit tidur. Pikirannya menerawang, membayangkan Pulau Suram serta burung-burung yang hidup di situ. Ia sudah tidak sabar lagi, ingin cepat-cepat berlayar ke sana. la ingin memeriksa apakah burung besar yang dilihatnya elang itu dengan teropong benar-benar auk besar, atau tidak. Jika ia berhasil menangkap burung auk besar, wah - ia bisa kaya raya! Burung itu tidak bisa terbang. Bisanya cuma berenang. Mungkin di Pulau Suram bahkan ada tiga atau empat ekor burung itu. Pokoknya asyik, pergi ke sana untuk menyelidiki. Akhirnya Jack berdiri dari pembaringan, lalu pergi ke jendela. la memandang ke arah barat, di mana Pulau Suram terletak Malam itu tidak ada bulan, jadi mula-mula ia tidak bisa melihat apa-apa. Tapi sementara ia menatap terus ke arah barat, sambil berpikir-pikir tentang pulau itu, tahu-tahu ia tertegun. Ia merasa seperti melihat sesuatu yang luar biasa. Jack mengejapkan mata kembali, lalu memandang kembali ke arah barat. ia melihat seolah-olah di sebelah barat ada lampu yang menyala. Sementara ia memperhatikan terus, lampu itu meredup sampai padam — lalu menyala kembali. "Itu bukan lampu sungguhan," katanya pada diri sendiri. "Lagi pula, tak mungkin ada lampu di pulau itu. Kurasa pasti itu lampu isyarat dari sebuah kapal yang sedang melintas." Cahaya terang di barat itu padam lagi. Tapi setelah itu tidak kembali menyala. Jack menarik kepalanya yang tadi terjulur ke luar. Maksudnya hendak tidur kembali. Ia merasa yakin, yang dilihatnya itu pasti lampu kapal. Tapi sebelum ia sempat beranjak dan tempat itu, ada lagi yang menarik perhatiannya. Jendela sempit di sisi seberang, yaitu yang menghadap ke atas tebing, nampak agak terang disinari cahaya remang. Dengan segera Jack menghampiri jendela itu, lalu memandang ke luar. Ternyata cahaya itu berasal dari sisi atas tebing. Rupanya ada yang menyalakan api di situ, atau menghidupkan lampu yang terang. Tapi siapa orang itu? Dan untuk apa lampu atau api dinyalakan? Mungkinkah untuk memberi isyarat ke kapal yang ada di tengah laut? Kamar menara tempat Jack dan Philip paling tinggi letaknya di Craggy- Tops. Sedang menara itu sendiri menjulang di atas sisi atas tebing. Tapi walau Jack sudah menjulurkan leher sepanjang-panjangnya, ia masih belum bisa mengenali cahaya apa yang bersinar terang di tebing. Ia juga tidak bisa melihat letaknya yang tepat, Karenanya ia lantas memutuskan untuk menyelidikinya. Ia tidak membangunkan Philip. Cepat-cepat Jack mengganti pakaian, lalu lari menyelinap ke bawah. Beberapa saat kemudian ia sudah berlari menyusur jalan kecil yang mengarah ke puncak tebing. Tapi ketika sampai di sana, cahaya tadi sudah tidak ada lagi! Rasanya juga bukan nyala api — karena tak tercium bau asap sama sekali. Aneh. Jack berjalan kembali, menyusur jalan yang tadi. Tiba—tiba ia kaget setengah mati, karena ada orang mencengkeramnya. "Apa yang kauperbuat di sini?" Terdengar suara Jo-Jo membentak. Jack diguncang-guncang olehnya, sehingga anak itu merasa napasnya nyaris putus. "Ayo mengaku — apa yang kaulakukan di atas sini!" Jack mengaku terus terang, karena ketakutan. "Aku tadi melihat sinar terang dari kamar menara," katanya. "Aku lantas kemari, karena ingin tahu sinar apa itu." "Kan sudah kukatakan, di tebing ini kalau malam sering ada macam-macam," kata Jo-Jo dengan suara seram. "Nah, mereka itulah yang memancarkan sinar — dan kadang-kadang bahkan seperti menangis dan menjerit-jerit. Kan sudah kukatakan pada kalian, jangan suka keluyuran pada malam hari?" "Lalu kau sendiri, kenapa keluar?" tanya Jack, setelah agak pulih dari perasaan takut. Jo-Jo mengguncang-guncangnya sekali lagi. Ia merasa puas, karena berhasil menangkap salah seorang anak yang menjengkelkan itu. "Aku keluar, karena juga ingin melihat sinar apa itu," katanya ketus. "Mengerti? Ya — untuk itulah aku tadi keluar. Tapi selalu macam-macam itulah yang menimbulkan keributan. Sekarang janji takkan pergi lagi malam-malam, keluar dari kamar tidurmu." "Aku tidak mau janji apa-apa," kata Jack sambil berusaha memberontak "Lepaskan tanganku, setan! Sakit kan!" "Kau akan lebih kusakiti lagi, apabila tidak mau berjanji takkan keluyuran lagi malam-malam," kata laki—laki itu mengancam. "Kebetulan aku membawa potongan tali, memang sengaja kusimpan untukmu serta Philip." Jack ketakutan. Jo-Jo kuat sekali, lagi pula jahat dan kejam. Sementara Jo-Jo sibuk melepaskan tali yang terikat ke pinggangnya, Jack meronta-ronta. Untung masih ada Kiki. Kakaktua itu datang menyelamatkan tuannya! Ketika ia terbangun dari tidur, tahu-tahu dilihatnya Jack sudah tidak ada lagi. Dan Kiki tidak pernah mau lama berpisah dengan tuannya. Sementara Jack berpikir-pikir apakah sebaiknya ia menggigit Jo-Jo, tahu-tahu Kiki datang menyambar sambil menjerit gembira. "Kiki! Patuk dia, Kiki! Patuk dia!" seru Jack. Tanpa menunggu diperintah lagi, Kiki menghunjamkan paruhnya yang tajam ke lengan Jo-Jo. Jo-Jo menjerit kesakitan. Pegangannya terlepas, sehingga Jack bisa melarikan diri. Jo-Jo berusaha memukul Kiki. Tapi burung itu sudah menjauh lagi, sambil menunggu kesempatan baik untuk melakukan serangan berikutnya. Sasaran yang dipilihnya kemudian adalah daun telinga Jo-Jo. Laki-laki itu menjerit kesakitan. "Suruh burung itu pergi - nanti kupilin lehernya, kalau tidak!" Tapi Jack lari terus, menyusur jalan tebing. Ketika merasa sudah aman, barulah Kiki dipanggilnya. "Kiki! Sini, Kiki — burung manis!" Tapi Kiki masih harus mematuk daun telinga Jo-Jo yang sebelah lagi. Setelah itu baru terbang pergi, sambil menjerit. ia hinggap di pundak Jack, lalu berbisik—bisik di telinga anak itu. Jack menggaruk-garuk kepala Kiki, sambil melangkah pulang. Jantungnya masih berdebar-debar. "Kau harus hati-hati terhadap Jo-Jo, Kiki," katanya. "Jangan sampai tertangkap, karena nanti lehermu benar-benar patah dipilin orang jahat itu. Aku tak tahu kau apakan dia tadi - tapi yang pasti dia kesakitan!" Sesampai di kamar lagi, Jack membangunkan Philip lalu menceritakan pengalamannya. "Kurasa cahaya pertama berasal dari sebuah kapal," katanya, "tapi sinar yang satu lagi, entah apa! Kata Jo-Jo ia naik ke tebing karena juga ingin memeriksa. Tapi menurut pendapatnya, cahaya itu berasal dari 'macam-macam’ yang selalu diocehkannya. Wah, nyaris saja aku tadi dipukulnya, Philip. Untung ada Kiki, kalau tidak — entah bagaimana nasibku sekarang." "Kiki baik," kata Philip. Dan Kiki mengulang-ulang perkataan itu dengan senang. "Kiki baik, Kiki baik, Kiki ba..." "Cukup!" kata Jack. Dan Kiki langsung berhenti mengoceh. Jack merebahkan diri ke kasur. "Aku capek sekali! Mudah-mudahan saja bisa lekas tertidur. Aku sama sekali tidak bisa, karena tidak habis—habisnya memikir tentang Pulau Suram." Tapi ternyata tidak lama kemudian ia sudah pulas. la bermimpi tentang sebuah peta besar yang ada gambar Pulau Suram, lalu sebuah perahu berusaha hendak pergi ke pulau itu, kemudian Jo-Jo menangkapnya dan hendak menarik dirinya serta perahu itu sekaligus. Keesokan paginya anak-anak bangun dengan perasaan senang. Mereka ingat bahwa Bill Smugs sudah berjanji mereka boleh mencoba berlayar sendiri hari itu. Mereka cepat-cepat melakukan segala tugas yang harus dikerjakan di rumah, lalu bergegas pergi. Hari itu Jo-Jo kelihatan marah-marah terus. Tapi sekali itu ia tidak mencoba membuntuti anak-anak, ketika mereka berangkat. Bibi Polly sangat menyibukkannya, ia disuruh melakukan berbagai macam tugas. Dan Jo-Jo melihat takkan ada gunanya mengelakkan diri. Karena itu ia pun mulai bekerja sambil mengomel-ngomel. Dan anak—anak bisa menyelinap pergi, tanpa ketahuan oleh Jo-Jo. "Hari ini aku- hendak ke kota," kata Bill, ketika anak-anak tiba di pondoknya. "Aku harus membeli palu, papan serta paku, untuk membetulkan pondokku ini. Tadi malam ketika ada badai, angin menghembus masuk dengan leluasa. Entah badai betul atau bukan — tapi di pondok sempit begini, rasanya seperti badai. Jadi aku perlu memperbaikinya sedikit. Bagaimana kalian mau ikut dengan aku?" "Terima kasih, tapi tidak sajalah," kata Jack dengan segera. "Kalau boleh, lebih baik kami berlayar saja dengan perahu, Bill. Cuaca hari ini kan cukup tenang. Kami akan berhati-hati." "Dan jangan lupa janji kalian," kata Bill, sambil menatap Jack dengan tajam. Anak itu mengangguk. "Aku takkan berlayar terlalu jauh ke tengah," katanya. Anak-anak yang lain juga berjanji. Setelah mengantarkan Bill berangkat, mereka lantas mengambil perahu. Bill menyimpannya di balik perlindungan batu yang di tengah air, tempat penyimpanannya yang biasa. Anak-anak masih belum berhasil mcngetahui apa sebabnya perahu itu ditaruh di situ. Tapi menurut perkiraan mereka, Bill tidak ingin perahunya itu dicuri orang sementara ia tidak ada di situ. Anak-anak harus berenang dulu ke batu yang terletak di tengah air. Pakaian mereka terbungkus dalam kantong kedap air yang dipinjamkan oleh Bill. Philip berenang sambil menghela kantong itu. Mereka sampai di batu-batu itu, lalu pergi ke bagian yang datar tempat perahu ditarik ke tempat kering. Di situ mereka mengenakan lagi pakaian mereka yang kering. Pakaian renang dilemparkan ke dalam perahu. Setelah itu perahu diseret masuk ke air. Laut cukup dalam di sekitar batu-batu itu. Dengan mudah perahu meluncur ke air, hampir-hampir tanpa menyebabkan air memercik. Anak-anak bergegas naik, lalu Philip dan Jack mengambil dayung. Tanpa banyak mengalami kesulitan, perahu didayung menjauh dari batu-batu, menuju perairan terbuka. Kemudian mereka harus memasang layar. Tapi kali ini tanpa Bill Smugs yang bisa menolong. "Mestinya cukup gampang bagi kita," kata Jack, sambil menarik tali-temali. "Kemarin kita juga bisa, sendiri!" Tapi kemarin ada Bill, yang menyerukan aba-aba pada mereka. Karena hari ini tak ada yang membantu, akhirnya pekerjaan menjadi agak kacau. Walau demikian, akhirnya layar terpasang juga setelah beberapa saat. Sekali Dinah nyaris terpelanting masuk ke air. Untung ia cepat-cepat berpegangan. Anak itu marah sekali. "Kau sengaja melakukannya, Philip," katanya pada abangnya, yang saat itu sedang sibuk dengan berbagai jenis tali. "Ayo minta maaf! Kata Bill, kita tidak boleh bercanda selama ada di perahu." "Diam!" tukas Philip. Ia tersangkut pada seutas tali. Kalau tali itu hidup, bisa disangka memang sengaja hendak menyangkutkan Philip padanya! "Tolong aku, Jack!" "Pegang kemudi sebentar, Dinah sementara aku membantu si Jambul," kata Jack. "Dinah! Tidak dengar ya?! Kataku, pegang kemudi, biar aku membantu Philip." Tapi ketika melihat abangnya sungguh-sungguh mengalami kesulitan, Dinah sudah lebih dulu datang membantu. "Terima kasih," kata Philip, setelah bebas lagi dari lilitan tali. "Sialan tali ini! Rupanya terlalu panjang yang kuuraikan. Bagaimana, layarnya beres?" Kelihatannya memang begitu. Angin menghembusnya sampai mengembang, dan perahu mulai meluncur maju. Asyik! Anak-anak merasa diri mereka sudah besar, karena sudah mampu menangani perahu itu sendiri. Karena bagaimanapun juga, perahu itu tidak bisa dibilang kecil. Jack memandang jauh ke arah letak Pulau Suram. Pada suatu hari ia akan ke sana, dan mendarat lalu melihat-lihat tempat itu. Entah apa saja yang akan ditemukannya di situ! Terbayang dimatanya burung auk besar. Bayangan itu begitu menggairahkannya, sehingga tanpa disadari perahu dikemudikannya memutar. Tiang layar terayun, nyaris menghantam kepala anak-anak. Untung mereka cepat-cepat tunduk. "Goblok!" tukas Philip jengkel. "Sini — biar aku saja yang memegang kemudi. Kalau kau bermain-main terus kayak begitu, tahu—tahu kita semua sudah tercemplung masuk ke air." "Maaf," kata Jack, "aku tadi sedang memikirkan sesuatu — bagaimana aku nanti berangkat dengan perahu Jo-Jo. Kapan kiranya kita bisa berangkat, Philip? Mungkin dua atau tiga hari lagi?" "Kurasa saat itu kita pasti akan sudah mampu berlayar dengan perahu itu," kata Philip. "Kalau sudah bisa, sebetulnya gampang saja — asal kita cepat. Aku sudah mulai bisa mengenal rasa angin serta kekuatannya Sungguh, aku mulai merasa biasa di perahu. Tapi kasihan Lucy-Ann, kurasa ia takkan pernah tahan berlayar. Lihatlah, mukanya sudah pucat lagi." "Ah, aku tidak apa-apa," kata Lucy-Ann dengan tabah. Saat itu perahu sampai ke perairan yang agak berombak, dan perut Lucy-Ann rupanya tak tahan dengan gerakan mengalun. Tapi walau begitu ia tidak bisa dibujuk supaya tinggal saja di darat, walau ia sendiri tahu bahwa ia nanti pasti mabuk laut lagi. Lucy-Ann memang anak yang tabah. Setelah beberapa saat layar digulung, sedang dayung-dayung diletakkan lagi ke air. Anak-anak masih ingat pada janji mereka, untuk tidak berlayar jauh—jauh. Di samping itu mereka merasa ada baiknya untuk berlatih menggayung juga sebentar. Keempat anak itu silih berganti mendayung. Dengan segera sudah cukup mahir. Perahu bisa mereka arahkan menurut kemauan mereka, juga tanpa kemudi. Kemudian layar dipasang lagi. Mereka berlayar kembali ke pantai. Mereka bangga karena sudah mampu berlayar sendiri. Ketika sudah dekat ke pantai, nampak Bill Smugs berdiri di situ sambil melambai-lambaikan tangan. Rupanya kawan mereka itu sudah kembali. Anak-anak mengarahkan perahu ke pantai, lalu menghelanya ke darat. "Bagus!" kata Bill. "Aku tadi sudah memperhatikan, ketika kalian sedang berada di tengah. Kalian sudah mulai mahir. Besok boleh mencoba lagi." "Terima kasih," kata Jack. "Tapi bagaimana jika kami berlatih kembali siang ini — boleh atau tidak? Dinah dan Lucy-Ann tidak bisa ikut, karena harus membantu Bibi Polly. Tapi aku bisa, begitu pula Philip." Dinah dan Lucy-Ann tahu, sebetulnya Jack ingin melihat apakah ia mampu menangani perahu itu sendiri bersama Philip, sebagai persiapan untuk pergi sendiri nanti dengan perahu Jo-Jo. Karenanya mereka tidak mengatakan apa-apa, walau sebetulnya mereka ingin sekali ikut siang itu. Bill Smugs ternyata mengizinkan kedua anak laki—laki itu berlayar sendiri siang itu, apabila mereka mau. "Tapi aku tidak bisa ikut," kata Bill, "karena harus membetulkan pesawat radioku. Ada sesuatu yang tidak beres." Radio Bill bagus sekali. Jack dan Philip belum pernah melihat radio sebagus itu. Bill meletakkannya di bagian belakang pondok. Dengan pesawat radio itu, semua pemancar bisa ditangkap. Tapi anak-anak tidak diizinkannya memegang. "Kalau begitu kami akan datang lagi nanti siang," kata Jack dengan senang. "Anda baik hati, mau meminjamkan perahu pada kami, Bill. Sungguh, Anda baik hati!" "Ah, itu kan biasa," kata Bill Smugs sambil nyengir. Kiki langsung menirukannya. "Itu kan biasa, itu kan biasa, kasihan Kiki, bersihkan kakimu, tak apa, tak apa, itu kan biasa." "O ya, aku teringat lagi sekarang," kata Jack. Ia teringat pada pengalamannya yang aneh malam sebelumnya. "Coba dengar, Bill." Ia lantas bercerita panjang lebar tentang pengalamannya dengan Jo-Jo di alas tebing. Bill Smugs mendengarkan dengan penuh perhatian. "Jadi kau melihat sinar cahaya?" katanya. "Di tengah laut — dan di atas tebing. Sangat menarik! Tak heran, jika kau lantas ingin menyelidikinya lebih jauh. Sedang Jo-Jo rupanya juga ikut tertarik melihatnya. Yah — kalau kau mau mendengar nasihatku, sebaiknya janganlah menghadapi Jo-Jo lagi, kalau tidak benar-benar perlu. Kedengaran dari cerita-cerita kalian, orang itu berbahaya." “Orangnya yang agak sinting, lagi pula benci pada anak-anak! Tapi ia tolol sekali — dan kurasa ia takkan berani sungguh—sungguh mencelakakan kami," kata Philip. "Ia sudah bertahun-tahun bekerja pada kami." "O ya?" kata Bill dengan penuh perhatian. "Ya, ya - kurasa kalian akan repot mencari penggantinya, apabila pada suatu ketika Jo-Jo pergi. Tapi walau begitu, hati-hati sajalah terhadap dia." Setelah itu anak-anak pergi. Philip agak meremehkan kata-kata peringatan Bill, tapi Jack menanggapi dengan bersungguh-sungguh. Ia belum melupakan kengeriannya malam sebelumnya, ketika tertangkap oleh Jo-Jo. "Kurasa Bill benar," pikir Jack sambil bergidik "Jo-Jo kurasa bisa menjadi sangat berbahaya.” Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 16 BERBAGAI PENEMUAN ANEH Selama tiga hari berikutnya anak-anak sibuk berlatih mendayung dan berlayar, sampai akhirnya mereka mahir mengendalikan perahu Bill. Nyaris semahir pemiliknya. Bill senang melihat hasil mereka. "Aku senang melihat anak-anak yang mampu bertahan, juga apabila untuk itu harus bekerja keras," katanya. "Bahkan Kiki pun ikut bertahan duduk di atas tiang layar yang sulit dijadikan tempat bertengger, tapi walau begitu tidak mau membiarkan kalian berlayar sendiri tanpa dia. Menurut pendapatku, Lucy-Ann yang paling tabah, karena ia boleh dibilang selalu mabuk laut." Siangnya anak-anak meyakinkan dulu bahwa Jo-Jo sedang sibuk menimba air di belakang rumah. Kemudian mereka mendatangi perahu laki-laki itu dan memeriksanya dengan cermat. Mereka ingin melihat, apakah sanggup menanganinya sendiri nanti. Mereka memperhatikan perahu itu, yang terangguk-angguk di air. Ukurannya agak lebih besar sedikit daripada perahu Bill. Menurut perasaan mereka, pasti mereka bisa mengendalikannya. "Sayang Kiki tidak bisa mendayung," kata Jack. "Coba bisa, dia bisa kita berikan dayung yang ketiga — dan semua pasti berjalan lancar." "Berjalan lancar," ulang Kiki "Lancar! God save the Queen!" "Goblok," kata Philip dengan nada sayang. La menyenangi burung kakaktua itu, dan Kiki pun cepat menurut padanya. "He, Bintik — aku ingin tahu, kapan Jo-Jo akan ke kota lagi. Aku ingin mencoba perahunya. Kau juga?" "Jelas dong," jawab Jack. "Aku selalu memikirkan burung auk besar yang kulihat waktu itu. Aku belum puas, sebelum bisa melihatnya dari dekat." "Taruhan, kau takkan bisa menemukannya?" kata Philip. "Tapi kocak juga nanti, jika kau kembali sambil menggendongnya. Tapi apakah Kiki tidak cemburu nanti?" Anak-anak bergembira, ketika mendengar Bibi Polly mengatakan bahwa Jo-Jo akan berbelanja lagi keesokan harinya. "Jadi kalau kalian perlu apa-apa, bilang saja padanya," kata Bibi. "Untukku ia sudah membawa daftar yang panjang — kalau kalian ingin membeli sesuatu, tulis saja dalam daftar itu, lalu berikan uangnya pada dia." Anak-anak menuliskan baterai senter. Pada suatu malam Dinah lupa memadamkan senternya, sehingga akhirnya baterainya kosong. Jadi ia memerlukan baterai baru. Sedang Jack memesan satu rol film lagi. Selama itu ia sering memotret burung-burung di sekitar Craggy-Tops. Ia ingin membawa rol yang baru ke Pulau Suram. Keesokan harinya kedua anak itu menunggu-nunggu saat Jo-Jo berangkat. Rasanya orang itu sangat lamban hari itu. Tapi akhirnya ia masuk ke mobil, dan memundurkannya dari pondok reyot tempatnya tinggal. "Kalian jangan nakal, selama aku pergi," katanya sambil menatap anak-anak dengan pandangan curiga. Mungkin ia merasa anak-anak ingin ia lekas-lekas pergi, karena alasan tertentu. "Kami tidak pernah nakal," kata Philip. "Nah — Selamat jalan, jangan buru-buru pulang! Enak juga apabila sekali-sekali kau tidak ada di sini." Jo-Jo cemberut. Dihenyakkannya kakinya yang menginjak pedal gas, dan mobil langsung melesat maju. "Aku heran, mobil setua itu tahan diperlakukan dengan begitu kasar," kata Philip sambil memperhatikan kendaraan itu meluncur di atas tebing, lalu menghilang di belakangnya. "Nah — ia sudah pergi sekarang. Bagaimana, sekarang ada kesempatan bagi kita." Anak-anak bergegas lari ke pantai, ke tempat perahu besar itu ditambatkan. Jack dan Philip cepat-cepat naik, sementara Dinah membuka tali pengikat lalu mendorong perahu itu ke tengah. "Hati-hati," seru Lucy-Ann dengan cemas. Kepingin rasanya ikut naik bersama kedua anak laki—laki itu. "Baik-baik saja nanti!" "Beres!" balas Jack berseru. Kiki menirukannya, "Beres, beres — tutup pintu dan bersihkan kaki!" Dinah dan Lucy-Ann memperhatikan kedua abang mereka mendayung perahu dengan bersemangat, dan kemudian memasang layar ketika sudah agak ke tengah. Saat itu angin sedang baik. Tak lama kemudian perahu itu sudah meluncur dengan laju. "Mereka berangkat ke Pulau Suram," kata Lucy-Ann. "Mudah-mudahan saja Jack berhasil membawa kembali burung auk besar yang diidam-idamkannya." "Kurasa ia takkan menemukannya," kata Dinah. Akal sehatnya mengatakan, kalau Jack berhasil menemukan burung yang dikatakan sudah punah itu, itu berarti suatu keajaiban. "Pokoknya mudah-mudahan mereka bisa menemukan jalan masuk lewat sela beting karang yang berbahaya itu. Tapi kelihatannya mereka sudah cekatan mengendalikan perahu, ya?" "Betul," kata Lucy-Ann mengiakan. Ia memicingkan mata untuk bisa terus mengikuti perahu yang makin lama semakin mengecil kelihatannya. Apalagi saat itu laut terselubung kabut hawa panas. Pulau Suram sama sekali tidak nampak saat itu. Jack dan Philip asyik sekali berperahu. Perahu Jo-Jo, walau ternyata lebih berat dan tidak selincah perahu Bill, tidak begitu menyulitkan mereka. Angin bertiup cukup kencang. Perahu melancar di atas air. Sedap merasakan gerak perahu terayun-ayun, serta mendengar desing angin yang bertiup menyentuh tali-temali yang terpasang kencang. Asyik rasanya melihat ombak yang memburu dilanda lunas. "Tak ada yang bisa menandingi perahu," kata Jack dengan perasaan bahagia. "Pada suatu hari nanti, aku juga akan memiliki perahu." "Perahu kan mahal harganya," kata Philip. "Kalau begitu aku akan mencari uang banyak-banyak," kata Jack,. "Setelah itu kubeli perahu yang bagus, lalu pergi berlayar ke pulau-pulau jauh yang hanya didiami burung-burung saja. Akan senang hidupku nanti!" "Aku kepingin bisa melihat pulau itu," kata Philip. "Kabut panas ini merepotkan! Mudah-mudahan arah kita benar." Sebelum Pulau Suram nampak, sudah terdengar debur ombak memecah di beting karang. Setelah waktu yang dirasakan sangat lama, tahu-tahu pulau ini muncul. Jack dan Philip merasakan percikkan air yang halus menghujani mereka. "Awas - kita menuju langsung ke beting!" seru Philip kaget. "Turunkan layar! Kita harus mendayung sekarang. Dengan angin sekencang ini, kita takkan mampu mengendalikan perahu apabila layar tetap terpasang. Jalannya terlalu laju!" Layar pun diturunkan. Anak—anak mengambil dayung, lalu mulai mendayung. Jack mencari-cari bukit tinggi yang dilihatnya pada peta. Tapi menemukannya jauh lebih sulit, dibandingkan dengan melihatnya di peta. Bukit-bukit di pulau itu kelihatannya sama semua ukurannya. Kedua anak itu berdayung mengelilingi beting, sambil berjaga-jaga jangan sampai terseret arus yang bergerak menuju pulau. "Itu ada bukit yang tinggi — itu, di sebelah kiri," kata Jack tiba-tiba. "Tarik perahu ke arah situ, Jambul! Yak, betul. Kurasa itulah yang kita cari." Mereka berdayung sekuat tenaga. Napas mereka tersengal-sengal. Keringat bercucuran. Ketika bukit yang dituju sudah nampak dengan jelas, kedua anak laki-laki itu bergembira sekali. Sebab saat itu pula mereka melihat ada celah di sela beting karang. Celah itu tidak lebar. Tapi jelas bisa dilewati perahu. "Sekarang hati-hati," kata Philip memperingatkan, "ini agak gawat. Awas! Jangan sampai terdorong dan menyimpang dari arah, lalu membentur beting. Lagi pula walau tidak nampak siapa tahu di celah itu ada batu-batu yang letaknya agak terbenam dalam air. Bisa robek lunas perahu kalau tergeser ke situ. Awas, Bintik! Hati-hati." Jack sangat berhati-hati. Semua tergantung dari bisa atau tidak melewati celah itu dengan selamat. Kedua anak laki-laki itu mendayung dengan hati-hati. Wajah mereka tegang. Kiki diam saja. Ia merasa bahwa Jack dan Philip saat itu sedang cemas. Celah atau lintasan di sela beting itu sempit, tapi panjang. Repot sekali rasanya berdayung melewatinya. Arus bergerak dari berbagai arah, menyentakkan perahu ke arah sini dan ke situ. Sekali Jack dan Philip merasakan lunas perahu tergeser ke batu yang terletak tidak jauh di dalam air. "Wah - nyaris saja," kata Philip dengan suara pelan. "Kaudengar bunyi geseran tadi?" "Aku juga merasakannya," kata Jack. "Nah - kurasa sekarang kita sudah selamat. He, Jambul - kita berada di perairan tenang!" Di balik beting yang mengelilingi terdapat perairan tenang. Air laut di situ biru cerah, berkilauan ditimpa sinar matahari. Aneh rasanya melihat air setenang itu, setelah mengalami gejolak ombak yang memburu di atas beting. Bunyinya masih terdengar di belakang mereka. "Sekarang tidak jauh lagi ke pulau," kata Philip bergairah. "Yuk, kita terus! Aku capek sekali — maksudku lenganku yang pegal - tapi kita harus terus mendayung sampai ke pantai. Aku kepingin menjelajah pulau." Keduanya mencari-cari tempat pendaratan yang baik. Pulau itu sangat berbatu-batu. Tapi di satu tempat ada teluk kecil yang pasirnya putih berkilauan. Jack dan Philip memutuskan untuk mendaratkan perahu di situ. Dengan mudah mereka berhasil sampai di tepi pantai, lalu menarik perahu agak tinggi ke atas — walau untuk itu mereka harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada. Tapi Bill telah mengajari mereka bagaimana harusnya menghela perahu ke atas. Tak lama kemudian mereka sudah bisa mulai menjelajahi pulau. Mereka mendaki tebing berbatu yang terdapat di belakang teluk kecil itu, lalu memandang ke sisi Pulau Suram yang di sebelah situ. Anak-anak tertarik melihat betapa banyaknya burung yang ada di situ. Jumlahnya beribu-ribu, dari berbagai jenis dan ukuran. Suara mereka berisik sekali. Burung—burung itu tidak begitu mengacuhkan kedua anak laki-laki yang berdiri memandang mereka dengan berheran-heran. Tapi burung—burung itu ternyata tidak sejinak sangkaan Jack. Burung-burung yang sedang duduk langsung terbang menjauh, begitu didekati. Kelihatannya mereka seliar teman-teman mereka yang ada di Craggy-Tops. Jack merasa kecewa. "Aneh!" katanya. "Kusangka burung-burung yang hidup di pulau yang tak pernah didatangi orang, selalu jinak-jinak. Begitu keterangan yang kubaca dalam buku. Tapi burung-burung ini liar! Mereka sama sekali tidak bisa didekati." Beberapa pohon yang ada di situ tumbuh di tempat-tempat terlindung. Batangnya condong, karena selalu ditiup angin yang menghembus dengan kencang. Di tanah tumbuh sejenis rumput kasar yang menggerombol di sana-sini. Tapi sebagian besar dari permukaan pulau berupa batu yang tandus. Jack dan Philip pergi menuju ke arah tengah pulau, diiringi teriakan burung yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berjalan ke arah bukit yang menjulang di tengah-tengah. "Aku ingin melihat bangunan-bangunan aneh yang waktu itu kulihat dengan teropong," kata Jack. "Dan aku juga kepingin sekali menemukan burung auk besar. Tapi sampai sekarang aku belum melihat seekor pun. Walau begitu aku akan terus mencari." Kasihan Jack. Ia sangat gelisah, karena berharap akan segera melihat seekor burung auk besar, yang dikatakan sudah punah. Tapi yang dilihatnya cuma segala jenis burung, yang juga ada di Craggy-Tops Benar-benar mengecewakan! Ia tidak mengharapkan akan melihat burung auk besar yang berbaris berbondong-bondong. Kalau bisa melihat seekor saja, ia sudah lebih daripada puas. Akhirnya mereka tiba di kaki perbukitan. Ternyata di sela-selanya ada celah. Tempat itu lebih subur ditumbuhi rerumputan. Di sana sini nampak bunga liar yang kecil-kecil. Sedang di lereng tumbuh beberapa batang pohon yang kerdil. Di sela-sela perbukitan ada sebuah lembah kecil. Sebuah sungai mengalir di situ, menuju ke pantai yang letaknya berseberangan dengan tempat anak-anak mendarat tadi. Jack dan Philip mendatangi sungai itu untuk memperhatikan karena tertarik melihat warnanya yang agak aneh. "Agak merah, seperti tembaga," kata Jack heran. "Aku ingin tahu, apa sebabnya. He — itu dia bangunan-bangunan aneh, yang waktu itu kulihat. Itu - di lereng bukit. Kau perhatikan, Jambul - batu-batu di sini juga lain warnanya. Tidak hitam lagi, tapi kemerah-merahan. Dan ada pula yang kelihatannya seperti batu granit. Aneh, ya?" "Perasaanku kurang enak, di pulau ini," kata Philip sambil bergidik sedikit. "Rasanya sunyi dan aneh — serta seolah-olah ada bahaya yang mengintip." "Rupanya kau terlalu sering mendengar dongengan Jo-Jo," kata Jack sambil tertawa. Padahal ia sendiri juga agak merasa seram di pulau itu. Rasanya tempat itu begitu murung dan sunyi. Yang kedengaran cuma teriakan burung-burung laut yang terbang berputar-putar di atas kepala mereka. Keduanya mendaki lereng bukit sampai satengahnya, karena ingin melihat bangunan yang ada di situ. Sukar untuk bisa mengenali bangunan apa itu dulunya, karena semua sudah begitu tua dan bobrok. Yang tersisa cuma berupa tumpukan batu-batu belaka. Kelihatannya dulu bukan tempat kediaman orang. Ketika mereka sudah sampai ke dekat tempat-tempat itu, tiba-tiba Philip melihat sesuatu yang aneh. Dipanggilnya Jack supaya mendekat. "He! Cepat - ke sini! Di sini ada lubang besar, menjorok ke dalam tanah. Kelihatannya dalam sekali!" Jack lari menghampiri lubang itu, lalu memandang ke bawah. Lubang itu besar, garis tengahnya hampir dua meter. Rupanya lubang itu sangat dalam, karena anak-anak tidak bisa melihat dasarnya. "Ini lubang apa, ya?" kata Philip. "Mungkinkah kalau sumur?" Mereka lantas menjatuhkan sebutir batu ke dalamnya, untuk mendengar bunyi air memercik Tapi mereka tidak mendengar apa-apa. Jadi lubang itu kalau bukan sumur, ya sumur yang begitu dalam sehingga bunyi airnya tidak terdengar di atas. "Aku tak mau jatuh ke dalam lubang ini," kata Philip. "Lihatlah — di sisinya ada tangga. Sudah tua sekali dan patah-patah. Tapi toh tangga!" "Misterius," kata Jack. "Yuk, kita memeriksa tempat di sekitar sini. Siapa tahu, nanti kita menemukan sesuatu yang bisa menolong menjelaskan soal yang rumit ini. Lubang yang menjorok jauh ke dalam tanah, di pulau yang begini sunyi dan terpencil! Untuk apa lubang ini?" Bab 17 JO-JO MARAH Jack dan Philip heran sekali, ketika ternyata masih banyak lagi lubang dalam dan sempit yang dijumpai. Letaknya semua di dekat bangunan-bangunan tua yang sudah ambruk. "Tidak mungkin kesemuanya ini sumur," kata Jack. "Untuk apa sumur sebegini banyak? Ini pasti liang—liang yang sengaja dibuat untuk keperluan tertentu." "Mungkinkah lubang tambang?" tanya Philip. Ia teringat, pada pertambangan batu bara selalu dibuat liang-liang yang dalam. Lubang-lubang itu dilewati para pekerja yang hendak masuk ke dalam tanah untuk menggali batu bara. "Mungkinkah di sini ada tambang-tambang kuno? Misalnya saja tambang batu bara?" "Tidak - bukan batu bara," kata Jack "Kurasa tidak mungkin. Tapi itu perlu diselidiki. Mungkin pamanmu tahu. Wah, asyik apabila ternyata tambang emas! Siapa tahu kan?" "Kalau begitu, mestinya sudah habis ditambang sejak beratus-ratus tahun yang lalu," kata Philip. "Kalau di sini masih ada emas, tentunya tambang ini masih bekerja. He — bagaimana jika kita turun ke bawah sebentar untuk melihat—lihat di situ?" Jack agak sangsi. "Tangga itu rasanya sudah tidak baik lagi," katanya. "Ada kemungkinan kita nanti jatuh! Tamat riwayat kita kalau begitu, karena lubang ini mungkin dalam sekali." "Sayang, sayang!" kata Kiki mengomentari. "Ya, sayang," kata Philip sambil nyengir. "Tapi betul juga, mungkin lebih baik tidak kita coba. He — di sini ada lubang lagi, Jack! Ukurannya lebih besar." Kedua anak laki-laki itu memandang ke dalam lubang yang baru ditemukan itu. Tangga yang juga ada di situ, kelihatannya jauh lebih utuh daripada yang selebihnya. Jack dan Philip menuruni tangga itu sedikit, dengan hati berdebar-debar. Tapi dengan segera mereka naik lagi ke atas. Tidak enak rasanya, berada dalam lubang yang sempit dan gelap itu. Setelah itu mereka menemukan sesuatu lagi, yang lebih mengherankan dibandingkan dengan lubang-lubang itu. Tidak jauh dari situ mereka menjumpai beberapa kaleng daging dan buah yang sudah kosong. Kaleng-kaleng itu ditumpuk-kan di bawah batu yang agak mencuat ke depan pada lereng tebing. Jack dan Philip melongo. Penemuan itu benar-benar tak tersangka. Sedang Kiki terbang ke situ, untuk melihat barangkali masih ada sisa-sisa yang bisa dimakan. "Dari mana lagi datangnya kaleng-kaleng ini?" tanya Jack, setelah mampu bicara lagi. "Benar-benar luar biasa. Ada yang sudah sangat berkarat, tapi yang lain-lain kelihatannya masih agak baru. Siapa yang bisa datang ke pulau ini? Untuk apa - dan di mana tinggalnya?" "Memang misterius," kata Philip. "Yuk, kita periksa dengan seksama mumpung kita masih ada di sini! Siapa tahu, mungkin nanti kita menjumpai orang. Tapi harus hati-hati, karena sudah jelas orang itu tidak ingin ketahuan bahwa ia ada di sini." Kedua anak itu menjelajahi pulau dengan sikap berhati-hati. Tapi tak ada orang atau sesuatu yang mereka temukan, yang bisa menjelaskan teka-teki kaleng—kaleng kosong tadi. Mereka terheran-heran melihat batu-batu merah yang terdapat di sisi pulau yang menghadap ke laut, begitu pula mengenai warna kemerah-merahan air sungai yang mengalir di situ. Di sisi pulau yang menghadap ke laut itu juga banyak terdapat burung-burung. Jack mencari-cari burung auk besar di situ. Tapi ia kecewa, karena di tempat itu pun ia tidak berhasil melihatnya. "Kau tidak membuat foto?" tanya Philip. "Katamu, kau ingin membuat foto-foto di sini. Cepatlah sedikit — karena kita tidak bisa terlalu lama lagi di sini." "Ya — aku hendak membuat beberapa buah," kata Jack. Ia berlindung di balik sebongkah batu besar, untuk membuat foto dari sejumlah burung yang kelihatan masih kecil-kecil. Ketika filmnya tinggal satu, tiba-tiba ia mendapat pikiran lain. "Akan kupotret tumpukan kaleng tadi," katanya. "Dinah dan Lucy-Ann pasti tidak mau percaya jika kita hanya bercerita saja mengenai penemuan aneh itu. Jadi perlu bukti foto." Tumpukan kaleng itu dipotretnya. Kemudian Jack dan Philip kembali ke perahu, setelah memandang ke dalam lubang yang aneh untuk terakhir kalinya. Sesampai di pantai, nampak perahu masih ada di tempat semula, bebas dari jangkauan ombak "Mudah-mudahan pelayaran kita pulang akan sebaik kedatangan kita tadi," kata Jack "Aku ingin tahu, Jo-Jo sementara ini sudah kembali atau belum. Kalau sudah, moga-moga saja Dinah dan Lucy-Ann bisa mengendalikannya." Perahu ditarik ke air, lalu mereka naik ke atasnya. Kedua anak itu berdayung sampai ke lintasan di celah beting, di mana ombak memecah di sisi kiri kanannya. Perahu berhasil dielakkan dari karang terbenam yang tadi menggeser lunas sewaktu mereka masuk. Tapi sesampai di sebelah luar rintangan beting, anak-anak mengalami kesulitan sedikit. Laut di situ sangat berombak. Angin agak berubah arah, dan laut juga lebih bergolak. Dengan segera layar dipasang. Jack dan Philip berlayar pulang. Perasaan mereka menggelora, diiringi angin yang Menampar-nampar muka serta air laut yang memercik. Ketika akhirnya mereka sudah mendekati pantai daratan, mereka melihat Dinah dan Lucy-Ann berdiri menunggu mereka. Jack dan Philip melambai ke arah mereka, dan dibalas oleh kedua anak perempuan itu. Tidak lama kemudian perahu masuk ke tempat penambatan yang biasa. Jack dan Philip turun dari perahu, lalu menambatkannya. "Kau berhasil menemukan burung auk besar?" tanya Lucy-Ann. "Jo-Jo sudah kembali?" tanya Philip. "Lama sekali kalian pergi," kata Dinah. Ia tidak sabar lagi, ingin mendengar kisah pengalaman Jack dan Philip. "Asyik sekali pengalaman kami tadi," kata Philip. "Jo-Jo sudah kembali?" Segala pertanyaan itu diajukan serempak oleh mereka. Tapi yang terpenting — apakah Jo-Jo sudah kembali? "Sudah," kata Dinah, sambil tertawa terkikik "Kira-kira satu jam yang lalu. Kami sudah menunggu-nunggunya. Untungnya, ia langsung masuk ke gudang bawah tanah sambil membawa beberapa peti bawaannya. Kami mengikuti dari belakang. Ia masuk ke ruangan gudang sebelah belakang -yang ada tingkapnya di lantai. Kami teringat di mana kalian menyimpan anak kunci pintu ruangan itu. Anak kunci itu kami ambil, lalu Jo-Jo kami kurung di situ. Wah, ketika ia hendak keluar lagi, ternyata pintu tidak bisa dibuka. Dia ribut menggedor-gedor pintu sejak itu!" "Hebat!" kata Jack dan Philip senang. "Dengan begitu ia takkan tahu bahwa kami berdua pergi dengan perahunya. Tapi sekarang bagaimana caranya mengeluarkan Jo-Jo dari ruangan itu, tanpa ia tahu bahwa kita yang mengurungnya tadi?" "Kalian pikirkan saja salah satu cara yang baik," kata Dinah. Jack dan Philip berjalan pulang, sambil memutar otak. "Kurasa sebaiknya kita menyelinap ke sana lalu membuka pintu pelan-pelan, sementara Jo-Jo sedang beristirahat," kata Philip kemudian. "Kan tak mungkin ia terus-menerus memukul-mukul pintu. Hah — begitu ia berhenti sebentar, dengan hati-hati kumasukkan anak kunci ke lubangnya lalu kuputar. Dengan begitu pintu tak terkunci lagi. Lalu aku cepat—cepat naik ke atas. Nanti kalau Jo-Jo menggedor-gedor lagi, eh — tahu-tahu pintu terbuka. Pasti ia bingung!" "Bagus!" kata kawan—kawannya senang. Memang itu cara yang sangat sederhana untuk membebaskan Jo-Jo kembali, tanpa dia bisa menduga bahwa anak-anak ada hubungannya dengan urusan itu. Philip mengambil anak kunci, lalu menyelinap turun ke gudang. Sesampainya di situ, didengar-nya Jo-Jo menggedor-gedor di balik pintu. Philip menunggu sampai laki-laki itu berhenti sebentar untuk mengatur napas. Begitu saat itu tiba, Philip menyelipkan anak kunci ke dalam lubang. Ia memutar anak kunci seiring dcngan bunyi Jo-Jo terbatuk-batuk. Kemudian diambilnya lagi anak kunci itu dari lubangnya. Pintu sudah tidak terkunci lagi sekarang. Jo-Jo bisa keluar dengan bebas. Philip melesat lari ke tangga yang menuju dapur, mendakinya, lalu menggabungkan diri lagi dengan anak-anak yang lain. "Sebentar lagi Jo-Jo pasti keluar," katanya dengan napas tersengal-sengal karena berlari. "Sekarang kita pergi ke tebing. Begitu Jo-Jo muncul di luar, kita pura-pura baru pulang dari berjalan-jalan. Pasti ia bingung!" Anak-anak berlari ke atas tebing, lalu mengintip dari situ. Mereka menunggu Jo-Jo muncul. Sementara itu Jack dan Philip bercerita tentang penemuan mereka di Pulau Suram. Dinah dan Lucy-Ann mendengarkan dengan takjub. Lubang yang dalam sekali di dalam tanah — sungai yang airnya kemerah-merahan — lalu tumpukan kaleng kosong — aneh! Tak disangka akan ditemukan barang-barang itu di sana. Padahal Jack dan Philip pergi ke pulau itu, untuk melihat burung-burung yang ada di situ. "Kita perlu kembali lagi ke sana, untuk menyelidiki ke mana arah liang-liang itu," kata Jack. "Sekaligus kita selidiki pula, apakah dulu di sana pernah ada pertambangan. Mungkin paman-mu mengetahuinya, Dinah." "Ya, mungkin saja," jawab Dinah. "Wah, kepingin rasanya bisa memperoleh pinjaman peta tua tentang pulau itu, yang diceritakannya waktu itu — tapi kemudian tidak berhasil ditemukan kembali. Mungkin di peta itu tertera berbagai hal menarik!" Tiba-tiba Kiki memekik dengan nyaring, menirukan peluit kereta api. Itu tanda bahwa ia melihat musuhnya, Jo-Jo. Anak-anak melihat orang itu di bawah. Laki-laki itu memandang berkeliling. Rupanya mencari mereka. Keempat anak itu cepat-cepat bangun, lalu berjalan dengan santai menuju ke rumah. Begitu melihat mereka, dengan segera Jo-Jo datang menyongsong. Kelihatannya marah sekali. "Kalian tadi mengurung aku," sergahnya. "Nanti kuadukan pada Nyonya Polly. Kalian ini minta dipukul rupanya!" "Kami mengurung dirimu?" kata Philip. Ia pura-pura tercengang."Mengurungmu di mana? Dalam kamarmu?" "Dalam gudang bawah tanah," bentak Jo-Jo. "Nah — itu Nyonya Polly. Kalian akan kuadukan sekarang. Nyonya, anak—anak ini tadi mengurung aku dalam gudang." "Jangan suka omong kosong," tukas Bibi Polly. "Kau kan tahu sendiri, pintu itu sama sekali tak berkunci. Anak-anak ini baru kembali dari berjalan-jalan. Lihat saja, mereka sedang menuju ke rumah! Bagaimana bisa kaukatakan, mereka mengurungmu? Kau ini rupanya sudah sinting!" "Mereka mengurung aku tadi,"kata Jo-Jo jengkel. Tiba-tiba ia teringat, gudang sebelah dalam itu merupakan tempat rahasia yang hanya dia saja yang tahu. Ia berpendapat lebih baik jangan bicara lebih lanjut mengenainya. Nanti jangan-jangan Bibi Polly pergi ke bawah untuk memeriksa, lalu menemukan pintu yang sudah ditutupinya dengan begitu rapi sehingga tidak kelihatan. "Aku sama sekali tidak mengurungnya, Bibi Polly," kata Philip dengan sikap serius. "Sepagi ini aku selalu jauh dari sini." "Aku juga," sambung Jack. Kedua anak itu tidak berbohong, karena mereka kan saat itu ada di Pulau Suram. Bibi Polly percaya pada keterangan kedua anak laki-laki itu. Dan karena ia tahu bahwa keempat anak itu selalu bersama-sama, maka dianggapnya Dinah dan Lucy-Ann pasti ikut dengan kedua abang mereka. Jadi kan tidak mungkin salah seorang di antaranya yang mengurung Jo-Jo! Lagi pula pintu gudang kan tidak ada kuncinya sama sekali. Jadi apa sebetulnya maksud Jo-Jo, bahwa ia dikurung di situ? Rupanya orang itu sudah benar-benar sinting! "Ayo kerjakan terus tugasmu, Jo-Jo," tukas Bibi. "Kau ini kelihatannya selalu saja mencari-cari kesalahan anak-anak, menuduh mereka berbuat ini dan itu. Jangan ganggu mereka lagi. Mereka anak yang baik." Jo-Jo sama sekali tidak sependapat dengan majikannya. la cemberut sambil mendengus, lalu kembali ke dapur. Dengusannya langsung ditirukan oleh Kiki. Persis sekali bunyinya. "Jangan pedulikan Jo-Jo," kata Bibi Polly. "Kurasa orang itu tidak begitu waras pikirannya. Dan juga sangat pemarah. Tapi sebenarnya tidak berbahaya." Anak-anak melanjutkan langkah ke rumah, sambil saling mengedipkan mata. Enak rasanya, karena Bibi Polly memihak pada mereka. Tapi di pihak lain, Jo-Jo semakin merasa kesal terhadap mereka berempat. Jadi mereka perlu berjaga-jaga. "Aneh," pikir Jack. "Kata Bibi Polly, Jo-Jo sama sekali tidak berbahaya — sedang Bill Smugs mengatakan sebaliknya. Jelas, satu di antara mereka keliru." Bab 18 KEMBALI KE PULAU SURAM Kini, apakah yang harus dilakukan berikutnya? Bagaimana jika petualangan Jack dan Philip di Pulau Suram diceritakan pada Bill Smugs? Akan marahkah teman mereka itu. jika mengetahui bahwa anak-anak mengelakkan janji mereka, tanpa melanggarnya? Sebab, mereka ke pulau itu kan tidak memakai perahunya? Akhirnya anak-anak berpendapat, pasti Bill akan marah sekali. Teman mereka itu sangat menghargai janji. "Tapi kita kan juga," kata Jack. "Aku tak mau melanggar janji — dan memang tak kulakukan. Aku kan cuma mengambil jalan untuk mengelakkannya." "Tapi kau kan tahu, orang dewasa itu kayak apa," kata Dinah. "Jalan pikiran mereka tidak sama dengan kita. Kurasa apabila kita sudah besar nanti — kita juga akan berpikir seperti mereka. Tapi mudah-mudahan saja kita masih bisa ingat bagaimana cara anak-anak berpikir. Dengan begitu kita akan bisa memahami anak-anak, apabila kita sendiri sudah dewasa." "Sekarang saja omonganmu sudah kayak orang dewasa," tukas Philip dengan kesal. "Sudahlah, jangan ngoceh terus.” "Jangan berani-berani mengatai diriku," kata Dinah, yang langsung marah. "Mentang-mentang aku mengatakan yang sebenarnya!" "Tutup mulut" kata Philip. Dinah langsung menamparnya. Philip tidak mau kalah. Ia membalas tamparan itu dengan lebih keras lagi. Dinah menjerit. "Setan!" jerit Dinah. "Kau kan tahu, anak laki-laki tidak boleh memukul anak perempuan!" "Memang, aku tidak boleh memukul anak perempuan yang biasa, kayak Lucy-Ann misal-nya," balas Philip. 'Tapi kau ini, sifatmu terlalu pemarah. Kau kan seharusnya sudah tahu sekarang, kalau kau menampar pasti akan kubalas. Biar tahu rasa sekarang." "Jack, bilang pada Philip bahwa dia jahat," kata Dinah. Jack belum pernah memukul anak perempuan. Tapi walau begitu, ia sependapat bahwa pembalasan itu sudah sepatutnya. "Lain kali jangan suka cepat memukul," kata Jack menasihati. "Kau kan mestinya sudah tahu sendiri sekarang, Philip tidak suka ditampar seenaknya." "Sekarang pergi — tenangkan dulu perasaanmu," kata Philip. Telinganya yang kena tampar tadi nampak merah. Pedas sekali rasanya. Lucy-Ann nampak cemas. Ia paling tidak suka, jika ada kakak beradik bertengkar. "Ayo, pergi sana," kata Philip lagi. Ia merogoh kantong, mengambil sebuah kotak tempat ia memelihara seekor kumbang. Dinah tahu, Philip hendak membuka kotak itu dan meletakkan kumbang ke dekatnya. Sambil berteriak ngeri, Dinah lari dari kamar. Philip mengembalikan kotak itu ke kantongnya, setelah mengeluarkan kumbang besar yang ditaruh di dalamnya. Dibiarkannya kumbang itu berkeliaran di atas meja. Setiap kali Philip mengulurkan jari, kumbang itu langsung datang mendekati. Aneh — kelihatannya binatang apa pun juga, semua senang pada anak itu. "Kau sebetulnya tidak boleh mengurungnya dalam kotak," kata Lucy-Ann. "Pasti binatang itu tidak senang di situ." "Begitu pendapatmu? Kalau begitu, perhatikanlah," kata Philip. Kotak yang tadi diletakkannya kembali ke atas meja, lalu dibukanya. Kumbang yang sudah dimasukkan ke situ dikeluarkan lagi, lalu diletakkan di ujung meja. Sedang kotak ditaruh di tengah meja, dengan tutup terbuka sedikit. Mula-mula kumbang besar itu berkeliaran ke sana dan kemari, memeriksa permukaan meja. Setelah itu menuju ke kotak, masuk ke dalamnya dan tidak mau keluar lagi. "Nah!" kata Philip. Ditutupnya kembali kotak itu, lalu dimasukkannya ke dalam kantong. "Kalau dia tidak senang di situ, pasti takkan mau masuk dengan sukarela. Ya kan?" "Yah — kurasa ia masuk, karena senang bersamamu," kata Lucy-Ann. "Kumbang pada umumnya tidak suka dikurung." "Philip ini sahabat segala makhluk," kata Jack sambil nyengir. "Kurasa ia pasti bisa melatih kutu, lalu mengadakan acara sirkus dengan binatang-binatang itu." "Ih, jangan!" kata Lucy-Ann jijik. "Aku kepingin tahu, ke mana Dinah sekarang. Tidak enak rasanya, jika kalian bertengkar terus Padahal kita tadi kan sedang asyik berunding, apa tindakan kita selanjutnya." Dinah tadi pergi sambil marah-marah. Lengannya yang dipukul Philip terasa pedas. la menyusur gang yang menuju ke kamar kerja pamannya, sambil mereka-reka berbagai pembalasan terhadap abangnya. Tiba-tiba pintu kamar kerja terbuka. Paman Jocelyn menjulurkan kepala ke luar. "Ah — Kau itu, Dinah? Botol tintaku kosong," kata Paman dengan nada kesal. "Kenapa tidak ada yang mengisinya lagi?" "Sebentar, akan kuambilkan tinta," kata Dinah. Ia pergi mengambilnya, dari lemari Bibi. Dibawanya botol tinta yang besar ke kamar kerja paman, lalu mengisi tempat tinta yang sudah kosong. Ketika berpaling hendak pergi lagi, tiba-tiba perhatiannya tertarik pada sebuah peta. Peta itu tergeletak di atas sebuah kursi di dekatnya. Itulah peta tua yang tak berhasil ditemukan Paman waktu itu. Peta besar yang menggambarkan Pulau Suram. Dinah memperhatikannya dengan penuh minat. "Ini dia, Paman — peta yang Paman ceritakan waktu itu," katanya kemudian. "Paman — apakah di pulau itu dulu ada pertambangan?" "He — dari mana kau mendengarnya?" tanya pamannya tercengang. "Itu sejarah kuno! Ya, betul — di pulau itu dulu ada pertambangan, beratus-ratus tahun yang lampau. Tambang tembaga, yang kaya sekali. Tapi tembaga di situ sejak lama habis ditambang. Tidak ada lagi tembaga di sana sekarang." Dinah mengamat-amati peta yang baru ditemukannya itu. Ia gembira sekali, ketika melihat bahwa di situ digambarkan letak liang pertambangan jaman kuno itu. Jack dan Philip pasti akan senang, apabila melihat peta itu! Paman Jocelyn sudah sibuk lagi dengan pekerjaannya. la tidak memperhatikan Dinah lagi. Anak itu mengambil peta, lalu menyelinap ke luar. Philip pasti senang nanti. Dinah sudah melupakan kemarahannya tadi. Itulah baiknya sifat Dinah. Ia bukan anak yang pendendam. Kalau marah, cepat baik kembali. Ia berlari-lari menyusur gang, menuju kamar tempat ketiga anak lainnya masih berada. Sesampai di situ ia membuka pintu dengan cepat, lalu langsung masuk. Anak-anak tercengang memandang Dinah yang tersenyum gembira. Lucy-Ann masih belum membiasakan diri pada perangai Dinah yang cepat berubah itu. Bahkan Philip pun menatap dengan sangsi, tanpa senyum. Baru saat itu Dinah teringat lagi pada pertengkarannya tadi. "Ah, betul," katanya, "maaf aku tadi menamparmu, Philip. Lihatlah — aku menemukan peta tua yang menggambarkan Pulau Suram. Nah, apa kata kalian sekarang?! Paman Jocelyn tadi juga bercerita, katanya dulu pernah ada pertambangan di situ. Tambang tembaga yang sangat kaya. Tapi kini tembaganya sudah habis digali. Jadi lubang-lubang yang kalian lihat di sana itu liang-liang tambang." "Astaga!" kata Philip. Diambilnya peta dari tangan Dinah, lalu dibentangkannya. "Hebat sekali peta ini! Kau benar-benar cerdik, Dinah!" Tampang Dinah berseri-seri, karena dipeluk abangnya. Ia sering bertengkar dengan Philip. Tapi ia juga senang, apabila abangnya itu memujinya. Keempat anak itu mengamat-amati peta dengan tekun. "Ini dia celah di sela beting — nampak jelas sekali," kata Dinah. Philip dan Jack mengangguk. "Rupanya sudah sedari dulu ada," kata Jack. "Kurasa itu satu-satunya jalan bagi para pengusaha tambang jaman dulu untuk datang dan pergi dari pulau itu. Bayangkan, perahu mereka mondar-mandir di situ — mengantarkan makanan, lalu kembali dengan tembaga! Aku kepingin masuk ke dalam salah satu liang itu, untuk melihat kayak apa tambang jaman dulu." "Lihatlah! Liang-liang ini, semuanya diberi tanda khusus," kata Philip sambil menuding. "Dan kaleng-kaleng itu kita temukan dekat liang yang ini, Bintik. Lihatlah! — Nah, ini sungai yang kita lihat tadi. Sekarang aku tahu, apa sebab airnya kemerah-merahan. Rupanya karena endapan tembaga yang masih ada dalam bukit." "Mungkin di sana masih ada tembaga," kata Dinah dengan bergairah. "Bijih timah! Wah — aku kepingin menemukannya." "Tembaga ditemukan dalam bentuk urat-urat di tengah batu," kata Philip, "tapi kurasa ada juga yang berbentuk bijih. Mungkin tembaga begitu sangat berharga. He — bagaimana jika kita iseng-iseng pergi lagi ke sana, lalu masuk ke dalam tambang sebentar untuk mencari tembaga? Siapa tahu, masih ada bijih tembaga di sana!" "Kurasa tidak ada lagi,". kata Jack. "Tambang takkan ditinggalkan selama masih ada hasilnya. Sedang tambang di pulau itu sudah sejak berabad-abad tidak dikerjakan lagi." "He! Ada sesuatu yang ditempelkan di balik peta ini," kata Lucy-Ann dengan tiba—tiba. Peta di balik dengan cepat. Ternyata di belakangnya ditempelkan sebuah peta lain, yang ukurannya lebih kecil. Peta itu dilicinkan, lalu dipelajari. Mula-mula anak-anak tidak mengerti, peta apa itu. Tapi kemudian Philip berseru girang. "Tentu saja! Ini peta bawah tanah pulau itu —peta liang tambang. Lihatlah — ini kan lorong-lorong serta serambi, dan ini saluran untuk mengalirkan air ke luar. Wah — ternyata tambang itu sebagian letaknya lebih rendah dari permukaan laut." Anak-anak asyik memperhatikan peta yang menunjukkan lorong-lorong bersimpang siur, di bawah permukaan Pulau Suram. Rupanya bagian yang ditambang luas sekali. Sebagian bahkan terletak di bawah dasar laut. "Bagian ini letaknya di bawah dasar laut," kata Jack sambil menuding. "Aneh rasanya bekerja di situ, karena kan tahu bahwa laut menggelora di atas langit-langit batu yang menaungi!" "Aku pasti takkan merasa senang di situ," kata Lucy-Ann. Ia bergidik sedikit, karena merasa seram. "Aku pasti takut, nanti tahu-tahu batu yang di atas kepala pecah, dan air laut membanjir masuk ke dalam lorong!" "Kita harus kembali ke pulau itu lagi," kata Philip bersemangat. "Kalian mau tahu pendapatku? Kurasa ada orang bekerja dalam tambang itu sekarang." "Kenapa kau berpikir begitu?" tanya Dinah. "Karena kaleng-kaleng kosong itu,"jawab Philip. "Di sana ada orang yang memakan bekal berupa makanan kaleng. Tapi walau sudah kita cari ke mana-mana, orang itu tidak berhasil kita jumpai. Jadi mestinya orang, atau orang-orang itu sedang bekerja, dalam tambang. Pasti itulah keterangan misteri. "Yuk, besok kita datang ke tempat Bill lalu menceritakan soal ini padanya," kata Dinah bersemangat. "Peta ini kita bawa juga, untuk ditunjukkan padanya. Pasti ia akan mengatakan, apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Aku tidak begitu kepingin menjelajahi lorong-lorong tam-bang itu, apabila cuma kita sendiri berempat. Lebih enak apabila Bill ikut" "Tidak," bantah Jack, “jangan ceritakan pada Bill." Anak-anak yang lain memandangnya dengan heran. "Kenapa jangan?" tanya Dinah. "Yah — soalnya tiba-tiba ada sesuatu yang terpikir olehku," kata Jack. "Kurasa orang — atau orang-orang yang ada di situ sebetulnya teman-teman Bill. Mereka di situ untuk menggali dalam tambang. Dan Bill datang ke sini supaya ada di dekat mereka. Mungkin untuk mengantar makanan ke sana. Pokoknya semacam itulah! Pasti untuk itu ia memakai perahu. Dan kurasa perbuatannya itu harus dirahasiakan. Jadi — kurasa ia takkan senang apabila kita mengetahui rahasianya itu. Dan kita takkan diizinkannya lagi pesiar dengan perahunya." “Jack — kau ini mengada-ada! Bill ke sini kan karena ingin berlibur. Dia kan datang untuk mengamat-amati kehidupan burung di sini," kata Philip. "Kenyataannya, ia tidak sering melakukannya," balas Jack. "Begitu pula jarang bercerita mengenainya, walau ia selalu mendengarkan apabila aku yang bercerita dengan asyik tentang burung-burung yang ada di sini. Aku kalau diberi kesempatan, dengan senang mau bercerita tentang burung. Tapi ia tidak! Kecuali itu, kita sebenarnya tidak tahu menahu, apa pekerjaannya. Ia tidak pernah bercerita tentang hal itu. Aku berani taruhan apa saja, ia beserta kawan-kawannya saat ini sedang mulai mengusahakan lagi tambang tembaga yang ada di Pulau Suram. Aku tidak tahu siapa pemilik tambang itu- kalau memang masih ada pemiliknya. Tapi kurasa apabila ada dugaan bahwa di sana masih ada tembaga, maka penemunya tentu akan merahasiakan hal itu karena ingin menambangnya sendiri." Jack diam setelah itu. Ia kehabisan napas. Sementara itu Kiki menggumamkan beberapa patah kata yang baru didengarnya. "Tembaga — tembaga —— bijih tembaga." "Kiki ini memang kakaktua yang pintar," kata Lucy-Ann. Tapi anak-anak yang lain tak mengacuhkan burung itu. Persoalan yang sedang dibicarakan penting sekali, jadi perhatian mereka tidak bisa terpikat oleh ocehan seekor kakaktua. "Kita tanyakan saja secara langsung pada Bill Smugs," kata Dinah, yang selalu ingin serba terus terang. Ia paling tidak suka pada teka-teki yang tidak bisa dipecahkan. "Jangan begitu tolol," tukas Philip. "Jack kan sudah mengatakan padamu, apa sebabnya lebih baik jangan memberi tahu pada Bill bahwa kita mengetahui rahasianya. Mungkin kapan-kapan ia akan menceritakannya sendiri pada kita. Saat itu ia pasti heran, apabila tahu bahwa kita sudah lama menebaknya!" "Dalam waktu dekat kita ke sana lagi, dengan perahu Jo-Jo," kata Jack. "Kita masuk ke dalam liang yang besar, lalu melihat—lihat sebentar di bawah. Dengan segera akan kita ketahui, apabila ternyata memang ada orang tinggal di situ. Peta ini kita bawa, supaya jangan tersesat di sana." Asyik rasanya memperbincangkan segala hal itu. Kapankah mereka akan berangkat lagi ke Pulau Suram? Dan bagaimana sebaiknya — anak-anak perempuan diajak atau tidak? kurasa nanti kita pasti sudah lebih pandai mengemudikan perahu," kata Philip. "Waktu pertama kalinya sebenarnya juga tidak terlalu berbahaya, setelah kita berhasil menemukan lintasan di sela beting karang. Aku merasa yakin, kita akan bisa dengan mudah masuk ke perairan tenang, apabila kita ke sana lagi lain kali. Jadi tak ada salahnya jika anak-anak perempuan diajak." Dinah dan juga Lucy-Ann bergembira mendengarnya. Mereka kepingin langsung saja berangkat. Tapi Jo-Jo tak pernah agak lama pergi meninggalkan Craggy-Tops, sehingga anak-anak tidak mendapat kesempatan untuk memakai perahunya dengan diam-diam. Tapi dia sendiri, ada dua atau tiga kali pergi ke laut dengannya. "Kau mau memancing?" tanya Philip. "Kenapa kami tidak pernah .diajak?" "Aku tidak mau repot, dengan anak-anak kayak kalian," kata Jo-Jo dengan sikapnya yang masam seperti biasa, lalu berangkat seorang diri. Ia berlayar jauh sekali ke tengah, sehingga perahunya tak nampak lagi di balik kabut hawa panas yang kelihatannya selalu ada di sebelah barat. "Mungkin saja dia pergi ke Pulau Suram." Kata Jack. "Yang jelas, ia tidak kelihatan lagi sekarang. Mudah-mudahan banyak ikan yang dibawanya untuk dimakan malam ini." Ternyata banyak ikan yang berhasil ditangkap laki-laki itu. Sore-sore perahunya muncul lagi.Begitu sampai di pantai, anak-anak membantunya mengangkut ikan-ikan itu. "Sebetulnya kau juga bisa mengajak kami, orang jahat," kata Dinah. "Kan kami bisa membantu mengulurkan tali pancing." Keesokan harinya Jo-Jo .pergi lagi ke kota. Anak-anak senang ketika mengetahuinya. "Hari ini ia cuti," kata Bibi Polly, "jadi kalian harus membantu menyelesaikan beberapa tugasnya. Jack dan Philip, kalian menimba air." Kedua anak itu dengan segera pergi ke sumur. Ember yang berat mereka ulur ke bawah, sampai menyentuh air. Jack berdiri di pinggir sumur, memandang ke bawah. "Kelihatannya persis liang tambang yang di pulau," katanya. "Yak — sekarang gulung tali lagi, Jambul!" Anak-anak bergegas menyelesaikan semua tugas yang disuruh kerjakan oleh Bibi Polly. Kemudian, sesudah memeriksa apakah mobil betul-betul sudah tidak ada dalam garasi lagi, mereka lantas minta izin pada Bibi Polly untuk berpiknik. Bibi mengizinkan, dan memberi bekal makanan. Begitu persiapan selesai, mereka pun cepat-cepat lari ke perahu Jo-Jo. Perahu diturunkan ke air, lalu Jack dan Philip mendayungnya sampai ke perairan lepas. Di situ layar dipasang. "Kita berangkat ke Pulau Suram," seru Dinah dengan gembira. "Wah, senang hatiku karena bisa ikut kali ini, Jack. Tidak enak rasanya jika ditinggal." "Kau membawa senter?" tanya Philip pada Lucy-Ann. Anak itu mengangguk "Ya," jawabnya; "Kutaruh bersama bekal kita." "Kita akan memerlukannya nanti, dalam lorong tambang," kata Philip. Ia bergairah sekali. Mereka akan mengalami petualangan yang mengasyikkan. Masuk ke dalam tambang yang sudah tua sekali, di mana mungkin ada beberapa orang yang secara diam-diam menambang tembaga. Philip bergidik, saking bergairah. Perahu meluncur dengan lancar, dikemudikan dengan ahli oleh keempat anak itu. Rasanya cepat sekali — tahu-tahu pulau tujuan sudah muncul dari balik kabut. "Dengar bunyi ombak memecah itu?" tanya Jack. Dinah dan Lucy-Ann mengangguk. Mereka tahu, sekarang pelayaran sampai ke bagian yang berbahaya. Keduanya berharap bahwa Jack dan Philip bisa menemukan jalan masuk semudah pertama kali mereka ke situ, lalu mengarahkan perahu dengan selamat ke perairan tenang di sebelah dalam. "Itu dia — Bukit yang tinggi," kata Jack setelah beberapa saat, "Dinah, Lucy-Ann, turunkan layar. Ya, begitu — tenang, tenang. Jaga tali itu, Lucy-Ann. Bukan, bukan yang itu — ya, betul." Layar sudah diturunkan. Kini Jack dan Philip mendayung lagi. Mereka berhati-hati sekali, mengarahkan haluan perahu ke celah yang terdapat di sela beting. Kini mereka sudah tahu betul tempatnya. Mereka masuk ke celah itu, sambil berjaga-jaga untuk mengelakkan karang yang agak terendam dalam air. Lucy-Ann kelihatan ketakutan, ketika lunas tergeser sedikit ke karang itu. Tapi dengan segera perahu sudah sampai di perairan yang tenang. Lucy-Ann menghembuskan napas lega. Mukanya pucat pasi, karena takut dan juga karena mabuk laut. Tapi kesenangannya pulih dengan cepat, begitu melihat pulau sudah dekat. Perahu sampai di pantai dengan selamat, lalu ditarik ke tempat yang agak tinggi. "Sekarang kita pergi ke bukit," kata Jack. "Bukan main, lihatlah burung yang beribu-ribu itu! Belum pernah aku melihat burung sebanyak di tempat ini. Coba aku bisa menemukan burung auk besar di sini!" "Mungkin aku nanti bisa menemukannya untukmu," kata Lucy-Ann sepenuh hati. "Mana sungai yang airnya kemerah-merahan, Philip? Lalu tumpukan kaleng itu? Di dekat sinikah tempatnya?" "Sebentar lagi akan kaulihat," kata Philip, sambil berjalan mendului. "Kita harus melewati celah sempit itu dulu, masuk ke daerah bukit." 'Tidak lama kemudian mereka melihat sungai yang warnanya merah tembaga, mengalir dalam lembah di tengah bukit. Jack berhenti sebentar, untuk mengenali tempat itu kembali. "Nanti dulu," katanya. "Di mana lagi letak liang yang lebar itu?" Sementara itu Dinah dan Lucy-Ann sudah berteriak-teriak, karena menemukan lubang-lubang lainnya, serta bangunan-bangunan yang sudah runtuh di sisi lubang-lubang itu. "Mestinya di sini ada semacam bangunan tempat masuk ke tambang," kata Jack. "Nah — sekarang di mana tumpukan kaleng itu? Mestinya di dekat-dekat sini. Ah — itu dia liang yang besar!" Anak—anak bergegas menghampiri liang yang lebar, lalu memandang ke dalamnya. Nampak jelas bahwa tangga yang terpasang di sisinya masih cukup baik keadaannya. "Inilah liang yang dipergunakan orang-orang itu," kata Philip. "Cuma tangga ini saja yang masih aman." "Jangan bicara terlalu keras," kata Jack setengah berbisik. "Mungkin terdengar nanti di dalam lubang." "Mana kaleng-kaleng yang kalian ceritakan waktu itu?" tanya Lucy-Ann. "Di sebelah sana — dekat batu itu," kata Philip sambil menuding. "Ke sanalah sendiri, kalau kepingin melihatnya." Sambil berkata begitu disorotkannya senter ke dalam liang. Tapi tak banyak yang kelihatan. Nampaknya menyeramkan. Seperti apakah keadaannya di bawah? Betulkah ada orang-orang di sana? Mereka tak boleh sampai ketahuan oleh orang-orang itu. Orang-orang dewasa selalu marah, apabila ada anak—anak yang ikut-ikut dalam persoalan yang bukan urusan mereka. "Jack, aku tidak bisa menemukan kaleng-kaleng itu," kata Lucy-Ann. Philip mendengus dengan sikap tidak sabar. Anak-anak perempuan memang konyol, pikirnya. Selalu tidak bisa menemukan apa saja. Ia datang menghampiri, untuk menunjukkan tumpukan kaleng itu. Tiba—tiba ia tertegun. Di bawah batu yang agak mencuat ke depan — tidak ada apa—apa! Kaleng-kaleng itu sudah tidak ada lagi di situ. "Lihatlah, Jack," kata Philip. Ia lupa untuk berbicara dengan suara pelan. "Kaleng-kaleng itu — semuanya sudah tidak ada lagi! Siapa yang mengambilnya? Tapi — dengan begini ternyata bahwa memang ada orang di pulau ini, yang waktu kita pertama kali datang juga sudah ada di sini. Wah — ini benar-benar menegangkan!" Bab 19 DALAM TAMBANG TEMBAGA Lucy-Ann memandang berkeliling dengan cemas. Sikapnya seolah-olah menyangka mungkin ada orang bersembunyi di balik batu. "Tidak enak rasanya membayangkan mungkin di sini ada orang yang sama sekali tidak kita kenal siapa dia, atau. mereka," katanya. "Jangan suka begitu," kata Jack. "Mereka kan ada di dalam tambang. Bagaimana — kita masuk atau tidak ke dalam liang ini, untuk melihat apa yang ada di bawah?" Dinah dan Lucy-Ann sebetulnya tidak mau. Tapi bagi Lucy-Ann lebih tidak enak lagi tinggal sendiri di atas bersama Dinah. Karenanya ia memilih lebih baik ikut. Sedang Dinah tidak mau ditinggal seorang diri. Karenanya ia juga ikut. Philip membentangkan peta lorong-lorong tambang di tanah. Lalu keempat anak itu berlutut, mempelajari peta itu. "Lihatlah — liang ini menurun, sampai ke pusat jaringan lorong dan serambi di bawah tanah," kata Philip. "Apakah kita nanti sebaiknya mengambil lorong ini saja? Kelihatannya merupakan semacam jalan utama, menuju ke liang—liang penggalian di bawah dasar laut" "Aduh, jangan — kita jangan ke sana," kata Lucy-Ann, ketakutan. Tapi anak-anak yang lain memilih jalan itu. Jadi mereka akan pergi ke sana. "Kau, Kiki — jika mau ikut,.kau tidak boleh berisik," kata Jack memperingatkan burung kakaktua itu. "Karena kalau kau ribut sewaktu kita sedang di dekat para pekerja di bawah, mereka akan mendengar suaramu sehingga kita ketahuan. Mengerti?" "Ciluk ba," kata Kiki dengan gaya serius. Ia menggaruk-garuk jambulnya. "Dasar burung konyol," kata Jack "Tapi ingat kataku tadi, jangan berteriak atau menjerit nanti ya?" Setelah itu mereka menghampiri mulut liang, lalu memandang ke bawah. Petualangan memang mengasyikkan, tapi kali ini tahu-tahu terasa agak menyeramkan. "Yuk," kata Philip, lalu mulai menuruni tangga. “Kurasa takkan terjadi apa-apa dengan kita, juga apabila ketahuan. Bagaimana pun kita mula-mula datang ke pulau ini kan karena hendak mencari burung auk besar untuk si Bintik. Jadi apabila sampai ketahuan nanti, kita kan bisa mengatakan akan tutup mulut. Jika orang—orang itu teman-teman Bill Smugs, mestinya mereka orang baik-baik. Bisa kita katakan pada mereka bahwa Bill teman kita.” Anak-anak menuruni liang tambang yang sangat dalam. Baru sampai setengah jalan, mereka sudah mulai menyesal. Tak dikira semula bahwa liang itu begitu dalam. Rasanya sepeti turun ke perut bumi. Turun terus dalam gelap, yang hanya sekali-sekali saja diterangi cahaya empat buah senter. "Kalian tidak apa-apa?" tanya Philip pada Dinah dan Lucy-Ann. Ia agak cemas memikirkan kedua anak perempuan itu. "Kurasa kita sudah hampir sampai di dasar." "Lenganku pegal sekali," kata Lucy-Ann. Kasihan anak itu.—Ia tidak sekuat ketiga anak yang lebih besar dari dirinya. Kalau mengenai keberanian dan kekuatan, Dinah setanding dengan anak laki-laki. "Kalau begitu berhenti saja dulu," kata Jack. "Istirahatlah sebentar. Aduh, berat sekali rasanya Kiki di pundakku. Kurasa sebabnya lenganku juga sudah mulai pegal karena terus-terusan memegang anak tangga sedari tadi." Anak-anak beristirahat sebentar. Setelah itu turun lagi. Beberapa saat kemudian Philip berseru pelan. "He! Aku sudah sampai di dasar." Dengan perasaan lega anak-anak menyusul. Lucy-Ann langsung terduduk di tanah. Sekarang bukan cuma lengan, tapi lututnya juga sudah terasa pegal. Philip menyinarkan senternya berkeliling tempat itu. Ternyata mereka berada dalam sebuah lorong yang agak lebar. Dinding dan langit-langitnya batu semua, nampak berkilau kemerah-merahan seperti tembaga kena sinar senter. Dari lorong besar itu terdapat sejumlah cabang berupa serambi serta lorong—lorong yang lebih kecil. “Kita lakukan rencana kita tadi," kata Philip. "Kita terus berjalan dalam lorong utama ini." Jack menyorotkan senternya ke dalam sebuah lorong yang lebih kecil. "Lihatlah," katanya. "Sebagian langit-langit di lorong itu runtuh. Kalaupun kita mau, kita tidak bisa masuk ke situ." "Wah — mudah-mudahan saja langit-langit lorong ini tidak ambruk sementara kita masih ada di sini," kata Lucy-Ann, sambil mendongak dengan pandangan takut. Di beberapa tempat langit-langit lorong itu ditopang dengan batang kayu yang besar-besar. Tapi sebagian besar terdiri dari batu cadas yang keras. "Yuk— kita cukup aman di sini," kata Jack tidak sabaran. "Wah, asyik rasanya, berada jauh di bawah tanah, menyusur lorong tambang tembaga yang sudah sangat tua!" "Aneh — udara di sini ternyata cukup segar," kata Dinah. Ia teringat pada bau pengap dalam lorong tersembunyi yang menuju ke Craggy-Tops. "Rupanya dalam tambang ini ada saluran udara yang baik kerjanya," kata Philip. Ia mencoba mengingat-ingat cara kerja saluran udara dalam tambang batu bara. "Itu yang paling dulu dipikirkan, apabila hendak dimulai membuka pertambangan di bawah tanah. Harus diusahakan agar selalu ada udara segar mengalir ke bawah. Begitu pula terusan-terusan untuk membuang air yang mungkin terkumpul lalu membanjiri liang di bawah tanah." ”Aku pasti tidak mau, kalau disuruh bekerja dalam tambang," kata Lucy-Ann. Ia bergidik, karena seram. sudah di bawah laut sekarang, Philip?" "Belum," jawab Philip. "Kurasa sekarang baru setengah jalan. He — di sini ada bagian yang banyak digali rupanya. Kelihatannya seperti gua yang lapang!" Katanya memang benar. Lorong itu melebar, membentuk semacam gua yang sangat lapang. Di situ nampak tanda-tanda penggalian. Sambil berseru gembira Jack lari ke suatu pojok, lalu memungut sebuah benda. Kelihatannya seperti ujung palu, terbuat dari perunggu. "Lihat!" katanya dengan bangga pada anak-anak yang lain. "Mestinya ini patahan dari alat yang dipakai pekerja tambang jaman dulu, karena terbuat dari perunggu. Perunggu itu logam campuran tembaga dan timah putih. Wah! Teman-temanku di sekolah pasti iri kalau melihat benda yang kutemukan ini!" Setelah itu yang lain-lain ikut mencari dengan rajin. Beberapa saat kemudian Lucy-Ann menemukan sesuatu, yang sangat menarik perhatian. Bukan alat jaman kuno yang terbuat dari perunggu, tapi sepotong pensil pendek berwarna kuning. "Kau tahu milik siapa pensil ini?" kata Lucy-Ann, sementara matanya yang hijau bersinar-sinar kena cahaya senter, seperti mata kucing. "Bill Smugs! Aku pernah melihatnya menulis dengan pensil ini." "Kalau begitu tentunya pensil ini terjatuh, ketika ia datang ke sini," kata Philip. "Wah — kalau begitu sangkaan kita ternyata tepat! la tinggal di pesisir dengan perahu serta mobilnya, karena teman-temannya sedang menggali dalam tambang ini, dan ia bertugas mengantarkan perbekalan untuk mereka. Pintar sekali dia — tak pernah ia bercerita mengenainya pada kita." "Yah, kan memang tidak perlu memceritakan segala-galanya pada setiap anak yang dijumpai," kata Dinah. "Pasti ia akan tercengang, apabila tahu bahwa rahasianya kita ketahui! Mungkin saat ini ia juga ada di sini!" "Mana mungkin, goblok!" kata Philip dengan segera. "Perahunya tadi kan tak ada di pantai! Dan untuk datang ke sini, harus naik perahu. Jalan lain tidak ada." "O ya, aku lupa," kata Dinah. "Pokoknya —sekarang aku tidak takut lagi kalau ketemu orang-orang yang ada di sini, karena tahu mereka itu kawan-kawan Bill. Walau begitu, sedapat mungkin kita jangan sampai ketahuan. Mungkin orang-orang itu berpendapat anak-anak kayak kita tidak bisa dipercaya, dan karenanya akan marah-marah kalau melihat kita di sini." Anak-anak memeriksa gua itu dengan cermat. Langit—langitnya ditopang dengan balok-balok kayu yang sudah tua. Beberapa di antaranya sudah patah, sehingga langit-langit di bagian itu nampak melesak ke bawah. Sebuah tangga batu yang ditatah secara kasar menuju ke gua lain di sebelah atas. Tapi gua itu sudah runtuh langit-langitnya. Jadi anak-anak tidak bisa masuk ke situ. "Kalian mau tahu, pikiran apa yang baru saja melintas dalam ingatanmu?" kata Jack dengan tiba-tiba. la menoleh ke arah anak-anak yang berada di belakangnya. "Kurasa cahaya yang kulihat memancar dari arah laut beberapa malam yang lalu sama sekali tidak berasal dari sebuah kapal, tapi dari pulau ini. Para pekerja di sini memberi isyarat untuk mengatakan bahwa makanan sudah habis. Sedang cahaya yang datang dari atas tebing berasal dari Bill, yang mengisyaratkan bahwa ia akan datang membawa perbekalan lagi.” "Ya — tapi sinar itu datangnya kan dari tebing di tempat kita, bukan tempat Bill," bantah Philip. "Betul — kau juga tahu kan, isyarat cahaya yang datang dari sisi darat pulau ini hanya bisa kelihatan dari atas tebing paling tinggi di darat," kata Jack. "Jika seseorang berdiri di atas bukit di tengah pulau ini lalu menyalakan api unggun atau melambai-lambaikan lampu yang terang sinarnya, isyarat itu hanya bisa kelihatan dari tebing tempat kita. Dari tempat Bill tidak kelihatan. Jadi mestinya malam itu Bill datang ke tebing kita, lalu membalas isyarat.” "Kurasa kau benar," kata Philip. "Mestinya malam itu Bill yang berkeliaran di atas tebing dibelakang Craggy-Tops — dan kau melihat sinar isyaratnya. Jo-Jo juga melihat sinar itu. Pantas Jo-Jo selalu mengoceh, katanya ada 'macam-macam' yang berkeliaran malam hari, dan takut padanya. Rupanya ia sering mendengar Bill berkeliaran serta melihat sinar isyaratnya, tanpa tahu apa sebetulnya yang didengar dan dilihatnya itu." "Kurasa kemudian Bill bergegas berangkat ke sini dengan perahunya, dengan membawa bekal makanan lagi," kata Jack. "Sedang kaleng-kaleng bekas dibawanya pergi lagi. Itulah sebabnya kaleng-kaleng itu tidak ada lagi di atas! Ternyata ia sangat pandai bersiasat! Ia menyimpan rahasia — dan cuma kita saja orang lain yang mengetahuinya." “Menurut perasaanku, lebih baik kita katakan pada dia bahwa kita tahu;" kata Lucy-Ann. "Kenapa tidak?! Kurasa ia lebih senang apabila tahu bahwa kita mengetahuinya." "Yah — kita bisa saja menyinggung-nyinggung beberapa hal, sampai ia menduga sendiri bahwa kita tahu," kata Philip. "Lalu setelah itu mungkin ia akan berkata terus terang. Lalu kita mengobrol mengenai tambang-tambang ini. Mungkin Bill nanti akan menceritakan macam—macam hal yang menarik." "O ya — begitu saja sebaiknya," kata Jack. "Yuk, kita teruskan penjelajahan kita. Aku merasa seperti mengenal baik gua ini." Setelah berjalan agak lama, lorong yang mereka lalui tahu-tahu menikung tajam ke kiri. Jantung Philip berdebar keras. Ia tahu dari peta bahwa apabila lorong utama menikung ke kiri, itu artinya mereka memasuki bagian yang terletak di bawah dasar laut. Menegangkan juga rasanya, berjalan di bawah laut dalam. "Apa bunyi aneh itu?" tanya Dinah. Anak-anak memasang telinga. Di kejauhan terdengar bunyi berdentam-dentam, tidak hentinya. "Mungkin mesin-mesin yang dipakai para pekerja di sini," kata Philip. Tapi segera kemudian ia tahu, bunyi apa itu. "Bukan — itu bunyi laut, di atas kepala kita! Ya — bunyi laut!" Kata-katanya memang benar. Anak-anak mendengarkan bunyi berat di kejauhan itu. Dentaman yang tidak kenal henti. Itulah laut yang bergerak terus di atas dasar batu. "Aneh rasanya, berada di bawah dasar laut," kata Lucy-Ann agak seram. Anak itu bergidik. Tempat itu begitu gelap, dan bunyi yang terdengar aneh sekali. "Panas sekali ya, hawa di sini," katanya. Anak—anak yang lain sependapat dengan dia. Hawa memang panas dalam lorong tambang tembaga yang sudah tua itu. Anak-anak meneruskan langkah, menyusur lorong. Mereka tetap di lorong utama. Serambi-serambi cabang yang banyak jumlahnya, tidak mereka masuki. Serambi-serambi itu mungkin menuju ke tempat-tempat penggalian lainnya dalam tambang yang luas itu. "Jika kita tidak tetap berada dalam lorong utama ini, nanti bisa tersesat," kata Philip. Napas Lucy-Ann tersentak. Sama sekali tak terpikir olehnya sebelum itu, bahwa mereka bisa saja tersesat, Ia merasa ngeri, membayangkan ke-mungkinan berkeliaran sampai bermil-mil dalam lorong-lorong tambang, tanpa berhasil menemukan liang yang menuju ke atas tanah! Kemudian mereka tiba di suatu tempat. Dan tahu-tahu mereka melihat cahaya terang-benderang di depan. Ketika anak—anak mendekati suatu tikungan, nampak cahaya remang-remang di situ. Lalu ketika tikungan itu dimasuki, mereka tiba di sebuah gua yang terang benderang. Anak-anak berhenti berjalan, karena kaget, Saat itu mereka mendengar bunyi yang aneh. Bukan dentuman laut, tapi seperti batu-batu berguguran. Mereka tidak tahu, bunyi apa itu sebenarnya. Lalu terdengar bunyi dentaman, disusul bunyi yang tadi lagi. “Ah, aku tahu sekarang! Kita sudah sampai di tempat orang-orang itu bekerja!" bisik Jack bersemangat, "Cepat, mundur sedikit! Kita boleh melihat mereka — tapi jangan sampai ketahuan!" Bab 20 TERTAWAN Anak-anak merapatkan tubuh ke dinding lorong, sambil berusaha memandang ke depan. Mata mereka terkejap-kejap karena silau. Di depan mereka nampak kotak-kotak serta peti-peti. Tapi cuma itu saja. Dalam gua tidak kelihatan ada orang. Tapi anak-anak tahu, tak jauh dan situ ada yang sedang bekerja, menimbulkan bunyi berdentum dan gemeretak. "Yuk, kita kembali saja," keluh Lucy-Ann ketakutan. "Nanti dulu. He, lihatlah — di situ ada lorong samping," bisik Philip. Ia menyorotkan senternya ke sebuah lubang gelap, yang ada di dekat mereka. “Kita menyelinap masuk ke situ. Barangkali saja akan menjumpai pekerja yang ada di dekat-dekat sana." Anak—anak menyusur lorong samping itu, sambil merapatkan diri ke sisinya. Tiba-tiba ada batu jatuh dari langit-langit. Kiki kaget, lalu terbang kembali ke lorong utama. "Sini,” panggil Jack. ia takut, burung itu nanti tersesat. Tapi Kiki tidak mau kembali. Jack menyusul, sambil bersiul—siul pelan untuk me-manggil burung itu. Anak-anak yang lain tidak sadar bahwa Jack sudah tidak lagi bersama mereka. Karenanya mereka meneruskan langkah, pelan serta tersandung—sandung. Kejadian setelah itu berlangsung cepat sekali. Seseorang datang bergegas sambil membawa lentera. Cahaya lampu itu langsung menerangi sosok tubuh ketiga anak yang sedang berjalan. Mereka merapatkan diri ke dinding, sambil menutup mata karena silau kena cahaya lentera. Sedang orang yang datang tertegun, karena heran dan kaget. "Astaga!" ucap orang itu dengan suaranya yang berat dan agak serak. "Astaga!" Lentera diangkatnya lebih tinggi, supaya anak-anak itu bisa terlihat lebih jelas. Kemudian ia menoleh, lalu memanggil-manggil. "Jake! Ke sinilah sebentar. Coba lihat ini. Aku menemukan sesuatu yang pasti akan membuatmu melongo!" Orang yang dipanggil datang. Nampak bayangannya yang jangkung dalam gelap. Ia berseru kaget, ketika melihat ketiga anak itu. "Astaga!" katanya. "Anak-anak! Bagaimana mereka bisa sampai di sini? Mereka betul anak-anak, atau mungkin aku sedang mimpi?" "Mereka betul anak-anak," kata laki-laki yang pertama. Lalu ia menyapa ketiga anak yang masih menempel ke dinding, dengan nada kasar dan keras. "Apa yang kalian lakukan di sini? Kalian ikut siapa tadi?" "Kami datang sendiri," jawab Philip. Laki-laki yang menanyainya tertawa. "Mustahil! Percuma saja bohong pada kami. Siapa yang membawa kalian kemari, dan untuk apa?" "Kami datang sendiri, naik perahu," kata Lucy-Ann tersinggung. ”Kami tahu jalan masuk lewat celah di beting." "Untuk apa kalian datang?" tanya laki-laki yang bernama Jake, sambil datang mendekat. Sekarang anak-anak bisa melihat tampangnya dengan jelas. Mereka tidak senang melihatnya. Laki-laki itu matanya yang satu tertutup kain hitam, sedang yang satunya lagi menatap mereka dengan kilatan kejam. Bibirnya tipis sekali, sampai nyaris tidak kelihatan. Lucy-Ann menciutkan tubuhnya. "Ayo bilang, kenapa kalian datang kemari?" tanya Jake. "Yah — kami menemukan liang yang di atas — lalu memasukinya untuk melihat tambang tambang yang tua ini,” kata Philip. "Kalian tidak usah khawatir, kami bisa menyimpan rahasia." "Rahasia? Apa maksudmu? Apa saja yang kauketahui?" tanya Jake dengan ketus. Philip diam saja, karena memang tidak tahu apa yang harus dikatakan. Jake menganggukkan kepala pada orang yang pertama. Orang yang pergi ke belakang anak-anak. Sekarang mereka tidak bisa lari lagi. Belakang dan depan sudah dijaga. Lucy-Ann menangis. Philip cepat-cepat merangkulnya. Saat itu baru disadarinya bahwa Jack tidak ada bersama mereka. Lucy-Ann memandang berkeliling, mencari-cari Jack pula. Ketika dilihatnya tidak ada di situ, tangisnya menjadi semakin keras. "Lucy-Ann — jangan bilang pada orang-orang itu bahwa Jack tidak ada," bisik Philip. "Kalau kita nanti ditawan, Jack masih bisa lari untuk memanggil bantuan. Jadi jangan bilang apa-apa tentang dia." "Apa yang kalian bisik-bisikkan itu?" tanya Jake. Kemudian disapanya Philip, "Kau kan tidak ingin adik-adikmu ini mengalami cedera? Kalau tidak- katakan apa yang ingin kami ketahui, nanti mungkin kalian akan kami bebaskan." Philip kaget dan takut mendengar nada suara laki-laki itu. Untuk pertama kalinya baru ia menyadari, mungkin saat itu mereka sedang menghadapi bahaya. Kedua laki-laki itu galak-galak. Mereka pasti tidak mau ketiga anak—anak itu mengetahui rahasia mereka. Lalu bagaimana jika mereka lantas dikurung di bawah tanah? Dipukuli, dan dibiarkan kelaparan? Siapa tahu apa yang akan terjadi kemudian? Akhirnya Philip memilih, lebih baik menceritakan saja apa yang diketahuinya. "Begini," katanya pada Jake, "kami tahu kalian bekerja sama dengan siapa. Orang itu teman kami. Dia pasti akan marah sekali, jika kalian mencelakakan kami." "O ya?" kata Jake dengan mencemooh. "Dan siapa dia, teman kalian yang hebat itu?" "Bill Smugs," kata Philip dengan tegas. Menurut perasaannya, kini pasti segala—galanya beres, karena sudah menyebutkan nama teman mereka itu. Tapi dugaannya meleset. "Bill Smugs?" kata Jake dengan gaya mengejek. "Siapa lagi itu? Aku belum pernah mendengar nama itu seumur hidupku." "Mana mungkin," kata Philip. Kini ia mulai bingung. "Kan dia yang mengantarkan makanan untuk kalian, serta selalu mengirimkan isyarat dari atas tebing. Masa kau tak tahu?! Kalian pasti kenal pada Bill Smugs." Kedua laki-laki itu menatap anak-anak, lalu berunding dalam bahasa asing. Kelihatannya mereka agak bingung. "Bill Smugs bukan kawan kami," kata Jake kemudian. "Apakah dia mengatakan kenal kami?" "Tidak, bukan begitu," jawab Philip. "Cuma kami saja yang menerka begitu." "Kalau begitu terkaanmu keliru," kata Jake lagi. "Sekarang ikut kami. Kalian akan kami tahan di salah satu tempat, sampai ada keputusan apa yang akan kami lakukan dengan anak-anak yang ikut campur dalam urusan orang lain." Menurut dugaan Philip, mereka pasti akan disekap di suatu tempat di bawah tanah. Ia marah, tapi sekaligus juga takut. Sedang Dinah dan Lucy-Ann sudah cemas sekali. Dinah diam saja. Tapi Lucy-Ann tidak berhenti menangis ketakutan, karena Jack tidak ada. Jake mendorong Philip, menyuruhnya berjalan duluan. Anak-anak digiringnya masuk ke sebuah lorong sempit, yang merupakan cabang lorong di mana mereka semula berada. Mereka berjalan, sampai di sebuah pintu yang ada gerendelnya. Jake menarik gerendel, membuka pintu lalu mendorong anak-anak ke dalam. Mereka masuk ke dalam sebuah gua. Kelihatannya—seperti bilik yang sempit, karena di situ ada sebuah meja kecil serta beberapa bangku. Jake meletakkan lentera yang dibawanya ke atas meja. "Kalian akan aman di sini," katanya sambil nyengir jelek. "Jangan khawatir, kalian takkan kubiarkan mati kelaparan." Setelah itu ditinggalkannya mereka. Terdengar bunyi gerendel ditarik untuk mengunci pintu kembali; dan setelah itu langkah orang menjauh. Lucy-Ann masih terus menangis. "Dasar sial!" kata Philip. Dipaksanya dirinya berbicara dengan suara riang. "Sudahlah, Lucy-Ann — jangan menangis terus." "Kenapa kedua laki-laki itu tidak kenal dengan Bill Smugs?" tanya Dinah bingung. "Kita tahu, pasti dia yang mengantarkan makanan untuk mereka, dan mungkin juga yang membawa pergi tembaga hasil galian di sini." "Jawabannya mudah saja," jawab Philip dengan lesu. "Pasti Bill itu bukan namanya yang asli. Memang nama itu rasanya agak aneh! Bill Smugs! Kalau kupikir-pikir, sebetulnya aku belum pernah mendengar ada orang yang namanya begitu." "Aduh, jadi menurut pendapatmu, itu bukan namanya yang asli?" kata Dinah. "Karena itu rupanya kedua laki-laki tadi tidak mengenalnya. Sial! Coba kita tahu siapa nama Bill yang sebenarnya — pasti segala-galanya bisa beres." "Lalu sekarang bagaimana?" tangis Lucy-Ann. "Aku tidak mau disekap dalam tambang tembaga di bawah laut. Aku ngeri!" "Tapi ini kan petualangan asyik, Lucy-Ann," kata Philip, berusaha menghibur anak itu. "Aku tidak suka pada petualangan asyik, jika aku sendiri yang harus mengalaminya," kata anak perempuan itu lagi, sambil menangis terus. Kedua anak yang lain sama saja perasaan mereka. Kemudian Philip teringat pada Jack. "Apa yang sebetulnya terjadi dengan anak itu?" katanya. "Mudah-mudahan saja selamat! Dengan begitu, mungkin bisa menolong kita." Tapi keadaan Jack saat itu jauh dari selamat. Tadi ia kembali ke lorong utama karena mencari Kiki, lalu memasuki lorong lain. Kiki ditemukannya di situ, lalu ia berjalan hendak kembali. Tapi tidak berhasil! Jack tersesat. Jadi ia sama sekali tidak tahu bahwa Lucy-Ann serta kedua kawannya tertangkap. Kiki sudah bertengger lagi di pundaknya, sambil bicara sendiri dengan suara pelan. Peta tambang ada pada Philip. Jadi begitu Jack tersesat, ia tidak bisa tahu lagi mana jalan kembali ke lorong utama. Dimasukinya lorong demi lorong. Kalau menjumpai lorong yang tersumbat, ia kembali lagi, lalu masuk yang lain. Makin lama ia makin- bingung. "Kita tersesat. Kiki," kata Jack. Berulang kali ia berseru-seru senyaring mungkin. Suaranya menggema seram dalam lorong-lorong kuno itu. Kiki ikut menjerit-jerit. Tapi sama sekali tidak terdengar suara orang menjawab. Anak-anak yang terkurung dalam gua, setelah beberapa saat terdiam. Tidak ada lagi yang bisa dibicarakan. Juga tak ada yang masih bisa mereka kerjakan. Lucy-Ann meletakkan kepala di atas lengannya yang disilangkan di atas meja, lalu tertidur. la sudah capek sekali. Sedang Dinah dan Philip membaringkan diri di bangku. Mereka mencoba tidur. Tapi tidak bisa. "Kita harus berusaha melarikan diri dari sini, Philip," kata Dinah dengan gelisah. "Gampang saja bilang begitu," kata Philip agak jengkel. "Tapi melakukannya, sulit! Menurutmu, bagaimana caranya kita lari dari sebuah gua dalam tambang tembaga yang terletak di bawah dasar laut? Gua berpintu kokoh dan digerendel sebelah luarnya? Jangan konyol!" "Aku punya akal," kata Dinah, setelah beberapa saat. Philip cuma mendengus saja. Ia selalu menganggap remeh gagasan Dinah, yang biasanya memang terlalu mengada-ada. "Dengar dulu, Philip," desak Dinah. "Akalku ini baik sekali." "Lalu bagaimana?" tanya Philip, setengah menggerutu. "Jake, atau laki-laki yang satu lagi, pasti pada suatu saat akan datang lagi ke sini, untuk mengantar makanan," kata Dinah. "Nah, saat itu kita semua harus mengerang—erang, memegang kepala serta tersengal-sengal." "Untuk apa?" tanya Philip dengan heran. "Supaya dikira kita tidak bisa bernapas karena hawa di sini buruk," kata Dinah. "Kita pura-pura sudah hampir mati! Mungkin karenanya kita disuruh keluar agar bisa menarik napas. Nah, saat itu kau pura-pura terhuyung-huyung ke arahnya, lalu menendang lentera supaya padam. Lalu kita lari cepat-cepat!" Philip langsung terduduk. Dipandangnya adik-nya dengan perasaan kagum. "Rasanya idemu itu baik sekali," katanya. Dinah berseri-seri mukanya karena senang dipuji. "Ya, sungguh! Kita harus membangunkan Lucy-Ann, dan menceritakan rencana itu padanya. Lucy-Ann juga harus ikut berpura-pura." Lucy-Ann dibangunkan dan diberi tahu tentang rencana itu. Anak itu langsung setuju. Napasnya tersengal-sengal. Ia mengerang-erang seperti kesakitan, sambil memegang kepala. Philip mengangguk. "Ya, begitu," katanya. "Kita semua begitu nanti, apabila terdengar ada orang datang. Sekarang, sementara masih ada waktu, lebih baik ku pelajari dulu peta kita. Kita harus melihat di mana kita sekarang. Supaya langsung tahu ke mana harus lari, begitu lentera sudah padam." Dibentangkannya peta di atas meja, lalu diamat-amatinya. "Ya," katanya setelah beberapa saat. "Aku tahu sekarang, di mana kita saat ini. Itu gua besar yang terang-benderang tadi. Dan ini lorong samping yang sempit, di mana kita tertangkap. Lalu kita dibawa ke sini — dan ini gua kecil di mana kita berada sekarang. Sekarang dengar! Begitu lentera sudah kutendang sehingga padam, kalian memegang tanganku. Jangan jauh-jauh pergi! Nanti akan kubimbing kalian menyusur lorong-lorong yang benar, menuju ke liang utama. Sesampai di situ kita langsung memanjat ke atas. Di atas kita menggabungkan diri kembali dengan Jack di salah satu tempat, lalu pergi ke perahu." "Bagus," kata Dinah bersemangat. Tepat pada saat itu terdengar bunyi langkah orang datang di luar, menghampiri pintu yang digerende Bab 21 LARI — TANPA JACK Terdengar bunyi gerendel pintu ditarik ke belakang. Pintu terbuka, dan Jake muncul membawa sebuah kaleng berisi biskuit serta kaleng besar yang sudah dibuka. lsinya ikan sardencis. Di samping itu ia juga meletakkan teko berisi air ke atas meja. Tiba-tiba ia memandang anak—anak sambil melongo. Philip pura-pura tercekik napasnya. Ia terguling dari bangku tempatnya berbaring, jatuh ke lantai. Dari mulut Dinah terdengar bunyi yang aneh-aneh, sementara ia memegangi kepalanya. Lucy-Ann kelihatannya seperti mau muntah. Anak perempuan itu mengerang-erang. "Kenapa kalian?" tanya Jake. "Kami tidak bisa bernapas. Sasak! Sasak!" kata Philip tersengal-sengal. Kini Dinah juga sudah terguling-guling di lantai. Jake menariknya sampai bangun, lalu mandorongnya cepat-cepat ka pintu. Anak-anak yang lain juga dibawanya ka luar. Manurut perkiraan Jake, anak-anak itu pasti sudah nyaris mati, karena kehabisan udara dalam gua yang sempit. Philip menunggu kesempatan baik, lalu terhuyung-huyung ke arah Jake, seperti tak mampu berdiri tegak. Tahu-tahu ia mengangkat kaki kanannya, lalu ditendangkan ke lentera yang dipegang Jake. Lentera itu jatuh dan langsung pecah. Nyalanya padam dengan seketika. Jake berseru kaget, sementara dengan cepat Philip meraih tangan Dinah dan Lucy-Ann yang ketakutan. Begitu sudah tergenggam, dengan cepat didorongnya kedua anak itu ke arah sebuah lorong yang ada di sebelah kiri. Jake menggapai-gapai dalam gelap, sambil bertariak-teriak memanggil kawannya. "Olly! He, Olly! Cepat— bawa lentara ke sini! Aku ditipu anak-anak kurang ajar ini. He — Olly!" Philip mendorong-dorong kedua anak perempuan yang ada di depannya menyuruh mereka bergegas, sementara ia berusaha keras mengi-ngat-ingat supaya jangan tersesat. Jantung mereka berdebar-debar. Kini Lucy-Ann merasa seperti benar-benar tercekik. Tapi tak lama kemudian suara teriakan Jake terdengar semakin pelan. Mereka berhasil menjauhkan diri dari kejaran orang itu. Mereka sudah tiba kembali dalam lorong lebar yang mereka tinggalkan beberapa jam sebelumnya. Philip sudah berani lagi menyalakan senter. Lega rasanya melihat jalur cahaya terang itu. "Syukurlah —— kita berada dalam lorong yang benar," kata Philip, sambil berhenti sebentar untuk memasang telinga. Tapi ia tidak mendengar apa-apa, kecuali dentaman laut di atas kepala. Disorotkannya senter ke sekeliling tempat itu. Ya, betul — mereka tidak tersesat. Syukurlah! "Bisakah kita istirahat sebentar?" tanya Lucy-Ann sambil tersengal-sengal. "Tidak bisa," kata Philip. "Orang-orang itu pasti langsung mengejar kita, begitu sudah ada lentera lagi. Mereka tentu menduga kita akan menuju ke liang keluar. Ayo — kita tidak boleh membuang-buang waktu!" Anak-anak bergegas lagi. Mereka kaget dan cemas, setelah beberapa saat terdengar suara orang berteriak-teriak di belakang mereka. Itu berarti bahwa mereka dikejar! Lucy-Ann begitu ketakutan, sehingga lututnya terasa lemas. Tapi akhirnya mereka sampai juga di liang besar, tempat mereka masuk tadi. Liang itu dalam sekali, sehingga tidak kelihatan sinar matahari yang masuk di ujung atasnya. "Ayo naik," kata Philip gelisah. "Kau dulu, Lucy-Ann. Tapi cepat!" Lucy-Ann mulai memanjat, disusul oleh Dinah. Philip naik paling belakang. Sementara itu sudah semakin jelas terdengar suara orang-orang yang ribut berteriak di belakang mereka. Tapi tiba-tiba teriakan itu berhenti. Philip tidak mendengar suara mereka lagi. Apakah yang terjadi? Sesuatu yang luar biasa. Kiki yang mendengar bunyi ribut—ribut di kejauhan, langsung ikut berteriak-teriak. Burung itu masih duduk di pundak Jack yang berkeliaran dalam lorong-lorong tambang karena tersesat. Pendengaran Kiki yang tajam menangkap suara Jake dan Olly, lalu ikut berteriak dan menjerit-jerit. "Bersihkan kakimu! Tutup pintu! He, he he - Polly, taruh cerat di atas api!" teriaknya. Kedua laki-laki yang mendengarnya, mengira anak-anak yang berteriak-teriak. "Mereka tersesat," kata Jake, lalu berhenti berlari. "Mereka tidak bisa menemukan jalan kembali ke liang masuk. Kini mereka beiteriak-teriak minta tolong." "Biar saja mereka berteriak-teriak," tukas Olly. "Takkan mungkin mereka berhasil menemukan jalan keluar. Kan sudah kukatakan tadi! Biar saja mereka tersesat, lalu mati kelaparan." "Wah, jangan," kata Jake. "Risikonya terlalu besar! Bagaimana kalau nanti datang regu pencari, lalu menemukan mereka dalam keadaan setengah mati kelaparan? Bagaimana kita menjelaskannya? Kurasa lebih baik kita susul mereka. Kedengaran-nya tadi suara mereka datang dari arah sana." Keduanya lantas keluar dari lorong utama. Maksud mercka hendak mendatangi suara yang terdengar tadi, karena menyangka anak-anak ada di situ. Saat itu mereka mendengar teriakan Kiki lagi. "Bersihkan kakimu, goblokl Bersihkan kakimu!" Jake dan Olly melongo, Ialu bergegas menuju ke arah datangnya suara itu. Tapi sementara itu Jack dan Kiki sudah masuk ke sebuah lorong samping Iagi, tanpa ketahuan oleh kedua laki—laki itu. Mereka tertegun, karena tak terdengar lagi suara Kiki. "Suara mereka tidak kedengaran lagi," kata Jake. "Lebih baik ke liang masuk saja. Siapa tahu, mereka berhasil menemukannya sekarang. Jangan sampai mereka bisa melarikan diri, sebelum kita memutuskan apa yang hams kita lakukan terhadap mereka." Jake dan Olly kembali ke arah liang masuk, lalu mendongak Beberapa butir kerikil berjatuhan, mengenai mereka. "Wah - mereka sudah naik ke atas!" seru Jake, lalu langsung ikut memanjat tangga. Sementara itu anak-anak sudah hampir sampai di ujung atas liang itu. Lucy-Ann sudah capek sekali. Lengan dan tungkainya terasa pegal. Rasanya sudah tidak kuat lagi memanjat. Tapi ia memanjat terus. Akhirnya anak itu berhasil mencapai tepi liang sebelah atas. Ia menggulingkan diri ke tanah, dengan napas terengah-engah. Kemudian Philip keluar. Ia juga sudah sangat capek. Tapi ia tidak memberi kesempatan istirahat, biar sebentar sekali pun. "Kedua laki-laki tadi pasti menyusul kita naik,"katanya. "Tak ada waktu lagi bagi kita untuk istirahat di sini. Ayo — kita harus segera ke perahu, sebelum dicegat di tengah jalan!" Sementara itu hari mulai gelap. Rupanya lama juga mereka berada di bawah tanah. Philip menarik lengan Dinah dan Lucy-Ann supaya berdiri. Mereka lantas lari lagi, kini menuju pantai. Sesampai di sana mereka menarik napas lega. Syukurlah — perahu masih ada di tempat semula. "Aku tidak mau pergi, kalau tidak dengan Jack," kata Lucy-Ann nekat. Ia cemas sekali, memikirkan nasib abangnya. Tapi Philip mengangkat anak itu, lalu memasukkannya ke dalam perahu. "Kita tidak ada waktu lagi," katanya. "Ayo! Nanti secepat mungkin kita minta pertolongan untuk menyelamatkan Jack di sini. Aku sendiri juga tidak enak, meninggalkan dia sendiri —— tapi aku harus menyelamatkan kalian berdua dulu." Dinah dan Philip mulai mendayung dengan cepat, melintasi perairan tenang dan menuju ombak yang memecah pada beting karang. Philip gelisah. Melewati lintasan dengan aman di siang hari, lain keadaannya dengan apabila hari mulai gelap. Pada slang hari ia bisa melihat lintasan itu! Saat itu didengarnya suara berteriak-teriak. Tapi jarak ke pantai sudah terlalu jauh. Jadi ia tidak bisa melihat lagi orang-orang yang berada di situ. Jake dan Olly sudah keluar dari liang tambang, lalu cepat-cepat lari ke pantai. Sesampai di situ, mereka langsung mencari-cari perahu. Tapi di situ tidak ada perahu. Pasang mulai naik saat itu, sehingga bekas lunas perahu di pasir tidak kelihatan lagi. Ketika anak—anak tadi tiba di situ, perahu bahkan sudah mulai mengambang di atas air. Untung belum hanyut dibawa pasang. "Di sini tidak ada perahu," kata Olly. "Kalau begitu bagaimana cara anak—anak tadi kemari? Aneh! Tapi pasti mereka lari dengan perahu. Tak mungkin masih ada di bawah tanah. Lebih baik kita memberi isyarat ke darat, memanggil teman kita supaya datang. Kita harus memberi tahu bahwa anak—anak tadi menjumpai kita di bawah tanah." Jake dan Olly kembali ke dalam tambang, tanpa mengetahui bahwa masih ada seorang anak yang berkeliaran di situ. Jack masih tetap tersesat, menyusur lorong demi lorong. Kelihatannya sama semua baginya. Sementara itu ketiga anak yang melarikan diri mengalami nasib mujur, berhasil melewati rintangan beting dengan selamat. Sebetulnya bukan mujur — tapi berkat pendengaran Lucy-Ann yang sangat baik Diperhatikannya bunyi deburan ombak di atas batu-batu. Tiba-tiba didengarnya deburan itu agak berkurang di salah satu tempat. "Mestinya di situlah lintasan yang kita cari," pikirnya. Saat itu ia bertugas memegang kemudi. Perahu diarahkannya ke tempat di mana bunyi deburan ombak tidak begitu keras. Dan kebetulan sekali lintasan itu berhasil ditemukan. Perahu meluncur lewat celah itu. Lunasnya menggeser karang yang terendam - tapi kemudian mereka sampai di laut lepas. Philip tidak ingat lagi, bagaimana caranya ia berhasil memasang layar, dan bagaimana mereka bisa sampai di daratan. Ia sudah gelisah sekali saat itu. Ia harus mengantar Dinah dan Lucy-Ann dengan selamat sampai ke rumah. Dan ia melakukan tugasnya dengan keberanian luar biasa. Ketika akhirnya dicapai tempat menambatkan perahu di bawah tebing, Philip ternyata tidak bisa dengan segera turun. Tiba-tiba lututnya terasa lemas sekali, sehingga ia tidak kuat berjalan. "Aku harus istirahat dulu sebentar," katanya pada Dinah. "Lututku aneh sekali rasanya. Tapi nanti pasti biasa lagi." "Kau tadi hebat," kata adiknya itu. Pujian itu besar sekali artinya bagi Philip, karena Dinah yang mengatakan begitu. Akhirnya Philip sudah biasa lagi. Perahu ditambatkan, lalu mereka kembali ke Craggy-Tops. Bibi Polly nampak menunggu di ambang pintu rumah. Kelihatannya sangat cemas. "Ke mana kalian tadi? Aku sudah bingung sekali memikirkan kalian. Sekarang badanku aneh rasanya." Bibi kelihatan pucat sekali. Ia gemetar ketika bicara. Philip cepat-cepat melompat maju, dan menahan Bibi Polly yang saat itu nyaris roboh. "Kasihan Bibi Polly," katanya, sambil membimbing bibinya itu dengan berhati—hati masuk ke dalam rumah, lalu dibaringkannya di sofa. "Maaf, jika Bibi menjadi sakit karena kami. Nanti kuambilkan air sebentar — ah, tidak — kau saja yang mengambilkan, Dinah." Setelah minum air seteguk, Bibi Polly mengatakan bahwa ia sudah merasa lebih enak sekarang. Tapi nampak jelas bahwa ia sakit. "Bibi tidak tahan kalau disuruh menghadapi kejadian begini," kata Dinah pada Lucy-Ann. "Dulu, ketika Philip nyaris terjatuh dari atas tebing, Bibi jatuh sakit sampai beberapa hari. Rupanya jantungnya yang tidak kuat. Sebaiknya dia kuantarkan saja sekarang ke tempat tidur." "Tapi jangan bilang apa-apa tentang Jack," kata Philip memperingatkan dengan suara pelan. "Nanti Bibi kena serangan jantung." Dinah membimbing bibinya naik ke tingkat atas, sementara Philip mencari Jo-Jo. Tapi tidak ada. Mungkin belum pulang dari kota. Kalau betul begitu, bagus! Dengan demikian ia takkan tahu bahwa perahunya dipakai anak-anak tadi. Saat itu Philip melihat air muka Lucy-Ann. Kelihatannya pucat sekali. Matanya memandang lesu dan gelisah. Philip merasa kasihan padanya. "Apakah yang akan kita lakukan sekarang mengenai Jack?" tanya Lucy-Ann sambil menelan tangis. "Kita harus menyelamatkan abangku, Philip!" "Ya, aku tahu," kata Philip. "Tapi — kita tidak bisa memberi tahu Bibi Polly - sedang lapor pada Paman Jocelyn, percuma! Apalagi pada Jo-Jo. Kita benar—benar tolol, kalau itu yang kita lakukan. Jadi apa boleh buat, dengan begitu tinggal Bill saja." "Tapi — katamu tadi, lebih baik jangan diceritakan pada Bill bahwa kita mengetahui rahasianya," kata Lucy-Ann. "Memang! Tapi sekarang terpaksa, karena Jack tinggal seorang diri di pulau," kata Philips. "Jadi Bill harus ke sana untuk memberitahukan pada kawan-kawannya bahwa Jack memang temannya. Setelah itu Jack dibawanya kembali ke sini dalam keadaan selamat. Kau tidak perlu khawatir Lucy-Ann." "Kau akan mengatakannya sekarang juga padanya?" tanya Lucy-Ann. Ia sudah mulai menangis lagi. "Aku akan segera berangkat, begitu perutku sudah terisi sedikit," kata Philip. Tiba—tiba ia merasa lapar sekali. "Kau juga harus makan dulu, Lucy-Ann - mukamu sudah pucat sekali kelihatannya. Sudahlah, jangan terus-terusan bingung! Sebentar lagi Jack pasti akan sudah ada lagi di sini dengan selamat, dan kita bisa mengobrol sambil tertawa beramai-ramai." Saat itu Dinah turun dari tingkat atas, lalu menyiapkan makanan. Semuanya sudah sangat lapar. Juga Lucy-Ann. Dinah sependapat dengan abangnya. Satu—satunya jalan yang masih ada ialah mendatangi Bill Smugs, untuk memintanya agar mau menyelamatkan Jack "Mereka pasti marah sekali karena kita berhasil melarikan diri, sehingga Jack akan diperlakukan dengan kasar apabila sampai tertangkap oleh mereka," kata Dinah. Saat itu juga ia menyesal mengatakannya. Karena Lucy-Ann sudah ketakutan lagi sekarang. "Pergilah sekarang juga, Philip," pinta anak itu. "Kalau tidak, biar aku saja yang pergi!" "Jangan konyol," kata Philip sambil bangkit. "Kau kan tidak tahu jalan di tebing, pada malam yang gelap begini. Nanti terjatuh ke bawah. Yah —kalau begitu, aku berangkat saja sekarang. Sampai nanti!" Philip keluar lalu rnenyusuri jalan kecil yang terjal menuju ke atas tebing. Setiba di atas, ia melihat lampu mobil di kejauhan. Pasti itu Jo-Jo yang pulang dari kota. Didengarnya deru mesin mobil yang sudah tua itu. Philip mempercepat langkah, supaya Jo-Jo tidak melihatnya. "Bill pasti kaget jika melihat aku nanti," pikirnya sambil berjalan. "Pasti ia bertanya-tanya dalam hati, siapa yang mengetuk pintu pondoknya malam-malam begini." Tapi ketika akhirnya Philip tiba di pondok itu, Bill tidak ada di sana. Philip bingung. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Bab 22 BERUNDING DENGAN BILL Philip mulai putus asa. Sama sekali tak terpikir olehnya tadi, bahwa Bill mungkin sedang tidak ada di rumahnya. Aduh — sekarang bagaimana? Philip terhenyak pada sebuah bangku, sambil berusaha mencari akal lain. Tapi ia sudah capek sekali. Otaknya seolah-olah beku saat itu. "Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa? Apa?" pikirnya. la sudah tidak tahu akal lagi. "Apa yang harus kulakukan?" Ruangan dalam pondok itu gelap. Philip masih terhenyak di bangku, dengan tangan terkulai di pangkuan. Tapi setelah beberapa saat, ia merasa seperti melihat sesuatu tadi — di sebelah belakang ruangan. Ia menoleh. Philip tercengang ketika melihat di situ menyala sebuah lampu merah. Tapi cuma sebentar saja, lalu padam. Lalu menyala lagi. Dan padam kembali. Begitu berulang-ulang selama beberapa menit. Sementara itu Philip sibuk berpikir. Sinar itu seolah-olah merupakan isyarat. Akhirnya ia bangkit, lalu menghampiri cahaya merah itu. Ternyata berasal dari sebuah lampu kecil, yang terdapat di samping pesawat radio. Philip memperhatikan pesawat itu, lalu memutar-mutar beberapa buah tombol. Ketika memutar sebuah di antaranya, terdengar bunyi musik. Lalu ketika diputar tombol lain, yang terdengar ketukan isyarat Morse. Secara kebetulan saja ia melihat semacam gagang telepon. Alat itu disangkutkan pada sisi belakang pesawat radio. Ukurannya lebih kecil daripada gagang telepon biasa. Seperti telepon mini, pikir Philip. Diangkatnya gagang itu. Seketika itu juga ia mendengar suara seseorang. Didekatkannya gagang ke telinga. "Di sini Y2", kata suara itu. "Y2 — di sini Y2. Philip tercengang mendengarnya. Kemudian diberanikannya diri untuk menjawab. "HaIo," katanya, "Siapa Anda?" Sesaat pesawat itu sunyi. Rupanya orang yang menyebut diri Y2 itu kaget. Kemudian terdengar lagi suaranya, bernada hati-hati. "Siapa di situ?" "Seorang anak laki-laki," jawab Philip. "Namaku Philip Mannering. Aku datang hendak menemui Bill Smugs. Tapi dia tidak ada di sini." "Siapa, katamu?" tanya orang itu. "Bill Smugs. Tapi ia tidak ada di sini," ulang Philip. "Lalu Anda sendiri siapa? Anda ingin meninggalkan pesan untuk Bill? Kurasa nanti dia pasti kembali." . "Sudah berapa lama dia pergi?" tanya Y2. "Entah — aku juga tidak tahu," jawab Philip. "Nanti dulu — kudengar ada orang datang. Ya — kurasa itu dia datang." Philip bergembira. Gagang telepon dikembalikannya ke tempat semula. Ia mendengar seseorang bersiul-siul pelan di luar. Pasti itu Bill! "He, Bill!" sapa Philip dengan lega. "Senang rasanya, kau datang. Cepat! Ada yang hendak bicara dengan Anda di telepon — katanya, ia..” "Kau tadi bicara dengan dia?" tanya Bill. Kedengarannya seperti kaget. Diambilnya gagang telepon, lalu bicara secara singkat. "Di situ Y2? Sini..” Kemudian rupanya orang yang berbicara dengannya menanyakan, siapa Philip. "Seorang anak laki-laki, yang tinggal di dekat sini," jawab Bill atas pertanyaan itu. "Ada kabar baru?" Setelah itu Bill hanya mengatakan, “Ya — tentu saja. Aku akan memberi kabar nanti, Terima kasih. Tidak, belum. Sampai lain kali.” Setelah selesai berbicara, Bill Smugs menoleh pada Philip. "Sekarang camkan baik-baik," katanya, "jika kau datang lagi ke sini sewaktu aku sedang tidak ada, kau sama sekali tidak boleh mengutik-utik barang-barangku, atau mencampuri urusanku. Mengerti?" Sebelumnya Bill Smugs belum pernah bicara dengan nada segalak itu. Philip takut karenanya. Apa yang akan dikatakan Bill nanti, apabila tahu bahwa anak-anak sudah mengetahui rahasianya? Pasti ia akan semakin jengkel dan menganggap anak-anak itu bisanya cuma mencampuri urusannya saja. "Maaf, Bill," kata Philip dengan kikuk. "Aku tadi sama sekali tidak bermaksud campur tangan." "Kenapa kau kemari, malam-malam begini?" tanya Bill. "BiIl — ini pensil Anda atau bukan?" tanya Philip, sambil menyodorkan puntung pensil yang diambilnya dari dalam kantong. Ia berharap, apabila Bill melihat puntung itu, pasti ia akan ingat bahwa pensil itu terjatuh sewaktu ia ada dalam tambang tembaga. Dengan begitu, tanpa Philip perlu mengatakan apa-apa, Bill akan bisa menduga bahwa anak-anak sudah mengetahui rahasianya. Bill Smugs memandang puntung pensil itu dengan heran. "Ya, itu kepunyaanku,” katanya kemudian. "Tapi kau kemari, bukan untuk mengembalikan pensil yang tinggal pendek itu. Jadi untuk apa?" "Aduh, Bill — janganlah Anda segalak itu," kata Philip kecut. "Begini — sebenarnya kami sudah tahu apa rahasia Anda. Kami tahu, apa yang Anda kerjakan di sini. Kami juga tahu kenapa Anda pergi ke Pulau Suram. Kami sudah mengetahui segala-galanya." Bill Smugs mendengar kata-kata Philip dengan wajah tercengang. Kemudian matanya menyipit. Mulutnya dirapatkan, sehingga nampak tipis sekali garis bibirnya. Saat itu tampangnya menyeramkan. "Sekarang katakan dengan jelas, apa maksud kata-katamu tadi," katanya dengan nada ketus. "Apa rahasiaku? Apa ’segala-galanya’ yang kalian ketahui?" "Ya," kata Philip gelisah, "kami tahu Anda serta kawan-kawan Anda sedang sibuk mengerjakan tambang tembaga itu kembali, dan kami tahu Anda ada di sini dengan mobil dan perahu, untuk mengusahakan bekal makanan kawan-kawan Anda yang ada di pulau, serta mengangkut tembaga yang digali di sana. Kami tahu Anda pernah datang ke tambang itu. Kami juga tahu, Anda memperkenalkan diri pada kami dengan nama palsu. Tapi sungguh, Bill — kami sama sekali tidak berniat membeberkan rahasia itu pada orang lain. Kami malah ikut berharap, semoga banyak tembaga yang masih bisa ditemukan." Bill mendengarkan terus, dengan mata masih terpicing. Tapi lama-kelamaan nampak lagi kilatan jenaka di situ. Garis mulutnya juga kembali seperti biasa. Bill sudah menjadi Bill Smugs, teman baik anak-anak. "Wah, wah — jadi segala-galanya itu sudah kalian ketahui," kata Bill. "Kecuali itu, masih ada lagi? Bagaimana kalian bisa sampai di pulau itu? Mudah-mudahan saja bukan dengan perahuku." "Wah, tentu saja tidak," kata Philip. Ia merasa lega, karena Bill sudah ramah kembali. "Kami memakai perahu Jo-Jo, ketika ia sedang pergi. Kami juga masuk ke dalam tambang. Di situlah kami menemukan pensil Anda ini. Tapi kami tidak senang melihat kawan-kawan Anda yang di sana, Bill. Mereka menyekap kami. Mereka jahat! Lalu ketika kami menyebutkan nama Anda pada mereka sambil mengatakan bahwa kami teman Anda, mereka mengaku tidak kenal nama itu. Mereka juga tidak mau membebaskan kami." "Kalian mengatakan pada mereka bahwa kalian kenal Bill Smugs?" tanya Bill. Philip mengangguk. "Siapa saja yang kalian lihat di sana?" tanya Bill. Nada suaranya sudah menajam kembali. Caranya bertanya terasa galak. "Dua orang — yang satu bernama Jake, sedang kawannya, Olly," kata Philip, sementara Bill mencatatnya dalam buku catatannya. "Tampang mereka kayak apa?" tanyanya. "Lho — Anda mestinya lebih tahu," kata Philip tercengang. "Tapi pokoknya, tidak banyak yang bisa kulihat. Karena di bawah gelap, lalu kemudian mataku silau kena sinar lentera. Yang kuketahui cuma bahwa Jake jangkung dan agak coklat kulitnya sedang matanya yang satu ditutup kain hitam. Cuma itu saja. Tapi tentunya Anda tahu persis bagaimana tampang mereka, Bill." "Masih ada lagi yang kaulihat?" tanya Bill lagi. Philip menggeleng. "Tidak!" jawabnya. "Tapi kami mendengar orang-orang lain yang bekerja. Berisik sekali bunyinya, berdentum dan gemeretak. Rupanya berhasil ditemukan bagian tambang yang masih banyak tembaganya. Banyakkah tembaga yang ditemukan di situ, Bill? Anda akan menjadi kaya karenanya?" "Nanti dulu," kata Bill secara tiba-tiba. "Kau kemari malam-malam, tentu tidak cuma untuk menceritakan ini saja! Untuk apa sebenarnya kau kemari?" "Aku datang untuk mengatakan, walau aku, Dinah dan Lucy-Ann berhasil minggat setelah memperdayai Jake, tapi kami terpaksa meninggalkan Jack di sana — bersama Kiki,” kata Philip. "Sekarang kami cemas memikirkan nasibnya. Bisa saja ia tersesat di sana untuk selama-lamanya. Atau mungkin juga kawan-kawan Anda berhasil menemukan dia, serta memperlakukan dirinya dengan kasar karena marah sebab tertipu oleh kami." "Jack masih ada di sana? Di Pulau Suram? Dalam tambang?" kata Bill beruntun-runtun. Tampangnya nampak kaget. "Astaga! lni benar-benar gawat. Kenapa tidak kauceritakan hal itu dulu tadi? Wah — kelihatannya segala-galanya akan kacau sekarang, karena perbuatan kalian." Bill nampak marah, tapi sekaligus juga cemas. Ia menghampiri pesawat radionya, lalu memutar-mutar beberapa tombol. Setelah itu ia berbicara dalam bahasa yang tidak dikenal oleh Philip, dengan nada tajam dan tegas. Anak itu hanya bisa melongo saja. "Rupanya itu bukan cuma pesawat penerima, tadi juga pemancar," pikirnya. "Ini benar-benar misterius. Dengan siapa Bill bicara sekarang? Apakah di atas mereka semua masih ada lagi seorang kepala, yang memimpin operasi tambang tembaga? Kurasa banyak sekali modal yang ditanamkan dalam usaha itu! Aduh, mudah-mudahan saja kami tidak sampai mengacaukan segala perencanaan mereka! Apa sebetulnya maksud Bill tadi? Bagaimana kami bisa mengacaukan segala-galanya? Kan sudah beres kalau ia berangkat ke Pulau Suram, lalu menyuruh kawan-kawannya di sana membebaskan Jack! Mestinya ia kan tahu, kami bisa dipercayai dan takkan membuka rahasia itu pada orang lain." Saat itu Bill berpaling memandangnya. "Kita harus ke perahu dengan segera," katanya. "Ayo!" Diterangi sinar senter mereka, keduanya lantas pergi ke tempat perahu disimpan. Bill sudah mulai mendorong perahunya ke air — ketika tiba-tiba ia berteriak keras. Philip kaget sekali, rasanya seperti nyaris terlepas jantungnya. "Siapa yang melakukan perbuatan ini?!" Bill menyorotkan senternya ke dalam perahu Philip kaget dan takut sekali, ketika melihat bahwa lunas perahu berlubang—lubang seperti kena kampak. Air membanjir masuk ke dalam perahu. Bill menarik perahunya kembali ke darat. Tampangnya nampak geram. "Kau tahu—menahu tentang kejadian ini?" tanyanya pada Philip. "Tentu saja tidak!" jawab anak itu. "Aduh, ini perbuatan siapa, Bill? Wah — gawat!" "Yah — sekarang perahu ini tidak ada gunanya lagi, selama belum diperbaiki," kata Bill. "Tapi dengan salah—satu cara, kita harus pergi ke Pulau Suram. Kita pakai saja perahu Jo-Jo. Ayo, kita ke sana. Tapi ingat, jangan sampai ketahuan olehnya. Sekarang pun sudah terlalu banyak yang sudah ketahuan — dan terlalu banyak orang yang ikut campur dalam urusan ini." Mereka bergegas menyusur sisi atas tebing. Kasihan Philip! Ia sudah capek sekali. Nyaris tidak bisa diikutinya langkah Bill. Ketika mereka sampai di Craggy-Tops, mereka lantas menyusuri jalan kecil yang menurun, menuju tempat perahu Jo-Jo selalu ditambatkan. Tapi — betapa kaget dan kecewa perasaan mereka, ketika perahu yang dicari tidak ada lagi di situ. Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 23 LORONG RAHASIA YANG LAIN Begitu Philip berangkat ke tempat Bill Smugs, Lucy-Ann dan Dinah lantas menyibukkan diri dengan menjahit. Tapi jari-jari tangan Lucy-Ann gemetar terus, sehingga berulang kali tertusuk jarum. "Kurasa aku harus bilang pada Paman Jocelyn bahwa Bibi Polly tidak enak badan, dan sekarang sudah tidur," kata Dinah. "Yuk — ikut, Lucy-Ann." Kedua anak perempuan itu menghampiri pintu kamar kerja Paman, lalu mengetuknya dari luar. Mereka masuk, dan Dinah melaporkan keadaan Bibi pada Paman. Paman Jocelyn mengangguk. Tapi kelihatannya ia sama sekali tak mendengar keterangan Dinah. "Paman Jocelyn," kata Dinah kemudian, "'Paman masih punya peta lain dari Pulau Suram? Atau buku mengenainya?" "Tidak," jawab Paman. "Tapi nanti dulu! Ada sebuah buku, tapi tentang rumah ini. Tentang Craggy-Tops! Tahukah kau bahwa rumah ini dulu merupakan kegiatan rahasia? Dulu sekali — sekitar dua sampai tiga ratus tahun yang lalu! Kurasa dari sini ada sebuah lorong rahasia menuju ke pantai di bawah." "Ya, kami tahu," kata Dinah. Paman langsung tertarik. Disuruhnya kepona-kannya menceritakan segala-galanya padanya. "Astaga," katanya kemudian, "mulanya ku-sangka lorong itu sudah sejak lama runtuh. Tapi, memang — lorong-lorong dalam batu cadas yang keras ini bisa tahan berabad-abad. Walau begitu, kurasa lorong yang ada dari sini ke Pulau Suram, pasti sudah lama tergenang air laut" Kedua anak perempuan itu memandang Paman Jocelyn dengan tercengang. Akhirnya Dinah yang paling dulu pulih dari rasa kaget. "Maksud Paman, dulu ada lagi lorong rahasia di sini — yang menuju ke pulau itu? Wah —jaraknya kan jauh sekali!" "Mestinya begitu," kata pamannya. "Dalam buku yang kukatakan tadi terdapat keterangan mengenainya. Tapi — mana buku itu?" Paman mencari—cari, sementara Dinah dan Lucy-Ann menunggu dengan tidak sabar. Untung akhirnya ditemukan juga, dan langsung disambar oleh Dinah. "Terima kasih, Paman!" katanya. Sebelum Paman sempat melarangnya membawa ke luar dari kamar itu, Dinah dan Lucy-Ann sudah melesat ke luar lalu lari secepat-cepatnya menuju ke kamar duduk. Satu lorong lagi .... dan yang ini menuju ke Pulau Suram! Aduh, asyik! Tapi jangan-jangan Paman Jocelyn keliru. "Ah — kurasa memang benar," kata Dinah bergairah. "Aku tahu, di daerah pesisir ini banyak sekali gua dan lorong. Daerah ini memang terkenal karenanya. Dan kurasa lorong itu bersambung dengan lorong-lorong tambang yang menjorok ke bawah dasar laut di Pulau Suram. Kita kan tahu, lorong-lorong itu panjang sekali, sampai bermil-mil." “ Dinah dan Lucy-Ann membuka buku kuno itu. Tulisannya tidak bisa mereka baca, karena sudah sangat kabur. Kecuali itu juga karena huruf-hurufnya sebagian lain bentuknya dengan yang dikenal sekarang. Keduanya membalik-balik halaman demi halaman, mencari kalau ada peta atau gambar di situ. Buku itu rupanya mengenai sejarah Craggy-Tops, yang umurnya pasti sudah beratus-ratus tahun. Pada jaman dulu dipakai sebagai semacam benteng, karena dibangun kokoh di lereng tebing — dilindungi lautan di depan, dan dinding tebing di belakangnya. Tentu saja sekarang bangunan itu sudah setengah runtuh. Dan Paman serta Bibi hanya meninggali ruangan-ruangan yang masih cukup baik saja. "Lihatlah," kata Dinah. Ia menuding gambar peta yang kelihatannya aneh, "beginilah kelihatan—nya rumah ini pada jaman dulu! Bagus sekali! Lihatlah menara-menaranya — dan sisi depannya, begitu megah!" Mereka membalik-balik halaman lagi, sampai pada semacam gambar diagram. Dinah dan Lucy-Ann memperhatikannya dengan tekun. Tiba-tiba Lucy-Ann berseru. "Aku tahu, gambar apa ini!" katanya. "Ini gambar lorong rahasia dari gudang ke pantai. Ya kan?" Dugaannya tepat. Tak ada keragu-raguan sedikit pun mengenainya. Dinah dan Lucy-Ann mulai bersemangat. Mungkin dalam buku itu juga digambarkan lorong yang satu lagi. Mereka masih menemukan beberapa gambar lagi, yang mirip diagram. Beberapa di antaranya sudah kabur sekali, sehingga tidak bisa dikenali lagi itu diagram apa. Dinah mengeluh. "Aku kepingin bisa membaca tulisan kuno ini," katanya. "Coba bisa, mungkin aku bisa mengetahui apakah gambar-gambar peta ini menunjukkan lorong-lorong rahasia yang lain —yang menuju ke Pulau Suram. Pasti asyik, menyelidikinya! Coba kita bisa melakukannya. Apa kata Philip dan Jack nanti, kalau kita mengatakan pada mereka bahwa ada jalan ke pulau itu lewat dasar laut!" Muka Lucy-Ann langsung nampak suram, begitu mendengar kata-kata Dinah. Ia teringat lagi pada abangnya. Di mana Jack sekarang? Apakah Philip berhasil mengajak Bill Smugs pergi dengan perahunya ke pulau, untuk menyelamatkan abangnya itu? Atau mungkin saat itu mereka sedang membawa Jack kembali ke rumah? Ketika Lucy-Ann sedang berpikir-pikir mengenai berbagai kemungkinan itu, didengarnya suara Philip dalam gang di sebelah luar kamar duduk. Lucy-Ann melompat bangkit dengan girang. Apakah Bill dan Philip sudah berhasil membawa Jack kembali dengan selamat? Cepat sekali mereka sudah datang lagi! Lucy-Ann lari ke pintu dengan perasaan gembira. Tapi yang dilihatnya di luar cuma Bill dan Philip. Jack tidak ada bersama mereka. Lucy-Ann berseru cemas. "Mana Jack? Kalian belum menyelamatkannya? Di mana dia?" "Perahu Bill dirusak orang," kata Philip sambil masuk ke kamar duduk. "Jadi kami kemari, untuk memakai perahu Jo-Jo. Tapi kepunyaannya tidak ada di tempat yang biasa. Kurasa Jo-Jo sedang memancing, seperti kadang—kadang dilakukan olehnya pada malam hari. Tapi kini kami tidak tahu apa yang harus dikerjakan." Dinah dan Lucy-Ann memandang mereka dengan perasaan kecut. Tidak ada perahu — jadi Jack tidak bisa diselamatkan? Air mata Lucy-Ann menggenang di pelupuk, ketika dibayangkannya Jack yang tersesat dalam lorong yang bercabang-cabang, sedang di situ ada orang-orang galak yang pasti akan menyekapnya apabila berjumpa. Ia merasa agak lega, karena setidak-tidaknya ada Kiki yang menemani abangnya. "O ya, Philip," kata Dinah. Tiba-tiba ia teringat lagi. "Mau tahu apa yang diceritakan Paman Jocelyn tadi pada kami? Katanya dulu ada jalan lewat bawah dasar laut, menuju ke tambang tembaga. Ada lorong ke Pulau Suram! Ia juga tahu tentang lorong tersembunyi yang satu lagi, tapi ia tidak menyangka jalan itu masih bisa dilalui. Ia kaget ketika mendengarnya. Bagaimana, Philip — mungkinkah lorong rahasia ke pulau itu masih ada sekarang? Atau mungkin sudah ambruk dan digenangi air laut? Aduh, kepingin rasanya kita bisa menemukannya!" _ Bill kelihatannya seperti sangat tertarik mendengarnya. Diambilnya buku yang dipegang Dinah. "Ini buku tentang rumah ini?" tanyanya. Dinah mengangguk. "Ya — di situ tertera lorong yang kami temukan waktu itu," katanya. "Dan kurasa lorong yang satu lagi juga ada di situ. Cuma sayangnya, kami tidak memahami arti peta-peta serta tulisan kuno yang ada di situ." "Tapi aku bisa," kata Bill. Setelah itu perhatiannya tercurah sepenuhnya dalam buku itu. Halaman demi halaman diperhatikannya dengan tekun. Beberapa di antaranya dilewati dengan cepat. Ia mencari-cari keterangan mengenai lorong yang menuju ke Pulau Suram. Sekonyong-konyong Bill nampak bersemangat, lalu membalik satu atau dua halaman dengan cepat. Mula-mula diperhatikannya sebuah peta yang kelihatan aneh. Setelah itu satu lagi. Lalu ia mengajukan pertanyaan yang aneh. "Berapa dalamnya sumur kalian di sini?" "Sumur?" Philip tercengang. "Wah, dalam sekali! Kurasa sama dalamnya kayak liang masuk ke dalam tambang di pulau itu. Pokoknya menjorok ke bawah sampai lebih rendah daripada permukaan laut. Tapi airnya tidak asin." "Coba dengar sebentar," kata Bill, lalu membacakan beberapa patah kata pada anak-anak. Setelah itu ia memperhatikan peta berikut, yang menampakkan sebuah liang dalam, jauh ke dalam tanah. "Kalian lihat ini?" kata Bill lagi. "Awal lorong ke pulau letaknya di dasar sumur rumah ini. Kalau kupikir-pikir, sebenarnya memang masuk akal. Soalnya, untuk menyusur di bawah dasar laut menuju ke tambang-tambang di pulau, jalan masuknya harus terletak lebih rendah dari dasar laut. Sedang satu—satunya tempat di sini yang letaknya begitu — tentu saja dasar. sumur!" "Astaga!" seru Philip, Dinah dan Lucy-Ann serempak. Sumur! Tidak sampai ke situ pikiran mereka. Benar-benar luar biasa! "Tapi — di dasar sumur kan ada air," kata Philip kemudian. "Masa untuk masuk, kita harus lewat air." "Bukan begitu — lihatlah," kata Bill Smugs sambil menuding peta. "Tempat masuk ke lorong itu letaknya di atas permukaan air sumur. Ini — lihatlah! Kurasa ini gambar anak tangga yang ditatah di tempat itu. Bentuknya agak menanjak, lalu memasuki lorong dalam batu cadas. Kurasa asal mulanya celah yang memang sudah ada di situ. Di daerah pesisir ini kan banyak sekali celah—celah semacam itu. Kemudian ada yang menemukannya secara kebetulan, lalu dijadikan lorong yang bisa dilewati dengan jalan menggali tau meledakkannya supaya menjadi lebih lebar." "O, begitu," kata Philip bersemangat. "Kurasa lubang yang ada di bawah itu ditemukan orang ketika sumur di tempat ini dibuat pada jaman dulu. Lubang itu lalu diperiksa, dan ternyata merupakan lorong alam. Karenanya diperlebar, sehingga bisa dilewati. Bill, bisakah kita memeriksanya ke bawah?" "Jangan sekarang — tengah malam begini,"jawab Bill dengan segera. "Petualangan kalian hari ini sudah lebih dari cukup. Kalian juga perlu tidur!" "Tapi — tapi — bagaimana dengan Jack?" tanya Lucy-Ann. Matanya terbelalak, karena cemas. "Malam ini kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi,"kata Bill dengan tegas tapi ramah. "Lagi pula kalau ia tertangkap, apa boleh buat — ia tertangkap! Tapi kalau belum, mungkin besok kita bisa berbuat sesuatu untuk menolongnya. Tapi malam ini kita tidak masuk ke dalam sumur, habis perkara! Philip malam ini aku tidur denganmu di kamar menara." Philip senang sekali mendengarnya. Malam itu ia tidak ingin tidur sendiri. Dinah dan Lucy-Ann disuruh cepat tidur, walau mereka masih mencoba membantah. Setelah itu Bill ikut dengan Philip, naik ke kamar di menara. Di situ Philip menunjukkan jendela, dari mana pulau kadang-kadang bisa kelihatan. Kemudian Philip duduk di tepi tempat tidurnya. Maksudnya hendak membuka sepatu. Tapi ia sudah begitu capek. Bahkan membuka tali sepatu pun, ia sudah tidak mampu lagi. Ia terguling di tempat tidur. Matanya terpejam, dan Philip langsung pulas tanpa sempat menukar pakaiannya lagi. Bill memandangnya sambil tersenyum. Diselimutinya Philip, lalu ia pergi ke jendela dan duduk di situ. Bill berpikir—pikir, sambil mengisap rokok Besok akan diketahui, apakah masih ada atau tidak lorong bawah tanah dari Craggy-Tops menuju ke Pulau Suram. Menurut perasaan Bill saat itu, tak mungkin lorong itu masih ada. Betul, lorong tersembunyi yang ditemukan anak-anak memang masih utuh! Tapi lorong itu pendek sekali, apabila dibandingkan dengan lorong yang di bawah dasar laut. Kecuali itu selama berabad-abad laut selalu menghempas ke batu yang ada di atas lorong itu. Kalau batu dasar itu retak sedikit saja, sehingga air bisa menetes masuk ke dalam — dalam beberapa minggu saja lorong itu pasti sudah penuh air. Jadi tidak bisa dilewati lagi! Akhirnya Bill merebahkan diri di kasur, di sebelah Philip yang sudah lama pulas. Akhirnya Bill juga tertidur. Keesokan paginya ia dibangunkan oleh Philip. Anak itu mengguncang-guncang tubuhnya. "Bill! Sudah pagi! Yuk, kita sarapan — dan setelah itu mencari jalan masuk ke lorong di dalam sumur. Cepatlah!" Tak lama kemudian mereka sudah berada di tingkat bawah. Dinah dan Lucy-Ann sedang sibuk menyiapkan sarapan. "Mana Jo-Jo?" tanya Philip. Ia heran, karena pembantu Bibi Polly itu tidak kelihatan. "Belum pulang dari memancing," kata Dinah, sambil menyerok telur mata sapi dari penggorengan. Cekatan sekali geraknya. "Ini untuk Anda, Bill.Untung Jo-Jo belum kembali sekarang! Kalau sudah, pasti ia heran melihat Bill di sini. la akan langsung merasa curiga." "Tapi mungkin sebentar lagi ia pulang," kata Lucy-Ann. "Jadi cepatlah sedikit, sebelum dia. datang. Tak enak rasanya membayangkan dia berdiri dengan mata melotot di atas sumur, sementara kita sedang melihat-lihat di dalamnya." Mereka lantas cepat-cepat sarapan. Sebelumnya Dinah sudah mengantarkan sarapan untuk Bibi Polly ke kamar tidur, dan untuk Paman Jocelyn ke kamar kerjanya. Kata Dinah, Bibi Polly sudah merasa agak enak badannya, dan nanti mungkin akan turun. Sedang mengenai Paman Jocelyn — menurut perasaannya Paman sama sekali tidak tidur semalaman. "Kurasa ia sepanjang malam sibuk terus," kata Dinah. "Nah — semua sudah selesai? Nanti saja mencuci piring, apabila kita sudah kembali." Mereka beramai-ramai pergi ke pekarangan sempit yang terdapat di belakang rumah, berbatas an dengan dinding tebing yang terjal. Bill menjulurkan tubuh di tepi sumur, memandang ke bawah. Sumur itu kelihatannya memang sangat dalam. "Apakah kita akan turun dengan timba?" tanya Philip. "Bisa saja, apabila timbanya cukup besar, “ jawab Dinah. "Tapi dengan yang ini — mustahil. Untuk Lucy-Ann saja sudah terlalu kecil." "Nanti dulu," kata Bill, sambil mengeluarkan senternya yang besar dari kantongnya. "Kalau lubang sumur ini satu-satunya jalan menuju ke lorong yang ada di bawah, maka mestinya di pinggirnya harus ada tangga. Tak bisa kubayang-kan orang jaman dulu naik turun dengan timba." "Tapi — di situ tidak ada tangga," kata Philip. "Kalau ada, kan sudah dari dulu kulihat." Bill menyorotkan senternya ke dalam sumur, lalu memeriksa sisinya dengan teliti. "Coba lihat itu," katanya pada Philip, "memang betul, di sini tidak ada anak tangga — tapi kaulihat kokot besi yang mencuat di pinggir sumur itu? Nah, itulah yang dipakai orang jaman dulu apabila hendak menuruni lubang ini. Kokot itu dipakai sebagai ganti tangga! Sementara kaki menginjak kokot yang di sebelah bawah, tangan memegang yang ada di atas. Lalu kaki diraba-rabakan, mencari kokot bawah yang berikut. Dan begitu seterusnya." "Ya, betul," kata Philip bersemangat. "Anda Betul! Begitulah cara orang turun pada jaman dulu. Pasti waktu di sekitar sini sering terjadi peperangan, banyak pelarian yang memakai sumur ini sebagai tempat bersembunyi — walau mungkin mereka tidak tahu bahwa di bawah ada jalan masuk ke lorong rahasia. Yuk, Bill, kita turun! Aku kepingin berangkat sekarang juga!" "Ya, kurasa memang sudah waktunya," kata Bill. "Aku dulu. Dinah, tolong lihatkan, kalau Jo-Jo datang dengan tiba-tiba." Bab 24 DI BAWAH DASAR LAUT Bill tidak bisa mencapai kokot besi yang paling atas. Jadi Philip harus mengambil tali dulu. Tali itu diikatkan pada tonggak sumur. Setelah itu Bill meluncur turun sambil berpegangan pada tali, sampai kakinya menjejak kokot yang paling atas. "Beres," katanya. "Kalau sudah siap langsung menyusul, Philip! Tapi biar aku turun sampai beberapa jenjang dulu! Dan hati—hati, jangan sampai terpeleset." Dinah dan Lucy-Ann tidak diizinkan ikut. Dan mereka sendiri pun ngeri, membayangkan harus menuruni lubang sumur yang dingin dan curam itu, dengan hanya bertopang pada kokot-kokot besi yang tidak bisa dibilang aman. Mereka memandang Bill dan Philip menghilang ke dalam lubang sumur, lalu bergidik. "Tidak enak rasanya ditinggal, tapi bagiku lebih tidak enak lagi kalau ikut turun ke situ," kata Dinah. "Yuk — Bill dan Philip sudah tidak kelihatan lagi sekarang! Lebih baik kita kembali ke dapur, dan menyelesaikan pekerjaan di situ. Wah — lama sekali Jo-Jo pergi!" " Kedua anak itu kembali ke dapur, sambil membayangkan Philip dan Bill yang saat itu sedang turun ke dasar sumur. Keduanya memanjat ke bawah dengan pelan, tapi pasti. Kokot-kokot rupanya tertancap teguh ke dinding sumur. Menuruni lubang sumur itu sangat melelahkan. Bill dan Philip pasti akan kewalahan, apabila pada beberapa tempat di dinding sumur tidak ada tempat beristirahat. Bill mula-mulanya tidak mengetahui guna tempat—tempat itu, ketika untuk pertama kali menemuinya. Tempat itu merupakan rongga dalam dinding sumur, cukup untuk berjongkok di dalamnya. Mula-mula Bill menyangka rongga itu jalan masuk ke lorong. Ia agak heran, kenapa begitu cepat dicapai. Tapi kemudian disadarinya kegunaan rongga itu, lalu ia beristirahat di situ sebentar. Setelah itu melanjutkan penurunan lagi, sementara Philip yang berganti istirahat sebentar dalam rongga. Rasanya lama sekali mereka menurun terus. Dan dalam kenyataannya, diperlukan waktu hampir sejam untuk itu. Mereka sempat beristirahat sebentar-sebentar dalam beberapa rongga yang dibuat untuk keperluan. Tapi walau begitu, akhirnya mereka sudah capek sekali. Kemudian sorotan senter yang diselipkan ke pinggang Bill, menerangi permukaan air yang gelap. Mereka sudah sampai di dasar sumur. "Kita sudah sampai!” seru Bill pada Philip. "Sekarang aku mencari lubang masuk ke lorong." Lubang itu ditemukan dengan mudah. Pada dinding sumur terdapat sebuah lubang bundar yang menganga, kelihatannya seperti lubang terowongan sempit. Dengan segera Bill masuk ke dalam lubang itu. Tempat itu gelap dan licin. Baunya tidak enak. "Aneh, udara di sini masih segar," pikir Bill. "Tapi memang, ketika menurun tadi kurasakan ada arus udara. Jadi rupanya terdapat aliran udara dalam lorong." Ditunggunya sampai Philip sudah sampai di situ. Kemudian mereka mulai menyusur jalan yang paling luar biasa, yaitu lorong di bawah dasar laut! Mulanya lorong itu sempit dan bertahap-tahap menuju agak ke atas. Keduanya terpaksa maju sambil membungkuk sedikit. Tapi setelah agak jauh masuk, lorong itu menjadi lebih lebar dan tinggi. Lantai dan dindingnya masih tetap licin dan berbau busuk. Tapi sementara itu Bill dan Philip sudah terbiasa. Setelah beberapa saat mereka mulai menurun. Lorong yang dilewati condong ke bawah — kadang-kadang agak terjal. Di tempat-tempat yang paling miring lantai dibuat bertangga-tangga, rupanya supaya orang yang lewat di situ jangan sampai terlalu sering terjatuh. Tapi licinnya bukan main! Bahkan kambing gunung pun, kalau lewat di situ pasti terpeleset. Bill langsung jatuh berdebam, disusul oleh Philip. "Singkirkan kakimu dari tengkukku," kata Bill, sambil berusaha bangkit kembali. "Aduh, benar-benar payah lewat di sini!" Tapi mereka berjalan terus. Akhirnya lorong itu tidak menurun lagi. Arahnya mendatar, di segala sisi dikelilingi batu cadas. Di tempat itu sama sekali tidak kelihatan tanah, pasir maupun kapur. Di mana-mana, yang ada cuma batu-batu belaka berwarna hitam legam. Di beberapa tempat nampak kilauan aneh. Pada beberapa tempat lorong menyempit, nyaris tidak bisa dilalui. "Untung kita berdua tidak gendut," kata Philip. Ditariknya perut ke dalam, supaya bisa lewat. "Wah, sempitnya bukan main! Mungkinkah batu di sini yang lama-kelamaan merapat — atau lorong ini memang sudah selalu sempit begini, Bill?" "Kurasa sudah selalu begini," jawab Bill. "Ini celah alam pada dasar laut. Menakjubkan! Tapi aku pernah mendengar, di tempat-tempat lain juga ada celah semacam begini. Dan di pesisir sini banyak celah semacam begini." Hawa dalam lorong itu panas. Di sana sini agak pengap. Napas Bill dan Philip agak tersengal-sengal ketika lewat di situ. Tapi mereka terus berjalan, diterangi cahaya senter yang menyinari dinding lorong yang hitam berlumut Philip mulai merasa seakan-akan bermimpi. Dikatakannya perasaan itu pada Bill. "Kau tidak bermimpi," jawab Bill dengan nada menenangkan. "Kita memang sedang berada di tempat yang aneh — tapi benar—benar ada, bukan mimpi. Mau kucubit, supaya yakin bahwa kau tidak mimpi?” "Cubitlah," kata Philip. Ia mulai merasa agak aneh, setelah begitu lama berada dalam lorong sempit dan gelap itu. Bill mencubitnya. Tapi tidak pelan-pelan! Philip terpekik kesakitan. "Aduh!" katanya. "Betul, aku tidak sedang mimpi. Tak mungkin bisa mimpi dicubit sekeras itu." Tiba-tiba Bill merasa seperti ada sesuatu yang lari dekat kakinya. la terkejut, lalu memandang ke bawah. Sorotan senter juga diarahkan ke situ. Bill tertegun, karena melihat seekor tikus kecil di dekat kakinya. Tikus itu memandangnya. "Eh, coba lihat," katanya pada Philip. "Ada tikus! Ada tikus di sini! Luar biasa. Makan apa dia di sini? Tak bisa kubayangkan ada hewan hidup dalam lorong bawah laut." Philip tertawa geli. “Ah, itu kan Woffly — tikus piaraanku! Rupanya ia keluar dari lengan bajuku lalu melompat ke bawah." "Kalau begitu sebaiknya ia cepat-cepat lagi masuk ke dalam lengan bajumu, kalau masih ingin hidup terus," kata Bill. "Tak ada binatang yang bisa tahan hidup lama di sini." "Nanti kan dia kembali lagi sendiri," kata Philip. "Woffly belum pernah pergi lama-lama." Dalam perjalanan itu Bill dan Philip beristirahat dua atau tiga kali. Perjalanan itu lama dan melelahkan. Selama beberapa waktu lorong lurus saja, tapi tahu-tahu berkelok-kelok sebentar. Lalu lurus lagi. Philip mulai berpikir-pikir, masih berapa lama lagi senternya tahan menyala. Tiba—tiba timbul rasa ngeri, membayangkan akan berada dalam lorong gelap, tanpa cahaya sama sekali. Bagaimana jika senter Bill juga padam nanti? Tapi Bill menenangkannya. "Aku membawa baterai cadangan," katanya, "jadi kau tak usah khawatir — kita takkan apa-apa di sini. O ya — aku jadi teringat lagi. Aku tadi membawa bekal permen. Kurasa perjalanan ini akan lebih ringan rasanya, apabila kita mengulum permen sambil berjalan." Mereka berhenti sebentar, sementara Bill Smugs mencari-cari dalam kantong. Ternyata katanya tadi benar! Langkah terasa menjadi agak ringan, apabila berjalan sambil mengulum permen. "Sudah berapa jauh perjalanan kita sampai sekarang?" tanya Philip. "Mungkin setengah jalan?" "Aku tidak tahu," kata Bill. Tiba-tiba ia berseru kaget. "He — apa ini?" Ia berhenti berjalan. Senter disorotkannya ke depan. Lorong kelihatannya seperti tersumbat di situ. "Aduh — kelihatannya langit-langit lorong runtuh di sini," kata Bill. "Kalau betul begitu, payah! Kita tidak bisa terus, karena tidak membawa apa-apa untuk menyingkirkan reruntuhan itu, untuk melihat apakah kita bisa terus atau tidak." Tapi nasib mereka sedang mujur. Ternyata tidak banyak batu yang runtuh dari atas. Ada satu yang agak besar, tapi jatuhnya di samping. Mereka berhasil lewat di sampingnya. . "He," kata Philip, setelah berjalan lagi agak lama, "Anda perhatikan tidak — batu di sini sudah lain warnanya, Bill! Sudah tidak hitam lagi kayak tadi, tapi kemerah-merahan. Bagaimana, apakah itu berarti bahwa kita sudah mendekati tambang tembaga?" "Ya, kurasa memang begitu," kata Bill. "Kalau betul begitu, kita bisa berharap lagi. Entah sudah berapa jam kita berjalan sampai sekarang —rasanya kayak sudah beratus-ratus — tapi kurasa sudah waktunya kita menghampiri pulau sialan itu." "Untung kita tadi cukup banyak makan sewaktu sarapan," kata Philip. "Tapi sekarang aku mulai merasa lapar lagi! Coba kita tadi membawa bekal!" "Aku banyak membawa coklat," kata Bill. "Nanti kuberi beberapa potong — kalau belum lumer tentunya! Aku takkan heran kalau lumer, karena hawa di bawah sini panasnya bukan main." Coklat itu memang menjadi sangat empuk, tapi belum sampai lumer. Philip ternyata sudah sangat lapar. Begitu Bill memberikan beberapa potong padanya, dengan segera ia memakannya dengan lahap. Hm — enak! Setelah itu mereka meneruskan langkah, menyusur lorong berdinding licin berlumut Di sana sini nampak kilatan warna tembaga yang kemerah-merahan. Mereka bernya-tanya dalam hati, masih berapa jauh lagi mereka harus berjalan sebelum sampai di tempat tujuan. "Kau kebetulan membawa peta tambang?" kata Bill dengan tiba-tiba. "Aku tadi lupa menyuruhmu membawanya. Sebentar lagi pasti akan kita perlukan." "Ya — ada dalam kantongku," kata Philip. "He — di depan lorong ini melebar!" Betullah — tiba-tiba lorong itu berakhir pada suatu rongga yang lapang. Rupanya itu ujung tambang. Di situ mungkin tembaga yang ditambang dulu habis, pikir Philip. Wah — bukan main besarnya kalau begitu tambang pada jaman dulu itu, dan betapa kayanya! "Nah — akhirnya kita sampai juga," kata Bill dengan suara pelan. "Ingat, mulai dari sekarang jangan ribut-ribut, Philip. Kita harus berusaha menemukan Jack, tanpa ketahuan orang-orang di sini." Philip merasa heran. "Kenapa kita tidak mendatangi teman—teman Anda yang ada di sini, lalu menanyakan pada mereka di mana si Bintik berada?" katanya. "Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Aku tidak mengerti!" "Pokoknya aku punya alasan untuk berbuat begitu," kata Bill. "Harap kauturuti, Philip — biarpun kau tidak bisa mengerti. Sekarang mana peta itu?" Philip mengambil benda yang diminta dari kantongnya, lalu diserahkan pada Bill. Bill membentangkannya di batu yang datar sisi atasnya. Lalu dipelajarinya peta itu dengan seksama, diterangi cahaya senter. Kemudian ia menuding suatu tempat. "Kita sekarang ada di sini," katanya. "Ini — di ujung lorong tambang. Kurasa bagian yang ini merupakan awal lorong di bawah dasar laut— tapi aku tidak begitu yakin mengenainya. Coba ceritakan sekarang — jalan mana dari sekian banyak lorong ini yang kalian ambil sewaktu masuk kemari waktu itu?" "Yah — ini dia liang utama yang kami masuki," kata Philip, sambil menuding gambar dalam peta. "Dan ini lorong utama yang kami lewati setelah itu — dan ini gua yang disinari cahaya terang- benderang. Lalu di sekitar sini kami mendengar bunyi berisik orang-orang yang sedang bekerja." "Bagus," kata Bill dengan nada puas. "Sekarang aku sudah tahu, kita harus menuju ke mana. Yuk, kita terus — tapi berjalan sepelan mungkin! Kita menuju ke lorong utama dulu. Lalu kita lihat, apakah Jack ada di sekitar situ. Atau kalau tidak — mungkin mendengarnya." Dengan hati-hati sekali mereka menyelinap, menuju lorong utama yang banyak cabang- cabangnya. Bill menutupi bagian depan senternya dengan tangan, supaya sinarnya tidak terlalu terang. Mereka belum sampai ke depan gua, di mana anak-anak waktu itu mendengar bunyi-bunyi berisik serta melihat cahaya terang-benderang. Tapi Philip tahu, pada suatu ketika mereka akan sampai juga ke situ. "Ssst!" desis Bill dengan tiba-tiba. Ia berhenti berjalan. Philip kaget. Bill begitu tiba-tiba berhenti, sehingga tertubruk olehnya. "Aku mendengar sesuatu,” bisik Bill. "Kedengarannya kayak langkah orang berjalan." Keduanya berhenti sambil menajamkan pendengaran. Seram rasanya berdiri dalam gelap sementara terdengar bunyi dentaman air laut yang tak henti-hentinya bergerak menghantam dasar batu di atas kepala. Tapi selain itu, Philip merasa seperti mendengar bunyi lain. Seperti ada kerikil tertendang orang yang sedang berjalan. Setelah itu sunyi. Karenanya Bill dan Philip lantas meneruskan langkah lagi, sampai kembali merasa mendengar bunyi sesuatu — sekarang dekat dengan tempat mereka berhenti. Dan Bill yakin mendengar napas orang di dekat mereka. Bill menahan napas, supaya bisa mendengar lebih jelas. Tapi rupanya orang itu juga menahan napas, karena Bill tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Hih— seram rasanya saat itu! Bill memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba mereka sampai di suatu tikungan. Bill menggapai—gapai, karena senter sudah dipadamkan sejak tadi, begitu terdengar bunyi yang tak dikenal. Dan pada saat Bill sedang menggapai-gapai ke dinding lorong, saat itu pula ada tangan yang menggapai—gapai dari arah berlawanan. Sebelum Philip tahu apa yang terjadi, tahu—tahu didengarnya seseorang berseru. Dirasakannya Bill bergulat dengan orang lain di depannya. Aduh —apa lagi yang terjadi sekarang? Bab 25 PENEMUAN YANG MENGHERANKAN Sekarang - apakah yang terjadi dengan Jack dan Kiki selama itu? Ternyata banyak sekali. Dan pengalamannya itu ada yang sangat mengherankan. Nyaris tak bisa dipercaya, karena begitu –luar biasa! Jack tidak tahu bahwa Philip, Dinah dan Lucy-Ann berhasil melarikan diri. Ia bahkan sama sekali tidak mengetahui bahwa sebelumnya ketiga anak itu tertangkap. Jack pergi menyusul kakaktuanya yang lain, dan kemudian ia tersesat Beberapa jam kemudian kedua laki-laki yang sedang mengejar anak-anak yang minggat mendengar suara Kiki berteriak-teriak lalu mengejar. Tapi kedua laki-laki itu memasuki lorong yang keliru, jadi tidak menemukan Jack. Setelah itu Jack masih berkeliaran terus bersama Kiki. Lorong demi lorong dimasukinya. makin lama ia semakin jauh masuk ke bagian tambang yang lebih tua. Ia sudah ketakutan saja, jangan-jangan baterai senternya menjadi kosong. Ia juga mengkhawatirkan langit-langit lorong yang mungkin runtuh lalu menimpanya. Macam-macam yang ditakutinya saat itu. "Jangan-jangan aku akan tersesat untuk selama-lamanya di sini," pikir Jack. "Jangan-jangan aku sekarang sudah jauh sekali dari lorong utama." Tahu-tahu ia sampai ke suatu bagian lorong, yang di sebelah atasnya ada lubang. "Tentu saja — ini pasti salah satu dari sekian banyak liang yang ada di pertambangan ini," pikirnya. Jantungnya berdebar keras. "Untunglah— kini aku bisa memanjat ke atas, lalu keluar lagi ke alam bebas." Tapi tidak ada jalan baginya untuk memanjat ke dalam liang itu. Kalau dulu di situ mungkin ada tangga atau tali untuk memanjat ke atas — barang itu sudah tidak ada lagi sekarang. Mungkin sudah lapuk, lalu hancur dengan sendirinya! Pokoknya, Jack tidak bisa naik ke dalam liang itu. Tidak enak rasanya berdiri di bawah liang, mengetahui bahwa kebebasan, cahaya matahari dan udara segar ada jauh di atas — tapi kesemuanya itu tidak bisa dicapai, karena tidak ada jalan untuk menuju ke tempat itu. "Kalau aku ini anak perempuan, pasti sudah sedari tadi aku menangis," kata Jack. Matanya terasa pedih dan basah. Rasanya ada air mata menggenang di situ. "Tapi aku laki—laki! Aku harus tabah." Dipaksakannya dirinya tersenyum, sementara Kiki mendengarkan kata-katanya sambil memiringkan kepala. "Jerangkan air," kata burung itu dengan nada menghibur. Kini Jack benar-benar nyengir, mendengar ocehan kakaktua kesayangannya. "Kau memang konyol," kata Jack sayang. "Tapi — apa yang harus kita lakukan sekarang? Menurut perasaanku kita selama ini berjalan bolak-balik lewat lorong yang itu-itu juga. Tapi nanti dulu! Liang-liang yang ke atas ini semuanya kan terletak di Pulau Suram! Kalau begitu rupanya aku tadi berjalan kembali, karena sebelumnya aku kan sudah sampai di bawah. dasar laut, bersama anak—anak yang lain. Dan sepanjang ingatanku, semua liang yang ada di sini dihubungkan oleh sebuah lorong yang bisa dibilang lurus. Kalau begitu sebaiknya kuikuti saja lorong ini. Siapa tahu, nanti mungkin bisa sampai ke liang utama. Kalau bisa sampai ke situ, aku akan bisa ke atasi" Jack mullai menyusur lorong. Tapi akhirnya sampai pada suatu bagian yang tersumbat Rintangan itu tidak bisa dilewati. Jadi ia terpaksa kembali lagi, lalu mengambil jalan lain. Tapi lewat situ pun, akhirnya terhalang reruntuhan langit-langit. Ia semakin putus asa. Kiki bosan mondar-mandir terus di tempat yang selalu gelap. Ia menirukan bunyi orang menguap. "Tutup mulut dengan tangan," katanya memarahi diri sendiri. "Sudah berapa kali kukatakan tutup pintu! God save the Queen!” "Wah — sekarang aku juga ketularan mengantuk," kata Jack, lalu duduk. "Kita istirahat sebentar ya, Kiki? Aku sudah capek sekali." Jack menyandarkan punggungnya ke dinding lorong, lalu memejamkan mata. Tahu-tahu sudah tertidur. Sekitar dua jam ia pulas di situ. Ketika bangun lagi, mula—mula ia tidak tahu di mana ia berada. Tapi begitu teringat lagi, langsung timbul rasa ngeri. Ia buru-buru berdiri, sementara Kiki masih selalu bertengger di pundaknya. "Jangan panik," katanya menasihati diri sendiri. "Jalan terus — nanti kan dengan sendirinya tiba di salah satu tempat" Ketika ia sedang berjalan itulah, Kiki mendengar suara Jake dan Olly berteriak-teriak mengejar anak-anak yang minggat, Dengan segera Kiki ikut berteriak-teriak pula. Tapi Jack tidak mendengar apa-apa. la membelok masuk ke dalam suatu lorong samping, beberapa saat sebelum kedua .laki-laki yang mengejar lewat dalam lorong semula. Jack tidak tahu bahwa saat itu ia sudah dekat sekali ke liang utama. Tapi tidak lama kemudian ia sampai di lorong utama. Ia tertegun. "Mungkinkah ini lorong utama yang nampak dalam peta?" pikirnya. "Mungkin saja! Coba aku membawa senter yang lebih terang! Mudah-mudahan saja yang ini tidak padam karena baterainya kosong. Nyalanya sudah tidak seterang tadi lagi." . Jack menyusur lorong itu. Setelah beberapa lama berjalan, dilihatnya di depan ada semacam tangga yang ditatah pada dasar batu, mengarah ke atas. Karena ingin tahu, didakinya tangga itu. Ternyata ia sampai di lorong lain, yang nampaknya menuju ke bekas tempat penggalian pula. Saat itu Jack tersandung, lalu jatuh membentur dinding lorong. Sesuatu yang rasanya seperti bongkah batu terlepas lalu jatuh ke dasar lorong. Jack menyorotkan senter untuk melihat dari mana benda itu jatuh. la sudah khawatir saja, jangan-jangan langit-langit yang runtuh. Tapi ternyata bukan. Cahaya senternya menerangi sesuatu berwarna kemerah-merahan. Rupanya batu besar, pikir Jack. Tapi kemudian disadarinya bahwa yang dilihatnya itu bukan batu. Mestinya - ya, pasti — itu bijih tembaga yang besar sekali! Aduh, bukan main bagusnya! Kuatkah ia mengangkat bijih tembaga itu? Jack mengorek bijih itu dari tempatnya dengan tangan gemetar. Bijih itu terselip dalam suatu celah di batu. Mungkinkah ada yang sengaja menyembunyikannya di situ, dulu? Atau ditaruh Oleh salah seorang yang mengerjakan tambang itu lagi sekarang? Atau mungkin memang dari semula sudah ada di situ? Jack tidak tahu. Bijih tembaga itu berat. Tapi Jack masih mampu menggendongnya. Bijih tembaga! Berulang kali Jack menyebutkan kata—kata itu pada dirinya sendiri. Rasanya hampir seperti menemukan burung auk besar. Memang tidak sebegitu menggairahkan - tapi hampir sama! Apa kata anak-anak nanti, kalau bisa melihatnya? Jack semakin berusaha keras untuk menghindari kemungkinan ketahuan. Kalau para pekerja yang ada di situ menjumpainya, jangan—jangan mereka akan merampas bijih tembaga itu dari tangannya. Kini Jack terpaksa menyelipkan senter ke pinggangnya, karena kedua tangannya sudah dipakai untuk menggendong bijih tembaga yang berat. Repot rasanya berjalan, karena senter menyinar ke bawah, dan tidak lagi ke depan seperti sebelumnya. Tiba-tiba Jack berhenti melangkah. Didengar-nya bunyi samar di kejauhan. "Kurasa aku sedang menuju ke bunyi berisik yang pernah kudengar bersama Philip serta anak-anak yang lain, yang datangnya dari tempat orang-orang yang bekerja. Mungkin saat ini aku juga sudah berada di dekat anak-anak itu." Jack maju lagi, tapi kini semakin berhati-hati. Ia menyusur lorong, yang tahu-tahu menikung —dan tahu-tahu ia sudah berdiri di ambang gua lapang yang terang-benderang. Ketika pertama kali sampai di situ, gua itu kosong. Tapi kini ada beberapa orang di situ. Mereka sibuk membongkar isi peti dan kotak-kotak yang waktu itu pun sudah ada di situ. Jack memperhatikan dan tempat terlindung. la ingin tahu, apa isi peti-peti itu. "Aku sekarang sudah kembali dalam lorong, di mana Kiki kaget lalu terbang dan aku menyusul-nya," pikir Jack. "Aku ingin tahu, apa yang kemudian terjadi dengan anak-anak yang lain. Ah, enak rasanya bisa melihat cahaya terang lagi. Sebaiknya aku bersembunyi saja di balik batu yang mencuat ini, supaya tidak ketahuan." Kiki membisu. Burung itu ketakutan melihat cahaya terang, setelah begitu lama berkeliaran dalam gelap. Ia tetap bertengger di pundak Jack, sambil memperhatikan. Isi kotak-kotak serta peti-peti itu ternyata makanan dalam kaleng. Jack merasakan perutnya yang sudah lapar sekali, ketika melihat makanan sebegitu banyak. Ia memang sudah lama tidak makan sedikit pun. Sementara itu orang-orang yang berada dalam gua membuka beberapa kaleng. Isinya dituangkan ke piring—piring kaleng, lalu mereka makan sambil mengobrol sesama mereka. Tapi Jack tidak bisa menangkap obrolan mereka. Perutnya terasa begitu lapar, sehingga nyaris saja ia menghampiri orang-orang itu untuk meminta sedikit. Tapi orang-orang itu tidak memberi kesan ramah. Mereka hanya memakai celana panjang. Tubuh sebelah atas dibiarkan telanjang. Hawa dalam tambang panas sekali. Tak tahan apabila mengenakan pakaian yang macam-macam. Jack sendiri pun ingin bisa cuma memakai celana pendek saja. Tapi tanpa baju, pasti cengkeraman kuku Kiki di pundaknya akan terasa sakit sekali. Orang-orang itu selesai makan, lalu pergi memasuki lorong yang terdapat di ujung gua. Di tempat itu tidak ada siapa—siapa lagi, sementara di kejauhan terdengar kembali bunyi berisik orang-orang bekerja. Rupanya orang-orang tadi sudah mulai sibuk lagi. Jack menyelinap masuk ke gua yang terang—benderang itu. Sesampai di situ dilihatnya bahwa cahaya terang itu berasal dari tiga buah lampu yang digantungkan di langit-langit. Jack menghampiri kaleng-kaleng yang sudah dibuka, lalu melihat isinya. Ternyata dalam salah satu kaleng masih tersisa daging, sedang dalam kaleng lain nampak beberapa potong nenas. Jack melahap makanan itu dengan cepat Menurut perasaannya saat itu, belum pernah ia memakan makanan senikmat sisa-sisa itu. Selesai makan, Jack memutuskan untuk masuk ke dalam lorong, di mana dilihatnya orang-orang tadi pergi. la ingin melihat cara bekerja dalam tambang tembaga. Alat apakah yang dipakai? Mungkin beliung? Atau apakah tembaga yang ada dalam batu harus diledakkan .supaya terlepas? Apakah yang sedang dikerjakan orang-orang itu, sehingga suaranya begitu berisik? Yang terdengar seperti mesin besar yang sedang bekerja. Jack menyelinap terus dalam lorong itu. Tahu-tahu ia sampai di tepi gua lain. la tertegun, ketika melihat apa yang ada di situ. Dalam gua itu nampak sekitar sepuluh sampai dua belas orang, sibuk melayani mesin-mesin yang menimbulkan bunyi berisik. Gema bunyinya memenuhi ruangan bawah tanah itu. Mesin-mesin itu digerakkan sebuah motor, yang juga menimbulkan bunyi berisik. "Mesin-mesin aneh!" pikir Jack, sambil memperhatikan dengan heran. "Bagaimana caranya memasukkan benda-benda besar itu ke dalam tambang ini? Ah — mungkin dibawa sepotong-sepotong, dan kemudian baru dipasang di sini. Bukan main sibuknya!" Jack memperhatikan terus apakah orang-orang itu sedang menghasilkan logam tembaga dengan mesin—mesin itu? la tahu, berbagai jenis logam harus dipanggang, dilebur atau diolah dulu bijihnya, untuk memperoleh logam mumi. Menurut perasaannya, itulah yang sedang dilakukan orang-orang di dalam gua itu. Jadi jelas bahwa dalam tambang itu tembaga tidak biasa ditemukan berbentuk bijih logam mumi, seperti yang digendong Jack saat itu. Salah seorang pekerja mengusap keningnya yang berkeringat, lalu menuju ke tempat di mana Jack sedang bersembunyi. Anak itu cepat—cepat lari memasuki sebuah rongga sempit, menunggu orang itu lewat. Kemudian orang itu kembali lagi, membawa mangkuk berisi air minum. Jack bersandar pada sisi belakang rongga. Disangkanya itu dinding batu. Tapi tahu—tahu ‘dinding’ itu terdorong ke belakang, sehingga Jack terjerembab. Ia menyorotkan senternya ke situ. Ternyata yang disangkanya dinding itu sebetulnya pintu kayu yang kokoh. Dan di balik pintu ada sebuah bilik kecil. Kelihatannya seperti tempat Philip, Dinah dan Lucy-Ann disekap. Tiba-tiba terdengar langkah orang mendekat. Jack cepat-cepat masuk ke dalam bilik itu, lalu menutup pintunya. Tapi ternyata orang yang datang itu cuma lewat. Jack menyalakan senternya lagi. Ia ingin melihat, ada apa dalam bilik itu Ternyata bilik itu penuh dengan kertas bertumpuk-tumpuk Kertas-kertas itu tersusun rapi dan dibundel. Masing-masing bundel terdiri dari kertas-kertas yang sama ukuran serta warnanya. Jack memandang bundel-bundel itu — rnengejapkan mata sekali — lalu memandang lagi. Tidak! Ia tidak salah lihat. Di depannya nampak beribu-ribu bundel uang kertas. Ada yang bernilai satu pound, ada yang lima pound dan sepuluh pound. Semua ditumpuk rapi. Nilai keseluruhannya pasti lebih dari sejuta! "Aku pasti sedang mimpi sekarang," kata Jack, sambil menggosok-gosok mata. "Tak ragu lagi aku sedang mimpi luar biasa! Sebentar lagi pasti terbangun. Mustahil tahu-tahu menemukan harta karun di bawah tanah! “Tidak, tidak mungkin! Lebih baik aku bangun saja sekarang." Bab 26 KETAHUAN Tapi Jack tidak bisa bangun. Hal itu tidak aneh — karena ia memang tidak sedang mimpi! Matanya terbelalak, menatap tumpukan uang kertas di depannya. Ia sama sekali tidak mengerti. “Apa sebabnya uang sebanyak itu disimpan di situ? Dalam sebuah gua, di bawah tanah? Siapa pemiliknya? Kenapa tidak disimpan di bank, seperti lazimnya? Atau mungkin mereka yang mengolah tambang ini menggali tembaga yang banyak sekali, lalu menjualnya dengan diam-diam. Sedang uang hasil penjualan, disimpan di sini," pikir Jack. Ia masih terus bingung melihat harta yang begitu banyak tertumpuk di hadapannya, sehingga tidak mendengar ada orang menghampiri pintu bilik itu. Orang itu membuka pintu. Ketika ia melihat Jack di dalam bilik, kagetnya bukan main. Bahkan lebih kaget daripada Jack! Anak itu ditatapnya dengan mulut ternganga karena heran. Tapi kemudian Jack dicengkeram olehnya, dan diseret ke ruangan yang banyak mesin-mesinnya. "Ha — coba lihat ini!" serunya pada kawan-kawannya. ”Aku menemukan anak ini dalam bilik tempat penyimpanan." Dengan segera mesin—mesin dimatikan. Para pekerja yang ada di situ mengerumuni Jack serta orang yang mencengkeramnya. Salah seorang di antara mereka melangkah maju. Orang itu Jake. Tampangnya sangat menyeramkan. Kain hitam yang menutupi matanya yang satu menyebabkan ia kelihatan aneh sekali. Jack diguncang-goncangkannya dengan kasar. Anak itu sampai sesak napasnya, lalu roboh ke tanah ketika dilepaskan lagi. "Mana teman-temanmu?" bentak Jake. "Ayo katakan? Dengan siapa kau kemari? Apa yang kalian lakukan di sini? Apa saja yang kalian ketahui?" Jack memungut bijih tembaganya yang terjatuh. Kemudian ia memandang berkeliling. Ia mencari Kiki yang tadi terbang ke langit-langit gua karena ketakutan. Sementara itu ia memutar otak, mencari-cari jawaban yang rasanya paling baik. Jack heran sekali, karena ternyata bijih tembaganya sama sekali tidak diacuhkan orang-orang itu. Tadi ia sudah khawatir saja, jangan-jangan hasil penemuannya itu dirampas. Tapi ternyata tidak. "Aku tidak tahu di mana kawan-kawanku sekarang," katanya kemudian. "Kami kemari bersama-sama, dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Tapi kemudian aku tercecer." "Kecuali ketiga anak itu, siapa lagi yang datang bersamamu?" desak Jake. "Tak mungkin kalian datang sendiri ke pulau ini." "Tapi kenyataannya begitu," kata Jack berkeras. "O ya — uang yang begitu banyak di sana — siapa pemiliknya?" Orang-orang yang mengerumuninya mulai menggerutu. Jack celingukan dengan perasaan tidak enak. Tampang Jake berubah, merah padam. la berpaling, memandang kawan-kawannya. "Ada sesuatu yang tidak beres di sini," katanya. Kawan-kawannya mengangguk. Kemudian Jake menatap Jack kembali. "Sekarang dengar baik-baik! Rupanya lebih banyak yang kauketahui, daripada yang kauceritakan pada kami. Rupanya ada yang bercerita padamu, ya? Nah – sekarang katakan segala-galanya yang kauketahui, apabila masih ingin melihat sinar matahari di atas! Mengerti?" Jack mengerti. Ancaman Jake tak mungkin lagi salah dimengerti olehnya. Anak itu gemetar ketakutan. Tiba-tiba orang-orang yang mengerumuninya kaget Tahu-tahu Kiki menjerit keras sekali. "Aku tak mengerti maksudmu," kata Jack bingung. "Yang kami ketahui cuma bahwa ada yang kembali mengolah tambang tembaga ini, dan Bill Smugs bertugas mengantarkan makanan ke sini dengan perahunya. Sungguh — cuma itu saja yang kuketahui." "Bill Smugs," kata Jake mengulangi nama itu. "Anak-anak yang lain juga menyebutkan nama itu. Siapa itu — Bill Smugs?" Jack bertambah bingung sekarang. "Itu bukan namanya yang asli?" tanyanya kemudian. "Siapa namanya yang asli?" tanya Jake dengan tiba-tiba. Suaranya terdengar sangat mengancam. Jack ketakutan sekali, dikiranya Jake hendak menempeleng dirinya. Bijih tembaga yang digen-dongnya terjatuh, dekat ke ujung kaki Jake. Orang itu memungutnya. Diperhatikannya bijih tembaga itu dengan heran. "Batu apa ini?" tanyanya ingin tahu. "Kalian sudah sinting rupanya, ya? Burung kakaktua – batu berat — Bill Smugs —— serta tambang tembaga! Apa-apaan ini sebetulnya?" "Kurasa anak ini lebih banyak mengetahui daripada yang mau diceritakannya," kata Olly. Orang itu maju, lalu berdiri di samping Jake. "Bagaimana jika dia kita kurung sehari dua, tanpa diberi makan sama sekali? Pasti nanti ia mau membuka mulut! Atau bagaimana jika kita pukuli saja?" Tampang Jack pucat mendengarnya. Tapi tak ditunjukkannya bahwa ia takut. "Tahuku cuma yang sudah kukatakan tadi," katanya. "Apa sebetulnya yang masih bisa diketahui di sini? Apa sebetulnya yang dirahasiakan?" "Bawa dia pergi!" sergah Jake. "Kalau sudah setengah mati kelaparan, pasti mau membuka mulut juga." Olly mencengkeram bahu Jack, lalu mandorongnya pergi dari gua itu. Jack menggiringnya ke gua yang mirip tempat pengurungan, di mana sebelumnya anak-anak yang tiga lagi disekap. Ketika Olly hendak mendorong Jack ke dalam, tiba-tiba Kiki menyambar dari atas. Muka laki-laki itu diserangnya habis-habisan dengan paruhnya. Olly mengangkat tangannya tinggi—tinggi untuk melindungi muka, sedang senter yang dipegangnya terjatuh ke lantai lalu padam. Jack memanfaatkan kesempatan baik itu untuk mengelak ke samping. Ia merunduk di luar bilik, tanpa bersuara sedikit juga. Kiki tidak tahu di mana tuannya berada, Karena itu ia terbang ke dalam bilik lalu bertengger di atas meja. Ruangan itu gelap gulita. "Wah, wah — sayang!” katanya nyaring. Saat itu juga terdengar bunyi pintu ditutup dengan cepat. Olly yang melakukannya, karena menyangka Jack yang berbicara di dalam. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Kiki pandai bercakap-cakap. Pintu langsung dikunci dari luar, sementara Kiki masih mengoceh terus dengan suara pelan. Baik Jack maupun Olly tidak bisa mendengar apa yang diocehkannya. Ketika Olly berpaling hendak pergi, Jake datang menghampiri. "Sudah kaukurung?" tanyanya pada Olly, sambil menyorotkan senter ke pintu yang tertutup. "Sudah," jawab Olly, "dengar saja sendiri, sekarang dia mengoceh sendiri di dalam. Kurasa anak itu sinting!" Keduanya lantas memasang telinga. Sekarang terdengar jelas ocehan "Sayang, aduh sayang!" "Dia menyesali nasibnya," kata Jake, lalu tertawa keras-keras. Hati Jack kecut mendengarnya. "Tapi nanti pasti akan lebih menyesal lagi." Keduanya kembali ke dalam gua yang banyak mesin-mesinnya. Sesaat kemudian sudah terde-ngar lagi suara berisik yang semula. Jack berdiri dari tempat persembunyiannya. Kiki tadi menye-lamatkan dirinya dari siksaan. Kiki yang malang -— burung itu tidak tahu bahwa ia baru saja menyelamatkan tuannya. Jack menghampiri pintu. Maksudnya hendak membukanya lagi supaya Kiki bisa keluar. Tapi anak kuncinya tidak ada lagi di situ. Rupanya dibawa orang-orang tadi. Jadi kini Kiki terkurung dalam bilik sempit itu, sampai ada yang mengeluarkannya lagi. Tapi Jack sendiri sekarang bebas. "Ada sesuatu yang tidak beres dalam urusan ini," pikirnya. "Ada sesuatu yang tidak beres dengan uang yang sebanyak itu — begitu pula dengan segala mesin yang ada di sini. Tadi itu orang-orang jahat — tak mungkin mereka teman-teman Bill. Kurasa kita keliru." Setelah itu Jack mulai menyusur lorong dengan berhati-hati sekali. Ia tidak berani menyalakan senter. Coba ia bisa menemukan 'liang utama' lalu naik ke atas — mungkin anak-anak yang lain menunggunya di sana! Tapi jangan-jangan mereka sudah pulang, dan ia ditinggal sendiri di situ! Masih siangkah saat itu, atau sudah malam? Jack menyusur lorong demi lorong. Ia merasa kesepian. Kecuali itu juga takut. Sayang Kiki tidak ada, untuk menemaninya. Jack ingin sekali bisa bicara dengan seseorang. Bahkan ocehan burung kakaktua pun akan sudah agak menenangkan perasaannya. Akhirnya Jack kehabisan tenaga. Ia tidak kuat lagi meneruskan langkah. Direbahkannya tubuh-nya di pojok sebuah gua sempit, lalu tidur di situ. Tidurnya tidak bisa anak. Tapi karena tubuhnya sudah capek sekali, ia tertidur sampai beberapa jam lamanya. Tubuhnya kaku, karena berbaring di atas batu yang keras. Ketika Jack terbangun lagi beberapa jam kemudian, tangannya langsung meraba pundak. Tapi ia tidak merasakan apa-apa di situ. Barulah ia teringat kembali, bahwa Kiki saat itu disekap dalam bilik dekat gua yang terang. Berkat jasa Kiki dan kemampuannya bicara seperti manusia, Jack bisa bebas lagi. Dan kini banyak sekali yang diketahui anak itu. Ia tahu tentang harta yang tersembunyi. Ia juga tahu tentang mesin-mesin yang disembunyikan dalam gua-gua di bawah tanah, karena alasan yang tidak diketahui olehnya. Tapi ia tahu, orang-orang yang melayani mesin-mesin itu bukan tergolong orang yang baik-baik. Dan jika orang-orang itu merasa bahwa rahasia mereka — entah apa rahasia itu — ketahuan, maka segala-galanya pasti akan mereka lakukan untuk mencegah rahasia itu sampai tersebar. "Aku kini harus berusaha minggat, lalu melaporkan hal-hal yang kuketahui," pikir Jack. "Kurasa aku perlu menghubungi polisi. Sebetulnya aku kepingin menceritakannya pada Bill, karena sekarang aku merasa bahwa ia tidak bersekutu dengan orang-orang itu. Tapi — aku masih belum yakin! Tapi jelas, aku harus menceritakan hal-hal yang kuketahui pada seseorang." Setelah itu Jack mulai berjalan lagi, kembali menelusuri lorong demi lorong dalam tambang itu. Sementara itu cahaya senternya sudah semakin redup. Tiba-tiba senternya padam! Jack menepuk-nepuknya. Lalu membuka bagian bawahnya. Dipasang lagi. Tapi percuma - baterainya yang sudah habis! Perlu diganti dengan yang baru. Tapi justru itu yang tidak mungkin pada saat itu. Kini Jack benar-benar ketakutan. Tinggal satu harapannya untuk bisa melarikan diri — yaitu secara kebetulan menemukan liang utama tempat mereka turun ke dalam lorong-lorong tambang. Tapi kemungkinan itu kecil sekali. Jack meneruskan langkahnya sambil menggapai-gapai. Bijih tembaga yang masih selalu digendong terasa berat sekali. Tiba-tiba ia merasa seperti mendengar sesuatu. Ia berhenti- dan memasang telinga. Tapi tidak — rupanya ia tadi salah dengar. Perjalanan dilanjutkan. Tahu-tahu Jack tertegun lagi. Entah kenapa, tapi ia merasa pasti di dekatnya ada orang. Mungkinkah yang didengarnya itu tarikan napas seseorang? Jack tertegun dalam gelap, sambil menahan napas. Dipertajamnya pendengaran. Tapi kembali tidak ada apa-apa yang bisa didengar. "Mungkin orang itu juga menahan napas dan memasang telinga," pikirnya. Jack melangkah maju. Tahu-tahu ia menubruk seseorang. Jangan-jangan itu Jake, atau Olly! Jack meronta-ronta, sedang orang yang tak kelihatan di depannya itu mencengkeramnya kuat-kuat. Bijih tembaga yang dipegang Jack terlepas dan jatuh menimpa kakinya. "Aduh, kakiku -- kakiku," erang Jack. Saat itu juga memancar cahaya terang menyinari mukanya. Orang tak dikenal yang bergulat dengannya menyalakan senter, lalu berseru kaget, "Wah — ini kan Jack!" "Bintik!" Itu suara Philip, pikir Jack. Saat berikutnya ia merasa punggungnya ditepuk temannya itu. "Bintik! Memang nasib sedang mujur -- bisa kebetulan berjumpa denganmu di sini!" "Jambul! Billl" kata Jack. Suaranya agak parau, karena gembira dan lega. Aduh, senangnya mendengar suara-suara yang dikenal, setelah begitu lama sendirian dalam gelap! Senang sekali rasanya bisa melihat Philip kembali, dengan jambulnya yang mencuat dari ubun-ubun. Dan Bill yang selalu nyengir, serta matanya yang berkilat jenaka. Jack merasa lega. karena kini ada seorang dewasa yang bisa membantunya. Anak-anak memang bisa menanggulangi persoalan — tapi sering juga terjadi peristiwa, di mana diperlukan pertolongan orang dewasa untuk menghadapinya! Jack tersedak karena terharu. Bill menepuk-nepuk punggungnya. "Senang rasanya melihatmu lagi, Jack," kata Bill. "Pasti banyak sekali yang bisa kauceritakan pada kami." "Memang," kata Jack. Ia mengambil sapu tangan, lalu menyapu hidungnya dulu. Nah - sekarang perasaannya sudah lebih enak. "Mana Dinah dan Lucy-Ann?" "Sudah selamat, di rumah," kata Philip. "Kemarin tahu-tahu kau sudah tidak ada lagi bersama kami, Jack. Setelah itu kami ketahuan lalu disekap. Tapi kami berhasil melarikan diri naik ke atas lewat liang utama, pergi ke perahu lalu berlayar kembali ketika hari sudah mulai gelap. Setelah itu kudatangi Bill, dan inilah dia sekarang! Kami tidak bisa kemari dengan perahunya, karena perahu itu dirusak orang. Sedang perahu Jo-Jo tidak ada di tempat yang biasa." "Kalau begitu — bagaimana kalian bisa kemari?" tanya Jack heran. "Ada jalan di bawah dasar laut, dari Craggy-Tops ke sini," kata Philip. "Nah, apa katamu sekarang? Kami mengetahuinya dari sebuah buku kuno tentang Craggy-Tops. Tapi jalan itu jauh sekali. Lama sekali kami baru sampai. Hih — seram rasanya lewat jalan itu. Tapi pokoknya kami sampa di sini sekarang." Jack mengajukan pertanyaan secara beruntun-runtun. la ingin tahu tentang jalan yang luar biasa itu. Tapi Bill juga ingin mengajukan beberapa pertanyaan padanya. _ "Kesemuanya ini jauh lebih penting dari sangkaanmu, Jack," kata Bill. "Kita duduk saja dulu di sini. Kurasa kau bisa membantu aku memecahkan suatu teka-teki yang rumit." Bab 27 PERSOALAN MENJADI JELAS "Ada beberapa kejadian aneh yang ingin kuceritakan pada Anda," kata Jack bersemangat "Pertama-tama, coba terka apa yang kujumpai tadi! Bayangkan — sebuah gua berbentuk bilik, penuh sesak dengan tumpukan uang. Uang kertas! Kurasa di situ pasti ada beribu-ribu pound uang kertas. Mungkin bahkan jutaan! Pokoknya, banyak sekali!" “Ah,” kata Bill. Suaranya bernada puas. "Ah — itu baru kabar namanya. Bagus, Jack!" "Lalu aku melihat mesin-mesin, banyak sekali—semua sedang berjalan," sambung Jack. la merasa senang, karena kabarnya begitu menarik perhatian Bill. "Mesin-mesin itu dijalankan sebuah motor Mula-mula kusangka peralatan itu gunanya untuk memurnikan tembaga — pokoknya untuk mangolah hasil galian! Tapi salah satu masin itu kelihatannya kayak masin cetak." "Aha!" kata Bill lagi. Suaranya kedengaran semakin puas. "Ini benar-benar kabar bagus. Menakjubkan! Jack, kau berhasil membongkar misteri yang sudah lima tahun tidak berhasil dipecahkan! Misteri yang membingungkan pemerintah selama ini, dan juga polisi!" "Misteri apa itu?" tanya Jack. "Kurasa aku tahu," sela Philip bergairah. "Bill, mesin-mesin itu kan untuk membuat uang kertas palsu, ya? Dan uang palsu yang selasai dicetak, kemudian disimpan untuk sementara dalam bilik yang ditamukan Jack. Kemudian diangkut dari pulau ini, lalu dipakai untuk menipu." "Ya, betul," kata Bill. "Sudah bertahun-tahun kami mencari komplotan pemalsu uang ini. Tapi tak berhasil menamukan tempat mereka mencetak. Kami bahkan tidak bisa tahu, dari mana asal-usul uang palsu itu. Pembuatannya sangat rapi. Hanya orang yang benar-benar ahli, yang mampu membeda—bedakan mana uang yang asli dan mana yang palsu." "Wah, Bill! Kalau begitu orang-orang itu sama sekali bukan menggali tembaga!" saru Jack tercengang. "Rupanya sangkaan kami keliru. Mereka bekerja dalam tambang kuno ini bukan untuk menggali tembaga, tapi untuk menyembunyikan mesin-mesin cetak mereka supaya bisa bekerja dengan aman. Cerdik sekali mereka! Sangat cerdik!" "Memang," kata Bill geram. "Mereka cuma memerlukan seorang perantara — seseorang yang saban kali datang mengantarkan makanan serta keperluan lain-lainnya, serta mengangkut tumpukan uang palsu ke tempat pimpinan mereka. Yah — dan justru perantara itulah yang menyebabkan rahasia mereka terbongkar!" "Siapa orangnya?" tanya Jack penuh minat. "Kami kenal atau tidak?" "Tentu saja kenal," kata Bill. "Kusangka kalian akan bisa langsung. menebaknya. Orang itu — Jo-Jo!" "Jo-Jo?" seru Jack dan Philip serempak. Seketika itu juga mereka menyadari duduk perkaranya. "Ya, memang cocok! Ia mempunyai perahu, dan ia cukup mengatakan hendak memancing apabila hendak pergi ke Pulau Suram," kata Philip. "Ia bahkan bisa berangkat malam-malam, kalau perlu. Sinar isyarat yang dilihat Jack berasal dari orang-orang di pulau sini — dan Jo-Jo yang membalas isyarat itu dari atas tebing, pada malam hari ketika Jack menjumpainya di sana." "Ya, betul," kata Jack. Ia ingat kembali pada kejadian itu. "Lalu saban kali ia pergi berbelanja dengan mobil, kurasa sekaligus dibawanya pula sebagian dari uang palsu itu ke kota. Dan di sana diserahkan pada pimpinan komplotan itu. Pantas ia tidak pernah mau jika kita ingin ikut naik mobil atau naik perahunya. Rupanya ia khawatir kalau - kalau rahasianya ketahuan." "Kau ingat kotak-kotak dan peti-peti yang ada dalam gudang sebelah belakang, di belakang pintu yang selalu ditutupinya dengan kotak-kotak kosong yang bertumpuk-tumpuk?" kata Philip. "Nah, kurasa semuanya itu sama sekali bukan kepunyaan Bibi Polly. Aku berani bertaruh, itu pasti simpanan Jo-Jo, yang akan diangkutnya ke sini apabila ia berangkat lagi naik perahu." Jack mengangguk. "Lalu ocehannya mengenai ’macam-macam' yang berkeliaran malam hari di atas tebing, itu cuma karangannya sendiri agar kita tidak berani keluar malam, dan dengan begitu akan mengetahui apa yang dilakukan olehnya," sambung Philip. "Wah -— kelihatannya semua cocok sekarang, ya?" "Kelihatannya begitu,“ kata Bill dengan perasaan geli. Selama itu ia mendengarkan saja, dengan penuh minat. “Tapi Anda — apa sebabnya datang ke pesisir sini, dan tinggal dalam pondok reyot itu?" tanya Jack dengan tiba-tiba pada Bill. "Anda betul-betul mengamat-amati burung di situ?" "Tentu saja tidak," kata Bill sambil tertawa. "Aku sama sekali tak menyangka berhadapan dengan seorang penggemar burung yang sejati, ketika kukatakan pada kalian bahwa aku ini gemar mengamat-amati kehidupan burung. Beberapa kali saja aku nyaris terjebak olehmu, Jack! Akhirnya aku terpaksa banyak membaca tentang burung yang sama sekali tidak menarik perhatianku, supaya kau jangan curiga karena tak banyak yang kuketahui tentang burung. Wah — waktu itu aku benar-benar agak bingung. Tentu saja tidak bisa kukatakan terus terang bahwa aku sebenarnya anggota polisi, yang ditugaskan untuk mengawasi tindak-tanduk Jo-Jo." "Dari mana Anda tahu bahwa Jo-Jo terlibat dalam urusan ini?" tanya Philip. "Dia sudah dikenal polisi," kata Bill menjelaskan "Sebelum ini dia juga sudah pernah terlibat dalam urusan pemalsuan uang! Karenanya kami lantas bertanya-tanya, mungkin ada hubungan antara dirinya dengan pencetakan uang palsu yang dilakukan antah di mana — waktu itu kami tidak tahu. Ternyata Jo-Jo ahli dalam soal menghilang Sementara ini ia sudah lima tahun bekerja membantu-bantu bibimu. Selama itu tak ada yang curiga bahwa ia sebenarnya orang yang pernah melakukan kejahatan. Tapi pada suatu hari salah seorang petugas kami secara kebetulan melihat dia di kota. Setelah diselidiki lebih lanjut, kami mengetahui di mana ia bekerja sekarang. Lalu aku kemari pada musim panas ini, untuk mengamat-amati dirinya." "Dan pengamatan itu ternyata membawa hasil!”kata Jack. "Bill — adakah bantuan kami dalam urusan ini?" "Banyak sekali, walau kalian tidak menyadari-nya," kata Bill. "Kalian yang membuat aku yakin bahwa Jo-Jo perantara yang kami cari. Kalian pula yang meyakinkan diriku bahwa Pulau Suram selalu merupakan tujuan kepergiannya dengan perahu Karena itu pada suatu hari aku juga ke sini, dan memeriksa sedikit dalam tambang ini. Kurasa rasa itulah pensilku tercecer. Tapi terus terang saja, aku waktu itu sama sekali tidak menemukan tanda-tanda bahwa di sinilah tempat orang-orang itu mencetak uang kertas palsu.” "Tapi kami menemukannya," kata Jack bangga. "Sekarang bagaimana tindakan Anda selanjutnya, Bill?" "Kemarin malam aku sudah menghubungi atasanku, lewat radio," kata Bill. "Kulaporkan bahwa aku kini sudah yakin mengenai apa yang terjadi di sini. Kukatakan bahwa aku akan ke Pulau Suram untuk menyelamatkan seseorang yang tersekap dalam tambang di sini. Sekaligus kuminta pula agar polisi melancarkan tindakan." "Lalu apa yang akan dilakukan?" tanya Jack bergairah. "Aku baru akan tahu apabila sudah melapor kembali," kata Bill. "Kurasa sebaiknya kita pergi saja sekarang. Kita kembali lewat lorong yang di bawah dasar laut." '“Kurasa Jo-Jo yang merusak perahu Anda, Bill,"kata Philip. "Rupanya ia tahu Anda teman kami." "Jo-Jo itu memang cerdik," kata Bill sambil berdiri. Ia menggeliat "Terlebih-lebih karena ia berpura-pura bodoh. Yuk!" "Bill — aku hendak menjemput Kiki dulu," kata Jack dengan tiba-tiba. "Tak sampai hatiku meninggalkannya sendiri di sini. Aku takut kalau orang-orang itu nanti membunuhnya — atau dia mati kelaparan. Kita jemput dia sebentar, ya?" "Tidak bisa," kata Bill. "Masih ada urusan lain yang lebih penting, yang harus segera dikerjakan." "Kita jemput dia, Bill," kata Philip. Ia tahu, Jack sayang sekali pada seperti orang lain pada anjing kesayangan. "Kita lihat saja sebentar di peta untuk mengetahui di mana letak lorong utama, lalu pergi menuju ke gua-gua yang terletak di sebelah situ. Jack pasti tahu Kiki dikurung dalam bilik yang mana. Kurasa tempatnya sama dengan di mana kami bertiga disekap kemarin." "Yah — kalau begitu cepat sajalah," kata Bill. Ia masih ragu-ragu. "Dan ingat — kita harus sangat berhati—hati, jangan sampai ketahuan." Peta dibentangkan. Mula—mula dicari dulu di mana mereka berada saat itu. Setelah itu, letak lorong utama. Setelah diketahui, mereka pun berangkat. Tidak lama kemudian mereka sudah menyusur lorong lebar itu sambil menyelinap. Mereka mendengar bunyi berisik yang gemeretak dan berdentang-dentang. Rupanya mesin-mesin sedang bekerja lagi. Bill mendengarkan dengan seksama. Ya — itu memang bunyi mesin cetak. Ketika mereka menghampiri gua berbentuk bilik di mana Kiki dikurung, terdengar suara orang bercakap-cakap. Mereka buru-buru merapat ke dinding, sambil menahan napas. "ltu Jake,“ bisik Philip di telinga Bill. Ternyata yang bercakap—cakap itu tiga orang. Mereka berdiri di depan pintu bilik tempat Kiki dikurung. Kelihatannya sedang mendengarkan dengan heran. Sedang dari dalam bilik terdengar suara melengking tinggi. Kata-katanya jelas sekali "Sudah kukatakan, jangan suka menyedot-nyedot hidung!! Mana sapu tanganmu? Sudah berapa kali kukatakan, bersihkan kaki! Kasihan Kiki, Kiki yang malang! Jerang air!" "Anak itu sudah sinting," kata Jake pada kedua temannya. Rupanya mereka masih menyangka bahwa yang terkurung itu Jack. "Yak — cabut!" kata Kiki lagi memberi aba-aba, lalu menirukan bunyi kereta api yang memasuki terowongan sambil membunyikan peluit. "Betul, sudah gila," kata Olly terheran-heran. Ketika setelah itu terdengar lengkingan nyaring, orang yang ketiga menyatakan pendapatnya. "Itu kan burung kakaktua. Ya — betul, burung kakaktua. Ada burung kakaktua bersama anak itu di dalam." "Coba kita lihat sebentar," kata Olly. Jake membuka pintu. Seketika itu juga Kiki terbang keluar sambil berteriak keras. Ketiga orang itu kaget, lalu menyorotkan senter ke dalam bilik Ruangan itu kosong! Jake menoleh ke arah Olly dengan marah. "Goblok!" sergahnya. "Ternyata kau mengurung kakaktua, dan membiarkan anak itu minggat. Bagusnya kau ini ditembak saja." Olly masih memandang ke dalam bilik sambil melongo. Tidak salah lagi, tadi cuma seekor burung kakaktua saja yang ada di situ. "Yah," kata Olly kemudian, "kurasa anak itu pasti akan tersesat untuk selama-lamanya dalam pertambangan ini. Siapa suruh datang ke sini. Biar tahu rasa sekarang!" "Kita ini ternyata tolol, Olly," kata Jake dengan getir. "Mula-mula kita diperdayai anak-anak yang tiga orang, dan sekarang yang ini." Ketiga orang itu kembali ke gua yang terang-benderang, membiarkan pintu bilik ternganga lebar. Saat itu napas Jack tersentak karena kaget. Tahu-tahu Kiki hinggap di pundaknya, sambil mengeluarkan bunyi-bunyi yang ramah. Burung itu pura-pura mematuk daun telinga tuannya. Pokoknya ia hendak menunjukkan rasa gembira! Jack menggaruk-garuk jambul burung kesayangannya itu. Ia pun ikut merasa gembira. "Sekarang ayolah — kita pergi," kata Bill pelan. Mereka cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu, diterangi cahaya senter. Tapi belum jauh mereka berjalan, ketika terdengar jelas ada orang mendekat. "Datangnya dari lorong utama," kata Jack setengah berbisik. Senter cepat-cepat dipadamkan. Mereka menunggu sambil mendengarkan. Terdengar langkah orang yang datang itu. Ia berjalan dengan langkah-langkah berat. Nampak sinar senternya yang bercahaya terang. Tidak bisa dilihat, siapa yang datang itu. Bill serta kedua anak yang menyertainya bergegas memasuki suatu lorong sempit yang buntu. Tapi tahu—tahu Jack tersandung. Ia jatuh berdebam. Kiki menjerit karena kaget. Saat itu juga mereka disilaukan cahaya senter yang menyorot ke arah mereka. Terdengar suara seseorang, menyapa dengan nada tajam. "Jangan bergerakl Nanti kutembak!" Bill mengisyaratkan pada Jack dan Philip agar jangan lari. Nada bicara orang yang tak nampak itu sangat tajam. Pasti ia akan melakukan apa yang diancamkannya. Jadi mereka hanya bisa berdiri saja dalam lorong sempit itu, sambil mengejap-ngejapkan mata karena silau. Jack merasa kenal pada suara itu. Begitu pula Philip. Siapakah orang yang tak nampak itu? Tapi tiba-tiba mereka tahu. Tentu saja mereka mengenal suara itu. "Jo-Jo!" seru Jack "Apa yang kaulakukan di sini, Jo-Jo?" "Justru aku yang hendak mengajukan pertanyaan itu pada kalian bertiga," kata Jo-Jo dengan geram. Sinar senternya menerangi muka Bill. "Kau ada di sini pula rupanya," kata Jo-Jo lagi. "Perahumu sudah kupecahkan — tapi rupanya kalian berhasil menemukan jalan ke sini lewat bawah dasar laut, ya? Kalian tentu merasa pintar sekali! Tapi sekali ini agak terlalu pintar. Karenanya kalian akan mengalami nasib yang buruk sekali. Buruk sekali!" Bab 28 TERPERANGKAP Laras pistol yang dipegang Jo-Jo berkilat kena sinar senter. Bill jengkel terhadap dirinya sendiri. Coba dia tadi tidak setuju untuk kembali menjemput kakaktua sialan itu, pasti mereka kini sudah jauh. Dan Jo-Jo bukan lawan yang bisa dipandang enteng. la takkan mudah diperdayai seperti Jake. "Ayo berputar!" perintah Jo-Jo. "Angkat tangan tinggi-tinggi, lalu mulai berjalan. Ah — itu dia kakaktua keparat itu. Sekarang kesempatanku untuk membalas kekurangajarannya selama ini Jack langsung mengerti. Jo-Jo hendak menembak burung kesayangannya itu. Tanpa menunggu lagi, Jack memukul Kiki kaget, lalu terbang membubung sambil menjerit jengkel. "Pergi, Kiki, pergi!" seru Jack. Dan Kiki tidak kembali. Terasa olehnya bahwa Jack tidak menginginkan dirinya ada di dekat anak itu. Kiki merasa bahwa ada bahaya. Diikutinya keempat orang yang berjalan itu, tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun. Bill, Jack dan Philip kemudian dikurung dalam gua yang berbentuk bilik. Jo-Jo mengunci pintu lalu memanggil-manggil Jake. Setelah itu terdengar langkah mereka pergi. "Nah, sekarang kita repot," kata Bill. "Kenapa aku tadi mau saja, ketika diajak menjemput kakaktua itu? Karenanya mungkin kita akan mati, sedang penjahat—penjahat itu bisa dengan seenaknya menyebarkan uang palsu yang banyak itu ke mana-mana. Keadaan kita sekarang benar-benar gawat" "Maaf, karena aku tadi yang mengajak menjemput kata Jack Ia merasa bersalah. "Aku pun ikut bersalah," kata Bill, lalu menyalakan rokok. "Aduh, panas sekali hawa di sini." Setelah beberapa waktu — rasanya lama sekali — pintu terbuka lagi. Jo-Jo masuk, diikuti Jake, Olly serta beberapa orang kawan mereka. "Kami datang untuk mengucapkan selamat berpisah," kata Jo-Jo. Mukanya yang hitam berkilat-kilat kena sinar lentera. "Sekarang pekerja-an kami sudah selesai di sini. Kau terlambat datang, Bill Smugs. Sudah cukup banyak uang palsu kami cetak." "Jadi kalian sekarang akan pergi dari sini, ya?" kata Bill dengan tenang. "Semua mesin dimusnahkan untuk menghapuskan jejak, sedang tumpukan uang palsu kalian bawa pergi. Tapi jangan sangka kalian bisa minggat dengan mudah. Biarpun sudah dimusnahkan sampai rusak, tapi mesin-mesin kalian pasti akan ketahuan juga, lalu .... " "Tak ada yang bisa ketahuan di sini, Bill Smugs," kata Jo-Jo. "Sama sekali tidak ada! Biar semua polisi datang ke pulau ini, mereka takkan bisa menemukan sesuatu yang nanti bisa dipakai untuk melacak jejak kami. Tidak ada!" "Lho — kenapa?" tanya Bill. Ia tidak berhasil menyembunyikan keheranannya. "Karena kami akan menggenangi pertambang-an ini dengan air laut," kata Jo-Jo. Laki-laki itu tersenyum mengejek. Tampak giginya berkilat-kilat. "Ya, Bill Smugs — sebentar lagi air akan membanjir masuk ke dalam setiap lorong, masuk ke semua gua dan liang. Mesin-mesin kami akan terendam, sehingga. jejak kami terhapus sama sekali. Dan apa boleh buat — kalian pun akan ikut terbenam pula." "Kalian kan tidak akan membiarkan kami mati tenggelam di sini," kata Bill. "Kalau aku sendiri, silakan! Tapi bawa kedua anak ini dengan kalian." "Satu pun dari kalian bertiga tidak akan kami selamatkan — karena cuma akan merepotkan saja nanti," kata Jo-Jo. Caranya bicara masih tetap sopan, tapi dengan nada kejam. "Tak mungkin kau sekejam itu!" seru Bill. "Mereka berdua ini kan masih anak—anak!" "Tapi begitulah perintah yang kuterima," kata Jo-Jo. Kelihatannya ia sudah berubah sama sekali dari biasanya. Tidak lagi tolol dan setengah sinting, seperti yang sehari—hari dihadapi Jack dan Philip. Jo-Jo sudah menjelma menjadi Jo-Jo yang asli, seorang penjahat yang tidak kenal kasihan. "Lalu bagaimana cara kalian menggenangi pertambangan ini?" tanya Bill ingin tahu. "Gampang saja," jawab Jo-Jo. "Kami sudah memasang bahan peledak dalam lorong yang terletak di bawah dasar laut, lewat mana kalian datang ke sini. Nanti kalau kami sudah sampai dengan aman di atas, akan kalian dengar bunyi ledakan. Nah — itu tandanya langit-langit lorong di bawah dasar laut runtuh karena diledakkan. Lalu air laut akan membanjir masuk. Seperti tentunya kauketahui pula, air akan mengalir ke dalam tambang dan memenuhi seluruh rongga yang ada, sampai sama tinggi dengan permukaan laut. Saat itu kurasa kalian takkan merasa gembira." Jack berusaha berdiri tegak, untuk menunjuk-kan pada Jo-Jo bahwa ia tidak takut. Tapi lututnya tak bisa diandalkan, karena gemetar terus; Anak itu takut, bahkan takut sekali. Begitu pula Philip. Hanya Bill saja yang mampu menutupi ketakutannya. Ia tertawa. "Yah — berbuatlah semaumu sekarang!" tantangnya. "Pokoknya, kalian takkan bisa minggat dengan gampang. Jangan kausangka rahasia kalian belum diketahui polisi. Sudah lebih banyak yang kami ketahui tentang komplotan ini serta pimpinannya, jauh melebihi sangkaanmu." Saat itu salah seorang anggota komplotan itu mengatakan sesuatu pada Jo-Jo. Jo-Jo mengang-guk. Anak-anak merasa yakin, pasti sudah tiba waktunya untuk meledakkan lorong di bawah dasar laut. Dan setelah itu air laut akan membanjir masuk ke dalam setiap lorong dan celah di tambang itu. "Nah - selamat meninggal," ejek Jo-Jo sambil nyengir, memamerkan giginya yang putih. "Sampai ketemu," balas Bill. Jack dan Philip diam saja. Kiki yang ada di luar, tertawa terkekeh—kekeh. “Mestinya kubunuh dulu burung itu tadi. gumam Jo-Jo sambil mengunci pintu, lalu pergi. Terdengar langkah-langkah menjauh. Setelah itu sepi. Bill memandang Jack dan Philip. "Jangan sedih," hiburnya, "kita kan belum mati Kita biarkan dulu orang-orang itu sampai agak jauh —— lalu nanti kubuka pintu ini sehingga kita bisa keluar." "Membuka pintu? Bagaimana caranya?" tanya Jack. "Pokoknya, aku tahu," jawab Bill sambil nyengir. Dikeluarkannya seberkas anak kunci serta seperangkat kikir dari kantongnya. Beberapa saat ia sibuk mengutak-atik pintu. Kemudian pintu terbuka. "Sekarang kita ke liang utama," kata Bill. "Lekas, sebelum terlambat." Mereka menuju ke lorong utama, dan dari situ bergegas—gegas ke liang besar yang menuju ke atas. Agak lama juga penjalanan mereka. Baru saja mereka sampai di situ, lalu mendo-ngak memandang sinar samar yang nampak jauh di atas kepala, ketika tiba-tiba terdengar bunyi aneh di kejauhan. Bunyi itu seperti deru yang sayup-sayup, jauh di dalam tambang, lalu menggema ke mana-mana. "Ternyata Jo-Jo tadi tidak bohong," kata Bill dengan tenang. "Itu bunyi dinamit meledak. Kalau ledakan itu berhasil membobolkan dasar laut, maka saat ini pun air sudah membanjir masuk lewat lorong di situ menuju ke tambang ini." "Kalau begitu ayo, kita naik," kata Philip. Ia sudah tidak sabar lagi, ingin cepat-cepat sampai di alam bebas. "Cepatlah sedikit! Aku kepingin melihat cahaya matahari lagi." "Nanti dulu — bijih tembagaku ini harus ikut kubawa ke atas," kata Jack. Anak itu masih selalu menggendong logam hasil penemuannya itu. "Eh — ada apa, Bill?" Bill tadi berteriak keras, sehingga mengejutkan anak-anak. "Lihatlah," katanya, sambil mengarahkan sorotan senternya agak ke atas liang. "Orang-orang tadi ternyata sudah naik — lalu merusak anak tangga yang letaknya di sebelah bawah. Maksudnya, tentu supaya kita jangan bisa ikut naik, apabila berhasil keluar dari bilik tadi. Ternyata mereka sudah memikirkan segala-galanya. Sekarang habislah riwayat kita. Kita sudah bisa menyelamatkan diri. Kita tidak bisa memanjat ke atas, apabila tidak ada tangga." Ketiganya memandang anak-anak tangga yang rusak dengan perasaan bingung. Kiki menjerit dengan sedih. "Bill," kata Jack dengan tiba-tiba, "kurasa kita bisa menemukan semacam tangga dalam gua besar di mana disimpan bahan perbekalan orang-orang itu. Kalau tidak salah, aku melihat ada tangga di sana. Kurasa orang-orang tadi tentunya hanya merusakkan awal dari tangga ini saja, karena tahu kita takkan bisa mencapai yang lebih tinggi apabila di sebelah bawahnya tidak ada anak tangga." "Kau yakin, dalam gua itu ada tangga?" tanya Philip. "Aku tidak ingat bahwa di sana ada tangga. "Yah — pokoknya, itulah satu-satunya harapan kita sekarang," kata Bill. "Yuk — kita cepat-cepat ke sana." Tapi mereka tidak berhasil sampai di gua besar Baru saja mereka menyusur lorong utama sebentar, ketika mereka berhenti lagi melangkah. Mata mereka terbelalak karena ngeri. Mereka melihat sesuatu di depan mereka — sesuatu yang gelap, meluncur dengan cepat ke arah mereka! "Air sudah sampai di sini!" seru Bill. "Kita kembali, ke tempat yang paling tinggi di sini. Astaga — kelihatannya seperti seluruh air laut tumpah ke sini." Jelas terdengar bunyi air mengalir, memasuki lorong dan gua dalam tambang itu. Kedengaran-nya sangat menyeramkan, sehingga bahkan Bill pun merasa takut. Mereka bertiga lari cepat—cepat, kembali ke dasar liang utama. Tempat itu letaknya lebih tinggi dari sekitarnya. Tapi sebentar lagi air pasti akan sampai juga di situ. "Air akan naik terus," kata Bill. "Semua liang yang ada di pulau ini menjorok sampai jauh ke bawah permukaan laut. Pasti seluruh lorong dalam tambang nanti penuh terisi air, dan liang—liang yang menuju ke atas juga terisi — mungkin sampai setengahnya." "Tapi — tapi kalau begitu kita akan mati tenggelam, Bill," kata Jack. Suaranya gemetar. "Kau bisa berenang atau tidak?" tanya Bill. “Ah tentu saja — kalian berdua kan bisa berenang. Sekarang dengar baik-baik. Masih ada satu harapan kita. Apabila air nanti mulai menggenangi liang ni, kita harus ikut mengambang di permukaannya. Pokoknya, kita tidak boleh panik! Lalu kalau permukaan air sudah mencapai anak tangga yang masih utuh, kita cepat-cepat memanjat tangga dan naik ke atas. Nah, bagaimana? Kalian merasa sanggup tenang apabila air masuk kemari, lalu ikut mengambang ke atas dengannya?" "Kami sanggup," kata Jack dan Philip dengan tabah. Jack berpaling, memandang ke dalam lorong dengan perasaan gugup. Nampak air menghitam di kejauhan. Kelihatannya sangat menyeramkan. "Dengan begini habislah riwayat tambang ini, ya Bill?" kata Philip. "Tak ada lagi yang bisa masuk ke sini." "Ah, toh tembaganya sudah habis terkuras sejak dulu," kata Bill. "Jack beruntung, menemukan sebongkah bijih tembaga yang bisa dibawanya pulang untuk dipamerkan pada orang lain. Rupanya dulu disembunyikan oleh seorang pekerja tambang, yang kemudian lupa tempat persembunyiannya. Dan setelah bertahun-tahun tersimpan di situ, akhirnya ditemukan oleh Jack." "Aku harus membawanya pulang," kata Jack. "Harus! Tapi aku juga tahu, tak mungkin aku bisa mengambang apabila bijih ini kubawa terus. karena terlalu berat." Bill melepaskan kemeja dan rompinya. Bijih tembaga itu dibungkusnya dalam rompi yang kemudian disimpulkannya membentuk bungkusan. Bungkusan itu diikatnya dengan seutas tambang tebal. Setelah itu ia mengenakan bajunya lagi. Sedang bungkusan digantungkannya ke leher. "Agak berat juga," katanya sambil nyengir, "tapi pokoknya aman. Kau menggendong Kiki, sementara aku membawa bijih tembagamu ini." "Terima kasih," kata Jack. "Tapi Anda yakin, nanti tidak akan terbenam karenanya?" "Kurasa tidak," kata Bill. Perkataannya itu meyakinkan, karena tubuhnya memang sangat kekar. "Air semakin mendekat!" kata Philip gelisah. "Lihatlah!" Mereka menoleh. Nampak air laut seperti merayap, naik ke tempat mereka berdiri yang agak lebih tinggi dari sekitarnya. "Hitam sekali kelihatannya," kata Jack. "Tapi kurasa kelihatannya begitu, karena tempat ini sangat gelap. Hih — menyeramkan!" "Kurasa gerakannya sudah tidak begitu cepat lagi," kata Bill. "Sebaiknya kita duduk dulu di sini. Kita beristirahat, mumpung masih bisa." Ketiganya duduk di dasar liang. Tikus kecil piaraan Philip muncul dari balik lengan kemeja anak itu, lalu duduk sambil mengendus-endus. Kiki memekik ketika melihatnya. "Bersihkan kaki, kataku!" "He, he — jangan menakut-nakuti Wolffly,” kata Philip. Mereka lantas memperhatikan kelakuan kedua binatang itu, sambil menunggu air yang naik terus dengan pelan. "Pasti air laut membanjir masuk di lubang yang terjadi pada dasar laut," kata Philip. "He, Bill — apakah air laut juga akan mengalir ke arah sana? Maksudku menuju ke Craggy-Tops? Masuk ke sumur yang ada di sana, sehingga airnya menjadi asin?" "Yah — kurasa begitulah," kata Bill, setelah mempertimbangkan sejenak. "Tentu saja, karena dasar sumur itu kan letaknya di bawah permukaan laut. Jadi air laut pasti akan mengalir masuk ke situ, lewat lorong yang menjorok ke bawah dasar laut. Apa boleh buat, Philip! Itu berarti kalian takkan bisa mengambil air tawar lagi di situ!" "Nah — air sudah sampai ke mata kaki kita," kata Jack, yang masih selalu memperhatikan gerak air. "Kiki, ayo bertengger ke pundakku. Mana Woffly, JambuI?" "Sudah kembali ke dalam bajuku," jawab Philip "Aduh, dingin sekali air ini!“ Tidak aneh, karena hawa dalam tambang itu sangat panas. Jadi dengan sendirinya air terasa dingin sekali. Philip, Jack dan Bill cepat-cepat berdiri, sambil memperhatikan air yang berputar-putar membasahi mata kaki mereka. Air naik terus sampai ke lutut dan masih naik lagi. Mereka bertiga menunggu saat tubuh mereka mengambang diangkat air, sehingga mereka bisa berenang atau mengapung sambil menggerak gerakkan kaki. "Hhh, aku kedinginan," kata Philip. Giginya gemeletuk. "Belum pernah kurasakan air sedingin ini.” "Sebetulnya tidak sebegitu dingin," kata Bill. "tapi karena hawa di bawah sini panas, maka air terasa sangat dingin." "God save the Queen!" teriak"Kiki ketakutan. sambil memandang air gelap yang berputar-putar Tak lama kemudian Bill serta kedua temannya terangkat oleh air. Dengan susah payah mereka berenang-renang di permukaan. "Sempit sekali liang ini," kata Jack tersengal-sengal. "Kita nyaris bertumpang tindih." Memang liang itu terasa sangat sempit. Capek sekali rasanya berusaha tetap mengambang, apabila tidak ada tempat untuk berenang dengan leluasa. Dan air masih naik terus. Bill menyelipkan senter kepunyaan Philip di mulutnya, sehingga tempat mereka menjadi agak terang. Bill ingin tahu apakah seluruh tangga yang rusak, atau hanya bagian paling bawah saja. Akhirnya diambilnya lagi senter itu dari mulutnya. "Kita beruntung," katanya, "mulai dari sini anak tangga masih utuh. Sekarang kita bisa memanjat ke atas. Sini, kutolong kalian naik. Kau dulu, Jack, dengan Kiki. Burungmu itu sudah ketakutan sekali." Jack mencebur-cebur menghampiri tangga. Bill menyorotkan senter ke tempat itu, menerangi jalan supaya Jack bisa lebih gampang memanjat. Philip menyusul kemudian, setelah Jack memanjat agak tinggi. Bill yang terakhir naik Ketika keluar dari air, terasa berat sekali bijih tembaga yang tergantung ke lehernya. Ia tadi juga harus dengan susah payah mengambang karenanya. Ketiganya bergegas memanjat tangga. Rasanya seperti tak sampai-sampai ke atas. Tapi tubuh mereka dengan cepat terasa panas, karena memanjat itu. Mereka bahkan mulai merasa gerah. Pakaian yang basah terasa merepotkan, menempel pada tubuh. Sementara itu Kiki tidak henti—hentinya mengoceh, mengasihani diri sendiri. Ia tidak menyukai petualangan semacam itu. Tikus kecil yang ada dalam baju Philip juga tidak senang. Ketika anak itu masih berada dalam air, binatang itu merambat naik sampai ke telinganya — karena saat itu cuma kepala Philip yang masih tersembul di atas air. Sekarang tikus itu juga tidak senang, karena tidak bisa menemukan tempat yang kering. Pakaian Philip basah kuyup, karena air bercampur keringat. “Ah, sudah hampir sampai di atas," seru Jack ke bawah. "Sudah dekat!" Kata—katanya itu membangkitkan semangat. Mereka mempercepat gerakan. Lengan dan tungkai terasa seperti mendapat tambahan tenaga baru, setelah tahu bahwa mereka sudah hampir sampai. Jack keluar paling dulu. Begitu kepalanya muncul dari liang, Kiki langsung menghambur terbang sambil berteriak dengan gembira. Tapi detik berikutnya, Jack melongo. Dilihatnya seortang laki-laki duduk di tepi atas liang. Orang itu menggenggam pistol. "Angkat tangan!" bentak orang itu. "Jangan memberi tahu teman-temanmu yang menyusul. Jangan bergerak. Angkat tangan, kataku!" Bab 29 AKHIR YANG MELEGAKAN Jack terpaku di tempatnya, sambil mengangkat tangan. Matanya terbelalak ketakutan. Aduh, mereka tadi sudah begitu susah-susah melarikan diri — hanya untuk kembali tertangkap penjahat? Ia tidak berani berteriak. Philip yang keluar setelah itu, disambut dengan cara yang sama. Anak itu pun kaget dan kecewa. Sedang laki—laki yang menggenggam pistol masih menunggu sambil membisu. Jack dan Philip dijaganya dengan pistol teracung, sementara matanya sebentar-sebentar melirik ke arah mulut liang. Kemudian Bill muncul, membelakangi laki-laki yang menunggu. Ia pun disambut dengan bentakan. "Angkat tangan! Jangan memberi tahu teman-temanmu yang masih menyusul1 Berdiri di situ dengan tangan terangkat ke atas!" Bill berpaling dengan cepat. Tangannya yang sudah terangkat, diturunkannya lagi. Ia tertawa meringis. "Sudahlah, Sam — simpan saja lagi pistolmu itu," katanya. Orang yang disebut Sam itu berseru kaget, lalu menyelipkan pistolnya ke pinggang. Diulurkannya tangan, menyalami Bill. "Kau rupanya!" kata Sam. "Aku ditugaskan di sini, untuk menyambut anggota komplotan yang mungkin masih menyusul. Tak kusangka, tahu-tahu kau yang muncul." Jack dan Philip cuma bisa memandang saja, sambil melongo. He — apa-apaan ini? "Kalian kaget, ya?" tanya Bill, melihat kedua anak itu masih tetap melongo. "Ini Sam, salah seorang detektif kami. Dia sahabat karibku. Nah, Sam — melihatmu di sini, timbul lagi semangatku. Apa yang terjadi tadi?" "Lihat saja sendiri," kata Sam sambil nyengir, lalu berjalan mendului. Mereka berjalan beriring-iring melalui celah di sela bukit-bukit batu, mengikuti laki-laki bertubuh gempal itu. Mereka menuju ke pantai. Di sana mereka melihat pemandangan yang benar-benar menarik. Tampak orang-orang yang dari tambang berdiri berjajar dengan tampang masam. Jo-Jo juga ada di antara mereka. Kelihatannya marah sekali. Mereka dijaga dua orang laki-laki, yang masing-masing memegang pistol. Sedang persenjataan komplotan yang tertawan, sudah dilucuti semua. "Itu Jo-Jo!" seru Philip. Jo-Jo menoleh ke arahnya. Tampangnya yang semula marah berubah menjadi kaget. Ia tak menyangka anak-anak itu berhasil melarikan diri, bersama teman mereka. Jo-Jo bingung. Ia tidak bisa mengerti, bagaimana mereka yang ditinggal dalam keadaan tersekap dalam bilik terkunci di lorong yang dibanjiri air laut, tahu-tahu sudah ada di depan matanya. Padahal anak tangga liang di sebelah bawah kan juga sudah dirusak? "Bagaimana mereka ini sampai bisa tertangkap?" tanya Jack dengan heran. Kiki langsung menyambar Jo-Jo, begitu melihat orang itu. Burung kakaktua itu berteriak dan menjerit-jerit dengan gembira, karena tahu bahwa musuh lamanya itu sekarang sudah tidak berdaya. Sementara itu Sam memandang Jack sambil tersenyum geli, melihat anak itu melongo terus. "Ya, itu semua berkat jasa Bill Cunningham ini,"katanya sambil menggerakkan kepala ke arah Bill. "Dia menyampaikan laporan pada kami kemarin malam, lewat radio. Kami lantas menarik kesimpulan, sebaiknya kami cepat-cepat saja berangkat ke sini. Sesampai di sini, kami menjumpai perahu Jo-Jo. Kami juga melihat tanda-tanda komplotan hendak bergegas-gegas minggat. Kami menemukan uang kertas palsu bertumpuk-tumpuk di pantai — serta bermacam-macam dokumen yang menarik." "Tapi bagaimana kalian bisa begitu cepat sampai? Kan di daerah pesisir sini tidak ada perahu," kata Philip. "Kami sendiri memiliki beberapa perahu motor yang laju," kata Sam. "Dengan dua di antaranya kami melaju ke sini, menyusur pantai. Itu dia perahu-perahu kami." Jack dan Philip menoleh. Mereka melihat dua perahu motor yang besar dan langsing terapung-apung di air dekat teluk kecil itu. Pengemudi masing-masing ada di atas perahu. Sedang perahu Jo-Jo ada di dekat situ. "Kami langsung bertindak, begitu melihat komplotan ini sedang bersiap-siap hendak minggat dengan membawa uang palsu mereka," kata Sam sambil nyengir. "Setiap liang dijaga salah seorang dari kami, karena kami tidak tahu dari lubang mana para penjahat itu keluar. Dan ternyata kemudian mereka muncul satu per satu, lewat satu lubang di antaranya. Semuanya langsung diringkus dengan mudah." "Persis seperti cara Anda tadi meringkus kami," kata Jack. "Lalu bagaimana kelanjutannya sekarang?" "Bill Cunningham yang memimpin operasi ini,"kata Sam, lalu menoleh pada Bill dengan pandangan bertanya. Sedang Bill memandang Jack dan Philip. "Aku terpaksa memperkenalkan diriku waktu itu dengan nama palsu," kata Bill menyesal. "Tapi soalnya, namaku yang asli sudah terlalu dikenal orang-orang tertentu. Jadi apabila sedang melakukan tugas semacam ini, namaku selalu kurahasiakan. Karenanya aku memperkenalkan diri dengan nama Bill Smugs pada kalian." "Dan bagi kami, Anda akan tetap bernama begitu," kata Philip. "Bagiku, Anda akan tetap Bill Smugs." "Boleh saja," kata Bill sambil nyengir. “Aku akan tetap bernama Bill Smugs, untuk kalian. Hah — sekarang kita antarkan saja tuan—tuan yang terhormat ini ke perahu motor!" Komplotan penjahat yang terdiri dari orang-orang bertampang galak itu digiring menuju ke kedua perahu motor yang menunggu di pantai. Jake membelalakkan matanya yang tinggal satu ke arah Kiki, sehingga Jack merasa ngeri melihatnya. Cepat-cepat dipanggilnya kakaktua kesayangannya itu, disuruhnya bertengger di pundaknya. Kalau pandangan bisa mematikan, maka Kiki pasti sudah mati ditatap oleh Jake. Rupanya laki-laki itu teringat lagi betapa ia beserta Olly tertipu, mengurung Kiki yang disangka Jack. Karena kekeliruan itulah akhirnya mereka sial, pikir Jake. "Enaknya kita kembali naik perahu Jo-Jo," kata Bill pada Jack dan Philip. "Yuk. Biar kedua perahu motor itu berangkat dulu. Sam, kalian pergi ke Craggy-Tops. Kalian kan sudah tahu, ya? Di sana ada tempat berlabuh yang baik." "Beres," kata Sam. Kedua perahu motor itu berangkat. Setelah itu Bill serta Jack dan Philip menyusul, naik perahu layar milik Jo-Jo. Ketiga perahu itu berhasil melewati lintasan sempit di celah beting karang, lalu menuju lautan lepas. "Nah — akhirnya semua berakhir dengan selamat," kata Bill, sementara layar dipasang. "Tapi ada saat-saat aku mulai mengkhawatirkan nasib kita." Jack dan Philip juga berperasaan begitu. Kemudian Philip teringat pada Dinah dan Lucy-Ann. Pasti kedua anak perempuan itu sudah gelisah sekali sekarang, pikirnya. "Perutku terasa lapar sekali," kata Jack. "Sudah lama sekali aku tidak makan." “Tentu saja," kata Bill. "Tapi sabar sajalah sebentar - kita sudah hampir sampai! Nanti kau bisa makan sekenyang-kenyangmu." Deru perahu—perahu motor sudah terdengar di Craggy-Tops, jauh sebelum keduanya sampai di pantai. Bibi Polly pergi ke luar, diikuti Dinah dan Lucy-Ann. Mereka ingin melihat, apakah yang menimbulkan bunyi berisik itu. Ketiganya tercengang ketika melihat dua perahu motor besar yang penuh berisi orang, serta sebuah perahu layar yang kelihatannya seperti kepunyaan Jo-Jo, semua menuju ke teluk yang ada di bawah Craggy-Tops. "Ada apa lagi ini?" kata Bibi Polly. la kelihatannya masih sakit. "Aduh — tak kuat jantungku kalau terus ribut-ribut begini." Haluan kedua perahu motor diarahkan mende-kati tempat tambatan di pelabuhan kecil itu. Dinah dan Lucy-Ann bergegas lari ke bawah. Mereka heran, ketika melihat Jo-Jo ada di antara orang banyak itu. Mereka mencari-cari Jack dan Philip di situ. "Halo," seru Sam menyapa mereka. "Kalian mencari Bill serta kedua anak laki-laki yang menyertainya? Mereka menyusul, naik perahu layar. Di sini ada telepon atau tidak?" "Ada," jawab Dinah. "Siapa orang-orang ini? Kenapa Jo-Jo ada di antara mereka?" "Nanti saja soal itu diceritakan," kata Sam, sambil turun dari perahu motor. "Sebelumnya, aku perlu menelepon dulu. Tolong antarkan aku, anak manis." Lewat telepon, Sam memesan agar dikirim empat sampai lima buah mobil ke Craggy-Tops untuk dipakai mengangkut para penjahat. Bibi Polly mendengarkan dengan heran. Jantungnya berdebar—debar. Apa sebetulnya yang telah terjadi? Kemudian ia mengerti juga, setelah perahu layar tiba di pantai dan Bill masuk ke rumah bersama Jack dan Philip. Mereka menceritakan segala-galanya pada Bibi Polly. Bibi terhenyak ke kursi. Ia ngeri ketika mengetahui bahwa Jo-Jo sebetulnya penjahat yang sangat berbahaya. "Dan sangat licik," kata Bill. "Tapi kali ini ia tidak berhasil meloloskan diri — berkat keempat anak yang pintar-pintar ini." "Aneh," kata Jack. "Kita sebetulnya berangkat ke Pulau Suram karena ingin mencari burung auk besar — tapi bukannya burung yang kita temukan, melainkan komplotan penjahat yang sibuk mance-tak uang palsu dalam tambang di bawah tanah." "Kalau aku dari semula tahu bahwa kalian akan melakukan hal-hal semacam itu, pasti kalian sudah langsung kusuruh tidur," kata Bibi Polly dengan suara galak. Semua tertawa mendengarnya. "Aduh, Polly — anak nakal, anak nakal," seru Kiki, lalu hinggap ke bahu Bibi. Mobil-mobil yang dipesan datang ketika anak-anak sedang asyik makan bersama Bill. Para penjahat dengan cepat digiring masuk ke mobil-mobil dan langsung diangkut pergi. Sam ikut berangkat, setelah mengucapkan selamat berpisah. "Bagus, Bill - hasil pekerjaanmu," kata Sam. "Dan anak-anak ini juga pantas dipuji." Bukan itu saja pujian yang mereka terima. Mereka sukar sekali bisa tidur pada malam hari, karena suasana ramai sekali dalam satu sampai dua hari berikutnya. Mereka dibawa ke kota besar terdekat. Di sana mereka diminta menceritakan pengalaman mereka di depan beberapa orang dewasa yang bertampang serius. "Mereka itu pembesar," kata Bill dengan sikap misterius. "Orang—orang berpangkat tinggi! Jack, mana fotomu yang menampakkan tumpukan kaleng di Pulau Suram? Jo-Jo mungkir, katanya ia tidak pernah mengantarkan makanan ke sana. Sedang kami menemukan beberapa kaleng kosong dalam gudang bawah tanah di Craggy-Tops, yang bisa kami pakai sebagai barang bukti dengan cara mencocokkannya dengan kaleng-kaleng dalam fotomu itu." Jadi ternyata foto kecil itu pun ada gunanya. Menurut Bill, itu merupakan "tanda bukti yang memberatkan". Bijih tembaga yang ditemukan Jack juga menambah keramaian. Anak itu kecewa ketika mendengar bahwa logam temuannya itu tidak begitu berharga. Tapi walau begitu cukup menarik, sebagai kenang-kenangan pada petualangan yang sangat mengasyikkan. "Bijih ini akan kubawa apabila aku nanti sekolah lagi," kata Jack. "Aku ingin menyerahkannya pada museum sekolah. Teman-teman pasti senang melihat dan memegang-megangnya, serta ingin mendengar cerita bagaimana aku menemukannya. Pasti mereka iri nanti! Tidak setiap orang bisa tersesat dalam tambang tembaga kuno, lalu menemukan bijih tembaga yang terselip di suatu tempat. Aku cuma agak kecewa, karena ternyata logamnya tidak berharga. Aku sebenarnya berniat hendak menjualnya, lalu uangnya kita bagi-bagi." "Ya — enak kalau itu terjadi," kata Lucy-Ann. "Bagian si Jambul serta Dinah akan bisa dipakai untuk membayar ongkos sekolah mereka. Sisanya cukup untuk memungkinkan ibu dan bibi mereka beristirahat, tidak perlu bekerja keras lagi. Sayang — ternyata tidak berharga!" Tapi itu tidak apa — karena tanpa disangka-sangka keempat anak itu dianugerahi uang sejumlah besar. Ternyata bagi orang yang bisa memberi keterangan yang menyebabkan para penjahat bisa ditangkap, disediakan hadiah uang. Dan tentu saja hadiah itu kemudian diserahkan pada keempat anak itu. Bill juga mendapat bagiannya. lbu Philip dan Dinah bergegas datang ke Craggy-Tops, ketika mendengar kabar tentang petualangan aneh dan menegangkan itu, serta kelanjutannya yang begitu menggembirakan. Jack dan Lucy-Ann langsung merasa senang padanya. Ibu teman-teman mereka ternyata cantik, baik hati dan periang. Menurut perasaan mereka, begitulah seharusnya seorang ibu. "Kurasa sayang apabila ibumu tetap menjadi pengusaha," kata Jack pada Philip. "Ia seorang ibu sejati, dan harus hidup di rumah seperti layaknya ibu-ibu. Dan kalian hidup bersamanya." "Memang begitu maksud kami," kata Dinah dengan mata bersinar gembira. "Sekarang kan cukup banyak uang kami, sehingga kami bisa membeli rumah, dan ibuku tidak perlu bekerja keras lagi. Semua sudah kami perhitungkan — dan ternyata itu mungkin! Sekarang, bagaimana jika kau dan Lucy-Ann tinggal bersama kami, Bintik? Kalian kan tidak kepingin kembali ke paman kalian yang sudah tua bangka serta pengurus rumah tangganya yang jahat itu?" "Wah," kata Lucy-Ann. Matanya yang hijau gemerlapan seperti bintang. Dipeluknya Philip erat-erat. Dinah tidak pernah memeluknya dengan cara begitu. Tapi Philip senang diperlakukan demikian. "Tentu saja kami mau tinggal bersama kalian,” kata Lucy-Ann. "Kita akan berbagi ibu, dan pasti kita akan bergembira berempat. Tapi akan maukah ibu kalian menerima kami?" "Tentu saja," kata Dinah, "kami sudah menanyakannya. Kata ibu, kalau ia sudah harus menghadapi dua orang anak, sekaligus empat pun tidak apa." "Kiki juga?" tanya Jack. Tiba-tiba ia merasa sangsi, apakah ibu Philip dan Dinah akan suka pada burungnya yang iseng itu. "Ya, tentu saja!" kata Dinah dan Philip serempak. Mereka tidak bisa membayangkan harus berpisah dengan Kiki. "Lalu apa yang akan terjadi dengan Bibi Polly dan Paman Jocelyn?" tanya Jack "Aku kasihan pada bibi kalian — tidak selayaknya ia tinggal dalam rumah tua yang sudah bobrok ini, bekerja keras mengurus paman kalian, selalu capek dan kesepian. Tapi Paman Jocelyn tentu tidak mau pindah dari Craggy-Tops!" "Yah, sekarang mau tidak mau ia harus pindah," kata Dinah. "Mau tahu kenapa? Karena air dalam sumur sekarang asin. Ternyata air laut merembes sampai ke situ, lewat lorong di bawah dasar laut. Jadi tidak bisa dipakai lagi untuk air minum. Kalau hendak memperbaiki sumur itu, biayanya terlalu mahal. Jadi Paman terpaksa memilih antara tinggal di Craggy-Tops tapi mati kehausan, atau pindah ke tempat lain." Anak-anak tertawa. "Yah — ternyata ada gunanya juga Jo-Jo menggenangi tambang di Pulau Suram," kata Philip. "Dengan begitu Paman Jocelyn terpaksa mau pindah. Dan Bibi Polly sekarang bisa memilih rumah kecil yang sudah selalu diidam-idamkannya, dan tinggal di situ dengan tenang. Tidak harus hidup merana lebih lama dalam bangunan setengah runtuh ini dan tanpa Jo-Jo sebagai pembantu!" "Hih — Jo-Jo yang jahat!" kata Lucy-Ann, lalu bergidik "Aku benci sekali pada orang itu. Senang rasanya bahwa ia akan dijatuhi hukuman penjara yang lama sekali. Nanti kalau ia dibebaskan lagi, aku sudah besar. Jadi takkan takut lagi padanya." Kemudian Bill datang naik mobilnya. Ia membawa limun sepeti besar, karena air sumur tidak bisa diminum lagi. Anak-anak bersorak gembira. Enak — mereka akan minum limun pada waktu sarapan pagi, makan siang dan makan malam! Ternyata Bill juga membawa sebuah termos yang besar, berisi teh panas untuk Bibi Polly serta ibu Philip dan Dinah. "Aduh, Bill!" seru ibu Philip. Kiki langsung menirukan seruannya itu. "Aduh, Bill!" "Besar sekali termos itu," kata ibu. "Terima kasih banyak!" Malam itu Bill ikut makan bersama mereka. Suasananya sangat meriah, apalagi ketika tikus kecil piaraan Philip keluar dari lengan kemeja anak itu lalu lari di atas meja menuju piring makan Dinah. Anak itu menjerit-jerit, sementara yang lain-lainnya tertawa terpingkal-pingkal melihatnya. Lucy-Ann memandang berkeliling, memperhatikan orang-orang yang asyik tertawa. Ia merasa berbahagia. Ia akan tinggal dengan seorang dewasa yang disenangi olehnya, serta bersama anak-anak yang cocok dengan dia. Semuanya menyenangkan! Semua kejadian yang dialami, berakhir dengan selamat. Ia merasa beruntung melarikan diri bersama Jack dari rumah Pak Roy beberapa minggu yang lalu, ikut dengan Philip ke Craggy-Tops! "Hebat sekali petualangan kita," kata Lucy-Ann "tapi aku lebih senang lagi, karena kini sudah berakhir. Petualangan terlalu menegangkan, pada saat kejadiannya sendiri." “Ah tidak!" bantah Philip dengan segera."Justru itu yang paling asyik — pada saat kejadiannya. Sayang, kini sudah berakhir." "Aduh sayang, sayang!" oceh Kiki. Seperti biasa, ia selalu ingin paling akhir bicara. "Bersihkan kaki dan tutup pintu. Jerang air! Aduh Polly – Polly yang malang! Kiki manis!" TAMAT Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com